Jalanhijrah.com-Pada prinsipnya musyawarah di dalam Islam merupakan bentuk ibadah jika dilakukan dengan cara yang baik dan sesuai ketentuan Allah, seperti yang telah termaktub pada surat Asy-Syura ayat 38. Sebab, musyawarah merupakan salah satu bentuk interaksi sosial untuk mencapai kemaslahatan bersama. Islam memiliki pandangan bahwa ketika melakukan musyawarah dalam bentuk apapun wajib mengedepankan rasa saling menghormati, tidak berkata kasar, berlaku secara lemah lembut, dan tawakal. Sebagaimana firman Allah pada QS. Ali Imran/3: 159:
فَبِمَا رَحْمَةٍ مِنَ اللَّهِ لِنْتَ لَهُمْ وَلَوْ كُنْتَ فَظًّا غَلِيظَ الْقَلْبِ لانْفَضُّوا مِنْ حَوْلِكَ فَاعْفُ عَنْهُمْ وَاسْتَغْفِرْ لَهُمْ وَشَاوِرْهُمْ فِي الأمْرِ فَإِذَا عَزَمْتَ فَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُتَوَكِّلِينَ
{159} Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu maafkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakal kepada-Nya.
Konteks turunya surat Ali Imran ayat 159 berkaitan dengan perang Uhud, begitupun penafsiran yang melingkupinya. Namun ibrah yang terkandung bersifat umum pada persoalan apapun, dan berlaku bagi setiap umat Islam. Di dalam Tafsir Al-Mishbah Quraish Shihab menjelaskan bahwa khitab ayat tersebut ditujukan kepada nabi Muhammad. Terdapat tiga sifat yang harus dimiliki nabi, di antaranya bersifat lemah lembut, mudah memberi maaf, dan memohonkan ampunan untuk orang lain. Setelah menyebut ketiga sifat, Allah memerintahkan nabi untuk musyawarah, dan ini merupakan satu pola interaksi sosial yang melingkupi ayat (Shihab, 2005).
Begitupun pada Tafsir Al-Munir, menurut Wahbah Az-Zuhaili musyawarah memiliki banyak nilai positif. Di antaranya: 1.) Musyawarah mengandung nilai penghormatan kepada orang-orang yang diajak bermusyawarah; 2.) Menggodok permasalahan yang diajukan dengan menampung berbagai pandangan dan ide-ide yang ada; 3.) Menyatukan langkah dan memilih pandangan yang paling tepat. Setelah melakukan musyawarah dan telah mendapatkan ketetapan hati, pada ayat tersebut Allah memerintahkan untuk bertawakal kepada-Nya, karena yang berhak menilai benar dan salah hanyalah Allah, sebagaimana kalimat pada akhir ayat (Az-Zuhaili, 2013).
Bahkan di dalam Tafsir Al-Azhar, Buya Hamka menuliskan satu topik khusus ketika menafsirkan ayat ini dengan judul “Syura Sebagai Sendi Masyarakat Islam”. Di mana, secara de facto pada ajaran Islam dibedakan antara urusan dunia dan urusan akhirat. Urusan akhirat seperti ibadah, syariah, dan hukum dasar itu adalah dari Allah. Sedang urusan dunia seperti ekonomi, ternak, bertani dan hubungan-hubungan biasa antara manusia hendaklah di musyawarahkan. Ketika musyawarah berlaku, maka ada dua domain yang menjadi bahan pertimbangan, yakni maslahah (apa yang lebih baik untuk umum), dan mafsadah (apa yang mebahayakan untuk umum) (Amrullah, 1999).
Muhammad Naufal Hakim, Mahasiswa Pascasarjana UIN Sunan Ampel Surabaya