Sekolah: Belum Jadi Ruang Aman

Jalanhijrah.com- “Tadi Pak X tarik tali BH aku pas pelajaran matematika. Mau marah tapi orang-orang pada ketawa”

Aku takut banget tadi pak Y guru agama kita ngegesekin kelaminnya ke punggung aku. Tapi aku cuma bisa diem dan badan aku beku gitu aja

Kutipan diatas adalah potongan percakapan nyata terkait pengalaman beberapa murid perempuan yang terus berulang dari jenjang SD hingga SMA. Percakapan semacam ini kerap muncul dengan berbagai modifikasi bentuk dan modus kekerasan seksual. Miris memang menjadi perempuan, sejak usia dini sudah dihadapkan kenyataan yang pahit bahwa tidak ada ruang aman bagi mereka. Mayoritas korban khususnya yang saya kenal secara pribadi kebanyakan tidak berani untuk melapor karena menganggap kekerasan yang terjadi pada mereka adalah hal normal dan sering terjadi.

Sehingga muncul perasaan takut duluan kalau akan disalahkan oleh berbagai pihak.

Ketakutan ini tentunya bukan sesuatu yang lahir dari ruang hampa, beberapa belajar dari pengalaman temannya yang mencoba bersuara dan menuntut keadilan. Namun yang didapat malah berujung dimarahi guru-guru dan dituduh memfitnah pelaku, tak ayal korban kadang disalahkan dan dituduh telah menggoda pelaku. Hal tersebut menyebabkan kekerasan seksual di sekolah sangat jarang terekspos karena banyak pengakuan hanya dianggap sebagai bualan semata. Dari banyak kasus hanya beberapa yang mendapat kesempatan untuk diterima laporannya dan diteruskan ke tahap penyidikan baik oleh pihak sekolah atau kepolisian.

Baca Juga  Paku dan Demokrasi yang Harus Dipahami

Misalnya, salah satu kasus yang diberitakan Tempo pada Kamis (05/08-2021) mengenai telah berubahnya status pengelola sekolah SMA Selamat Pagi Indonesia dari terlapor menjadi tersangka kekerasan seksual yang terjadi di lingkungan sekolah. Tersangka dilaporkan atas tindak kekerasan seksual berupa persetubuhan berencana terhadap anak muridnya dengan jumlah korban belasan dan diduga mencapai puluhan-status saat ini laporan korban yang masuk masih terus bertambah-kekerasan ini dilakukan tersangka di lingkungan sekolah, rumah pribadi, bahkan saat kunjungan keluar negeri.

Kasus di atas hanya satu dari sekian banyak kasus kekerasan seksual yang terjadi di lingkungan sekolah dan mendapat kesempatan untuk disorot media. Komnas Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) pada tahun 2019 mencatat ada 123 anak telah menjadi korban kekerasan seksual di institusi pendidikan. Sebanyak 71 korban di antaranya adalah anak perempuan dan 52 lainnya adalah anak laki-laki. Sedangkan, KPAI juga menyatakan bahawa 62% kasus kekerasan seksual di sekolah terjadi di tingkat SD, diikuti 24% di tingkat SMP, dan sebanyak 14% terjadi di tingkat SMA.

Kekerasan seksual di lingkungan sekolah terus terjadi dengan banyak korban yang memilih bungkam. Hal ini tentunya disebabkan berbagai faktor seperti bagaimana sekolah jadi tempat mereproduksi budaya patriarki serta kurikulum pendidikan yang tidak ramah gender, karena itu sangat penting bagi kita menciptakan ruang aman di bangku-bangku sekolah untuk semua pihak.

Baca Juga  Mengapa Ideologi Hizbut Tahrir (HT) Masih Eksis Sampai Detik Ini?

Sekolah: Mereproduksi Budaya Patriarki

Banyaknya kasus kekerasan seksual yang terjadi di sekolah disebabkan banyak faktor dan yang paling utama adalah niat pelaku. Lekatnya budaya patriarki di masyarakat memang tidak bisa dilepaskan dari proses berjalannya sistem pendidikan kita. Sekolah memang menjadi tempat belajar bagi laki-laki dan perempuan untuk mendapat akses yang sama. Namun, pada praktiknya tetap kita temui berbagai produk patriarki yang terus dilanggengkan seperti dihukumnya para murid perempuan dengan alasan-alasan pakaian atau aksesoris yang dikhawatirkan “menggoda” murid maupun guru laki-laki, tentunya hal ini tidak berlaku sebaliknya.

Contoh lain produk patriarki yang dengan mudah kita temukan di sekolah ialah praktek pemilihan ketua baik di tingkat kelas ataupun OSIS. Mayoritas yang menjadi kandidat utama bahkan terpilih adalah laki-laki, kehadiran perempuan di jajaran kandidat biasanya hanya sebagai pelengkap atau bahkan dipaksa untuk mendaftar supaya memenuhi standar pelaksanaan pemilihan. Dalam prosesnya pun akan mudah kita dengar pada saat kampanye atau debat antar paslon hal-hal yang menyatakan perempuan tidak seharusnya menjadi pemimpin karena lebih emosional dan tidak kuat secara fisik.

Selain itu, relasi kuasa intisari yang melanggengkan patriarki seolah mematenkan diri untuk hadir dan menetap di institusi pendidikan, khususnya ketika kita bicara mengenai relasi antara guru dan murid. Hal ini menjadi faktor lain dari tingginya kekerasan seksual dengan pelaku adalah tenaga pendidik. Menurut data KPAI 90% pelaku kekerasan seksual di institusi pendidikan merupakan guru dan 10% di antaranya adalah kepala sekolah atau pengurus sekolah.

Baca Juga  Gerakan Ulama Perempuan dan Pluralisme Kewargaan di Indonesia

Penulis

Annisa Azzahra, anggota puan menulis

By Redaksi Jalan Hijrah

Jalanhijrah.com adalah platform media edukasi dan informasi keislaman dan keindonesiaan yang berasaskan pada nilai-nilai moderasi dan kontranarasi.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *