Jalanhijrah.com-Mengawali judul di atas, kita akan kembali dilimpahi bayang-bayang bagaimana dulu ibu-ibu kita mengajari untuk menjadi perempuan yang dianggap “baik” dalam mata masyarakat, menjadi istri yang baik bagi suami, dan menjadi ibu yang baik untuk anak-anak. Takaran baik ini tidak lain dipengaruhi oleh beberapa hal, entah dari tingkah laku yang tata sedemikian rupa, pekerjaan domestik yang telah dianggap sebagai kodrat dan fitrah, serta pakaian-pakaian yang telah dikotak-kotakkan sedetail mungkin.
Misalnya perempuan yang harus duduk dengan santun, kepala menunduk, dan tak banyak bicara. Perempuan yang pekerjaannya banyak dilakukan di dapur saat tamu datang. Perempuan yang dianggap memiliki hormon untuk lebih dekat dengan anak, sehingga ialah yang banyak berkewajiban untuk merawat anaknya. Perempuan yang harus memakai pakaian-pakaian mewah, indah, terang. Perempuan yang harus bisa masak, harus bisa mengurus suami, harus bisa mendidik anak.
Ketika pembaca pernah merasakannya, apakah juga pernah membayangkan diri yang demikian layaknya sebuah boneka barbie dengan hanya bisa diam tak berkutik tanpa digerakkan? Sehingga untuk melakukan segala hal harus disuruh terlebih dahulu, diperintah begini dan begitu, dan kemudian apapun yang kita kerjakan tak boleh menyalahi aturan yang ada. Mengerikan memang. Apalagi boneka adalah sebuah benda mati, tak memiliki jiwa, tak memiliki akal. Sedangkan kita begitu jauh dari itu. Kita adalah makhluk hidup yang telah dititipkan oleh Tuhan sebuah nyawa dengan begitu banyak keistimewaan lainnya.
Lantas, apakah perbendaan perempuan ini harus direproduksi tanpa henti?
Apakah perempuan harus banyak diatur dalam tiap langkah hidupnya?
Katakan dengan tegas, “TIDAK!”
Segala sistem patriarki memang telah mengakar dari nenek moyang kita. Akarnya begitu dalam merambat, masuk ke dalam setiap benih janin yang akan dilahirkan. Hingga ketika seorang bayi perempuan telah keluar dari rahim, semua orang sudah mengira sangat bagaimana masa depan nanti sesuai kodrat dan fitrahnya.
Namun ini bukanlah akhir untuk terus berjuang. Meskipun berabad-abad lamanya para perempuan dari segala penjuru dnia telah mengangkat wajah mereka tinggi-tinggi, mengepalkan tangan mereka kuat-kuat, meneriakkan keadilan keras-keras, perjuangan ini masih belum usai. Perlawanan masih akan terus berlanjut lagi dan lagi demi memangkas akar patriarki yang tak pernah berhenti menjalar dari segala sudut ruang.
Perempuan juga manusia, punya hak untuk terbang setinggi-tingginya layaknya buruk yang bebas mengepakkan sayapnya tanpa takut untuk ditangkap, dikurung, dan tembak. Perempuan juga manusia, sama halnya dengan lelaki. punya tangan punya kaki, punya otak punya hati. Perempuan juga manusia, tak ada yang harus menjadi dominasi, tak ada yang harus menjadi superior maupun inferior, tak ada yang lebih berkuasa atau dikuasai.
Dunia memang sudah berubah, begitupun sistemnya. Seringkali hal-hal yang dirasa kasat mata biasa saja, namun menyimpan berjuta luka. Banyak orang bilang hukum alam sudah begitu bijaksana, nyatanya ada yang masih terpuruk dan cedera. Tak jarang orang bilang undang-undang telah banyak mengatur untuk segala kebaikan, nyatanya masih saja terjadi kekerasan anak dan perempuan, tidak tanggapnya aparat masyarakat, dan lagi-lagi sulur patriarki begitu menjerat perempuan di segala tempat.
Tentunya kita tidak bisa berdiam saja dengan keadaan yang terlihat baik-baik saja. dengan ini tulisan bergerak untuk memancing kehendak setiap perempuan agar keluar dari zona nyaman diantara pemikiran dan buku-buku bacaan. Pemikiran tiap orang, bahkan sekarang, masih begitu rentan untuk membahas apa yang salah dan apa yang benar. Keyakinan yang telah ditanam kuat-kuat telah tumbuh dan berkembang dalam otak mereka. Tentang apa? Tentu saja ini masih tentang perempuan dengan kodrat dan fitrahnya yang begitu banyak diemban di dunia. Perlu ada dobrakan, tak mudah tentunya. Setidaknya dari diri sendiri, untuk lebih mendukung para puan yang berjuang di jalan berbeda tanpa ada unsur “judge”didalamnya. Buku bacaan banyak menggambarkan bagaimana sosok perempuan yang –katanya- itulah seharusnya. Doktrin-doktrin bacaan tidak mungkin tidak memberi pengaruh besar terhadap bagaimana perempuan berpikir, berkehendak, dan bertingkah laku. Memilih buku bacaan yang tepat adalah salah satu solusi untuk merusak beluru yang membendakan perempuan. Tak harus dimulai dari bacaan yang berat, tak harus diawali dengan buku-buku yang mahal. Setidaknya tepat sesuai sasaran, selaras ideologi perjuangan perempuan, dan seimbang sebagai bentuk mendobrak keadilan.
Penulis: Firda Rodliyah-Anggota Puan Menulis