Bermain Wacana: Pergerakan Kelompok Teroris Bisa Dilawan dengan Narasi

Jalanhijrah.com- Momen hari raya idul fitri sudah usai. Namun, pembahasan tentang terorisme tidak akan pernah usai, sebab pergerakannya, meskipun saat Ramadhan, bahkan ketika hari raya idul fitri, masih sangat meresahkan. Lihat saja, bagaimana kelompok teroris dan khilafahers bermain narasi dengan menyebut pemerintah toghut hanya karena perbedaan penetapan hari raya idul fitri berbeda.

Padahal, kalau kita pahami perbedaan tersebut, tidak perlu ribut untuk menanggapi perbedaan itu. Kita hanya perlu melakukan apa yang kita yakini, sesederhana itu! Namun, tidak dengan para teroris dan khilafahers yang memainkan narasi untuk mengadu domba pemerintah dengan masyarakat.

Seharusnya, para teroris patut berterimakasih kepada pemerintah. Sebab beberapa belakangan ini, ramai dibicarakan tentang pemberian remisi kepada napi teroris pada saat hari raya idul fitri. Remisi tersebut membuktikan bahwa, pemerintah tidak anti HAM (Hak Asasi Manusia), justru sebaliknya. Pemerintah justru melaksanakan tugasnya dengan memberikan ruang dan kesempatan bagi para napi untuk merayakan hari kemenangan atas keyakinan sebagai penganut agama Islam.

Kenyataan tersebut seharusnya juga menjadi titik balik pemahaman para teroris, yang sudah dipenjara ataupun yang sedang tersesat pada terorismebahkan kepada orang yang sedang merencanakan aksi teror, bahwa menyebut pemerintah toghut sangatlah tidak masuk akal. Tentu, upaya mencapai pemikiran semacam itu (Red; tidak mengkafirkan pemerintah) diperlukan open mind dan growth mindset dalam perjalanan menemukan pengetahuan, melakukan perjalanan hidup dengan banyak sekali menelaah, belajar dari banyak orang dan banyak pengalaman.

Baca Juga  Mubadalah Istilah Al Ummu Madrasatul Ula

Para teroris, tidak cukup dibasmi dengan tembakan

Kepada para teroris, selama ini, kita melihat banyak sekali kebijakan yang diambil oleh pemangku kebijakan dengan cara membunuh, justru merusak citra pemerintah. Dalam kasus ini, tokoh yang paling banyak disebut, sosok Dokter Sunardi misalnya.

Banyak orang-orang yang justru mencaci maki pemerintah karena sudah tewas ditembak oleh densus 88. Di media sosial, cacian kepada pemerintah justru sangat ramai. Masyarakat secara umum, melalui kicauannya di media sosial, justru tidak percaya bahwa dokter tersebut adalah teroris. Sebab perilakunya tersebut bertentangannya dengan profesi yang justru mengabdi kepada masyarakat dengan sumpah yang dilakukan. Namun, perlu kita pahami bahwa, teroris tetaplah teroris. Siapapun perilakunya, seperti apapun profesinya, menjadi teroris tetaplah harus dibasmi dari Indonesia.

Perlunya pemahaman kepada kita tentang kasus di atas bahwa, strategi dengan menembak, kemudian tewas, pada sosok teroris seperti dokter Sunardi itu, justru berujung caci maki kepada pemerintah. Masih banyak yang menyangkal dan tidak percaya, bahkan menolak kenyataan dokter Sunardi adalah teroris. Maka kepada teroris seperti Sunardi, perlu strategi perlawanan yang berbeda untuk melawannya.

Narasi adalah solusi yang sangat dibutuhkan

Salah satu upaya untuk melawan para teroris yakni produksi narasi yang semakin banyak. Baik dari kontra narasi ataupun narasi alternatif, sangat penting untuk kita produksi sebanyak-banyaknya dalam rangka melawan narasi para kelompok radikal yang semakin nyata.

Baca Juga  Maulid Nabi: Menyelesaikan Konflik Agama dan Komentar Radikal

Hal ini sejalan dengan tahapan radikal, bahwa ada empat tahapan ketika seseorang terjangkit radikalisme, diantaranya: pertama, fase pra-radikalisasi, identifikasi diri, indoktrinasi, dan jihadisasi.

Pra-radikalisasi adalah periode awal proses radikalisasi yang menggambarkan kondisi individu terkait sebelum jadi teroris garis keras. Kemudian, hal itu diartikan sebagai fase ketika individu mulai terpapar paham ideologi radikal yang membuat mereka menafsirkan kembali arti agama dan kehidupan.

Setelah proses identifikasi diri selesai, individu akan masuk ke tahap indoktrinasi. Proses ini merupakan momentum saat yang bersangkutan mulai meyakini bahwa tindakan jihad dibenarkan untuk mewujudkan tujuan yang dibawa kelompok tersebut. Dan terakhir ialah fase jihadisasi atau tahapan di mana individu sudah masuk ke eksekusi teror. Para teroris yang sudah melakukan aksi teror atau sudah merencanakan teror, sudah melalui fase di atas dalam proses pemikirannya.

Salah satu strategi yang bisa dilakukan untuk melawan pemahaman tersebut tidak lain, narasi yang harus disebar. Baik kontra narasi ataupun narasi alternatif adalah strategi ciamik untuk melawan kelompok radikal. Mengapa demikian? Dalm setaip fase yang dilewati oleh kelompok radikal di atas, pemahaman itu didapat dari konsumsi narasi ataupun bacaan yang menjadi referensi. Narasi yang kita produksi bisa menjadi pedang untuk melawan pemahaman tersebut. wallahu a’lam

Penulis: Muallifah  Mahasiswi Magister Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta. Bisa disapa melalui instagram @muallifah_ifa

By Redaksi Jalan Hijrah

Jalanhijrah.com adalah platform media edukasi dan informasi keislaman dan keindonesiaan yang berasaskan pada nilai-nilai moderasi dan kontranarasi.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *