G-30 S/PKI

Jalanhijrah.com- Saya ingat waktu kecil ketika masih  SD bahwa perayaan 30 September identik dengan pemutaran film kekejaman PKI yang merajalela, tidak manusiawi serta PKI adalah kelompok yang menjijikkan yang tidak bisa dimaafkan.

Waktu memakai seragam merah putih, pemurtaan film kekejaman PKI menjadi bagian pelajaran yang tidak ditinggalkan. Alih-alih sikap nasionalisme sejak kecil yang kita peroleh dari bangku pendidikan adalah praktik kekejaman PKI yang harus dimusuhi oleh para generasi bangsa Indonesia, beserta anak cucunya semua adalah pendosa.

Bahkan kekejaman PKI telah merasuk pada setiap buku-buku sejarah masa silam, membuat kita berfikir bahwa organisasi ini adalah organisasi jahanam. Seketika kita mendengarkan namanya, seketika ingatan perbuatan jahanam itu yang kita ingat.

Lalu apakah saya sedang membela PKI pada setiap aksi tidak manusiawi yang sudah dilakukan? Tidak! Sangat penting untuk membandingkan berbagai literatur bacaan, baik secara historis ataupun tindakan-tindakan orang-orang PKI masa silam.

Memfungsikan kacamata dari berbagai sudut pandang dengan dasar bacaan yang kuat, untuk menelaah lebih jauh tentang konflik-konflik sejarah yang menjadi bahan adu domba oleh beberapa kelompok.

Millenial memahami PKI

Jangan sekali-sekali melupakan sejarah (Jasmerah). Begitulah kalimat yang selalu didengungkan oleh para orang tua kita ketika menanmakan sikap nasionalisme kepada para anak muda agar terus memupuk diri untuk mencintai Indonesia.  kalimat itu sebenarnya tidak hanya isyarat. Lebih dari itu, millenial khususnya harus bisa memahami bagaimana konflik ini mengakar dan menjadi isu tahunan ini tidak hanya dipahami sebelah mata.

Baca Juga  Mengamankan NKRI: Penangkapan Teroris dan Bahaya Nyinyirisme

Perjuangan PKI dalam mengusir penjajah Indonesia misalnya, harus kita pahami pula bagaimana sikap anarkis yang dimiliki organisasi tersebut mampu menunjukkan taringnya dalam melawan para penjajah.

Peristiwa 25 Desember 1925, PKI mengadakan rapat besar yang mengundang pimpinan cabang PKI di seluruh Indonesia. Rapat tersebut menghasilkan keputusan untuk melaksanakan aksi pemberontakan terhadap pemerintah kolonial Belanda di beberapa kota Indonesia.

Soe hok ghie, dalam catatan hidupnya yang berjuudl “ Dibawah lentera merah”  juga menyinggung PKI bahwasanya eksistensi organisasi tersebut berawal dari organisasi komunis bernama Indische Social Democratische Vereniging (ISDV).

Pendirian organisasi tersebut tidak lain untuk menanamkan paham marxisme-komunisme untuk mempertahankan Indonesia , serta perjuangan pergerakan nasional Indonesia. Akhirnya, kita memahami bahwa tujuan organisasi ini tidak lain untuk bangsa Indonesia sendiri, untuk Indonesia.

Dengan fakta demikian, perlu kita memahami dari berbagai sudut pandang agar tidak menimbulkan kebencian yang melekat, akibat luka lama yang belum selesai. Hal ini bisa jadi disebabkan karena ketidak tahuan, atau sikap close minded dalam menerima berbagai persoalan yang terjadi.

Kaum Islamis yang memecah belah

Kemunculan isu tahunan seperti PKI ini selalu dimanfaatkan oleh berbagai kelompok Islamis yang mendengungkan khilafah pada setiap aksi yang didengungkan, tidak luput dari genggaman pergerakan tersebut, isu PKI adalah isu yang yang mengenyangkan untuk terus dihidupkan pada bulan September. Padahal itu semua adalah masa kelam Indonesia. pelakunya sudah mati, semua yang terlibat pada kejadian tersebut sudah tiada.

Baca Juga  Nabila Abdul Rahim Bayan; Perempuan Hafiz Inspiratif

Lalu bagaimana dengan anak cucunya? Bukankan visi misi hidupnya tentu sejalan dengan para pendahulunya? Jangan berspekulasi dulu! Jika demikian, maka rusaklah negara ini dengan sikap kebangsaan yang demikian. penuh curiga, tuduhan akibat kejadian masa silam yang membuat para anak cucu PKI menangung dosa yang tidak berhak hidup di Indonesia. Bukankah Indonesia adalah negara merdeka? Sudahkah kita memberikan kemerdekaan dengan tidak saling mengklaim isu tahunan ini kepada para anak cucu orang-orang PKI?

Siapa yang menggoreng isu ini sebenarnya? Tidak lain adalah kelompok HTI, bahkan FPI juga bisa dikatakan demikian sebab memiliki visi misi yang sama. Alergi dengan hal-hal yang berbau komunisme, kapitalisme, fobia pada sesuatu hal karena atheis, bahkan julukan kafir menjadi sebutan yang paling banyak disebut dalam kamus.

Fenomena tersebut juga diperkuat oleh opini Ayik Hermansyah, bahwa isu-isu PKI yang bising di Indonesia, hanya produk dari organisasi Islam: HTI. Mungkin juga FPI. Hal itu didengungkan karena menyembunyikan program-program ciamik mereka, melalui label Islam, syariah, serta menjadi paling dekat dengan Allah. Wallahu a’lam

Advertisements

By Redaksi Jalan Hijrah

Jalanhijrah.com adalah platform media edukasi dan informasi keislaman dan keindonesiaan yang berasaskan pada nilai-nilai moderasi dan kontranarasi.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *