Radikalisme dan Kegagalan Pendidikan Karakter

Jalanhijrah.com-Banyak negara yang kini dihantui dengan sikap dan perilaku radikalisme yang dilakukan warganya, tidak terkecuali Indonesia. Perilaku radikal selalu mengarah kepada hal-hal ekstrem dan berujung kepada tindakan kekerasan dan terorisme. Bahkan, baru-baru ini kita banyak juga dikejutkan dengan beberapa temuan perilaku dan sikap radikal yang dimiliki oleh para pegawai yang bekerja di ranah pemerintahan.

Meskipun sudah ada sudah ada UU dan tiga peraturan pemerintah yang bisa digunakan untuk acuan menangani intoleransi dan radikalisme di lingkungan ASN, namun nyatanya tidak mudah menghukumi aparat yang terindikasi bersikap intoleran dalam bentuk perilaku keseharian. Itulah persoalan ideologi yang kerap menyasar siapapun.

Apakah cukup dengan memberikan sanksi tegas? Kita lihat sebenarnya para mantan narapidana terorisme apakah cara menyembuhkan mereka dengan cara instan? Tidak! Itu murni persoalan ideologi yang tidak mudah dihilangkan dengan pendekatan hukum. Begitu pula dalam kasus aparat negara yang terpapar paham radikal.

Untuk menjawab hal ini, tentu kita harus memahami anatomi radikalisme secara lebih dalam. Perilaku radikal sejatinya diawali dengan pemahaman yang sempit dan kaku atau intoleran. Sikap intoleran dengan radikalisme bukanlah sikap yang berbeda, justru keduanya saling mengisi dan menopang satu sama lain. Orang yang memiliki sikap intoleran mudah terjebak pada sikap radikal.

Radikalisme adalah sebuah ladang semai bagi bibit intoleran yang telah menghinggapi lama dalam perilaku masyarakat. Relasi sosial yang diwarnai intoleransi mudah menyuburkan pemikiran radikal. Selama potret hubungan antar masyarakat dilandasi dengan sikap acuh, tidak peduli dan bahkan membenci terhadap perbedaan, rasanya penyakit dan virus radikalisme akan mudah tumbuh subur di negeri ini.

Baca Juga  Kontroversi Qween Fatima: Dampak Buruk Kebebasan Teknologi Seni

Dari mana sebenarnya harus memulai? Jawaban singkat saya harus dari lingkungan pendidikan baik dari usia dini hingga perguruan tinggi. Praktek toleransi harus menjadi pondasi dari sikap setiap warga negara. Pendidikan adalah sumber awal bagaimana mendidik warga negara memiliki wawasan kebangsaan yang tidak mudah terasuki virus radikalisme.

Jika pertanyaannya kenapa aparatur negara juga memungkinkan terpapar virus radikalisme, sejatinya harus dimulai sejauhmana praktek pendidikan seseorang untuk mencapai jabatan aparat negara itu dilakukan? Jika praktek intoleransi sudah dimulai dari pendidikan di level sekolah dini hingga tinggi tidak mengherankan jika output lulusan pun mudah terpengaruh virus radikal.

Sederhananya, problem radikalisme yang menyasar masyarakat termasuk kalangan aparat negara sejatinya kegagalan dari dunia pendidikan dalam menanamkan pendidikan karakter dan kebangsaan. Artinya sejak dari tingkat dasar,  menengah bahkan mahasiswapun mesti ada penanaman yang relevan dan kontekstual dalam mendidik masyarakat.

Persoalan aparat negara yang terpapar paham radikal atau masyarakat secara umum, proses radikalisasi itu tidak berjalan instan. Ada tumpukan nilai, norma dan ajaran yang salam dan sekian lama ditumpuk sehingga menunggu momentum untuk menjadikan seseorang bersikap radikal. Tentu saja, tumpukan nilai itu diawali dengan intoleransi yang diterima secara alamiah di dunia pendidikan.

PR besar di dalam dunia pendidikan kita adalah mencetak anak didik yang toleran. Toleransi akan menjadi benteng seseorang untuk menolak pemahaman yang radikal dan ekstrem. Orang yang terbuka akan sulit dimasuki oleh paham yang mudah membenturkan perbedaan identitas dan primordial sebagai komoditas dan alat politik. Pendidikan menjadi ruang strategis di mana 5-7 jam anak berada dalam nuansa pendidikan. Target pendidikan sejatinya tidak hanya mendidik anak untuk mencapai kecerdasan intelektual semata, tetapi kecerdasan dalam kehidupan berbangsa.

Baca Juga  Tekstualitas Agama dan Tiga Konsep Santri Melawan Radikalisme

Proses radikalisasi akan mudah berjalan ketika seseorang tidak memiliki sikap terbuka dan wawasan kebangsaan yang kuat. Narasi yang berbeda kafir dan negara kafir akan mudah dicerna jika tumpukan pemahaman itu sudah ada sejak dari dunia pendidikan. Jika hal demikian terjadi sejak dari pendidikan dini hingga perguruan tinggi maka pintu radikalisasi baik di lingkungan aparat negara ataupun di masyarakat akan berjalan dengan mulus.

Persoalan terbesar menghadapi radikalisasi adalah menghadapi ideologi. Karena itulah, membangun lingkungan yang sadar akan perbedaan menjadi sangat penting. Kesadaran bahwa Indonesia dibangun atas dasar perbedaan dan keragaman tidak saja soal budaya tapi juga keyakinan harus menjadi bagian dari pemahaman dan sikap seluruh masyarakat.

Radikalisasi sekali lagi persoalan ideologi. Karena itulah, penguatan ideologi kebangsaan harus dimulai tidak saja di lingkungan aparat negara, tetapi sejak awal adalah dari dunia pendidikan. Radikalisasi ASN sejatinya hanya musim semi yang berguguran dari proses panjang radikalisasi yang sejak awal tanpa pengawasan. Dan ruang itu terjadi di lingkungan pendidikan kita.

Karena itulah, penguatan ideologi kebangsaan dan karakter di dunia pendidikan menjadi kunci utama. Pendidikan adalah ruh membangun negeri ini. Ketika ruang pendidikan dicuri, sejatinya kelompok radikal telah mencuri investasi terbesar bangsa ini untuk lima puluh tahun mendatang.

Tulisan Inke Indah Fauziyah melalui https://jalandamai.org/radikalisme-dan-kegagalan-pendidikan-karakter.html

 

By Redaksi Jalan Hijrah

Jalanhijrah.com adalah platform media edukasi dan informasi keislaman dan keindonesiaan yang berasaskan pada nilai-nilai moderasi dan kontranarasi.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *