Mahkamah Konstitusi (MK) mengeluarkan Putusan No 146/PUUXXII/2024 yang menolak gugatan dari Raymond Kamil dan Indra Syahputra untuk menghapus kolom agama di Kartu Tanda Penduduk (KTP).
Dua orang pemohon itu mengajukan gugatan terhadap Undang-Undang (UU) Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan yang mewajibkan kolom agama di KTP dan Kartu Keluarga (KK). Mereka berdalih bahwa pewajiban tersebut bisa menyebabkan warga negara yang tidak menganut agama dan aliran kepercayaan tidak memiliki kepastian hukum.
Dengan adanya putusan MK ini, maka tertutuplah peluang bagi warga negara Indonesia untuk tidak beragama atau tidak menghayati sebuah kepercayaan pada Tuhan Yang Maha Esa. Hal ini bisa dipahami karena negara kita berlandaskan pada Pancasila yang sila pertamanya berbunyi “Ketuhanan Yang Maha Esa”. Dengan kata lain, konstitusi yang berlaku di Indonesia adalah “Konstitusi Berketuhanan”.
Sejarah Kolom Agama dalam Kartu Identitas
Dalam khazanah Islam, sejarawan mencatat bahwa Amirul Mukminin Umar bin Khattab pernah memberikan perintah untuk menyusun data kependudukan demi kelancaran administrasi penyaluran bantuan zakat, sedekah, dan lainnya dari baitul mal.
Ibnul Jauzi dalam kitab Uyunul Hikayat menceritakan bahwa ketika datang berkunjung ke Syam, Umar blusukan ke daerah Hams dan memerintahkan pejabat setempat untuk mendata masyarakat miskin di daerah tersebut. Bukan itu saja, Umar juga memerintahkan pencatatan warga negara kekhalifahan secara lengkap hingga meliputi data kapan mereka masuk Islam, berapa kali jihad yang sudah mereka lakukan dan lain sebagainya.
Umar membagi warga menjadi tiga kelompok keagamaan, yakni Muslim, Ahlul Kitab (Yahudi dan Nasrani), serta kelompok lain yang meliputi Majusi, penyembah berhala (musyrik), dan sebagainya.
Di Indonesia, pada masa pemerintahan Hindia Belanda, warga diwajibkan untuk memiliki Verklaring van Ingezetenschap (semacam KTP) yang di dalamnya tidak ada kolom agama. Bagi pemerintah Hindia Belanda saat itu, agama bukanlah isu penting perihal kependudukan, karena mereka lebih menekankan politik pemisahan kelas Eropa, Asia Timur, dan Pribumi.
Identitas agama kemudian menjadi persoalan penting pasca kemerdekaan Indonesia di tahun 1945. Hampir saja hal ini menjadi bibit perpecahan bagi bangsa Indonesia yang saat itu baru dibentuk. Mohamad Hatta menyebutkan bahwa utusan Timur Indonesia keberatan dengan beberapa poin yang ada pada Piagam Jakarta, yang menekankan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluknya. Mereka mengancam akan keluar dari Indonesia jika kalimat tersebut dipertahankan. Maka dihapuslah tujuh kata tersebut namun tetap menyisakan “Ketuhanan Yang Maha Esa”.
Bonar Tigor Naipospos, Wakil Ketua Setara Institute pada 2014 silam menghadap Menteri Agama Lukman Hakim Syaifudin menjelaskan bahwa pencantuman kolom agama di Indonesia baru terjadi pada tahun 1967. Sebelumnya tidak ada. Menurutnya, kewajiban ini merupakan bagian dari politik Orde Baru yang ingin memerangi paham komunisme.
Kolom agama pada Kartu Tanda Penduduk (KTP) di Indonesia terus menjadi salah satu isu yang kerap dibicarakan dalam konteks keberagaman, kebebasan beragama, dan hak asasi manusia. UU Nomor 23 Tahun 2006 yang diubah dengan UU Nomor 24 Tahun 2013 tentang Administrasi Kependudukan mewajibkan pencantuman agama dalam KTP bagi seluruh warga negara Indonesia. Namun, hal ini memunculkan sejumlah tantangan, terutama bagi penganut agama atau kepercayaan yang tidak diakui secara resmi oleh negara.
Mahkamah Konstitusi melalui putusannya Nomor 97/PUU-XIV/2016 telah memperluas pengakuan terhadap keberagaman keyakinan di Indonesia. Putusan ini membolehkan penganut aliran kepercayaan mencantumkan “Kepercayaan” dalam kolom agama pada KTP. Keputusan ini dianggap sebagai langkah penting dalam menjunjung prinsip kesetaraan dan nondiskriminasi dalam administrasi kependudukan.
Putusan MK ini dilatarbelakangi oleh permohonan dari empat individu yang mengajukan uji materi terhadap Pasal 61 ayat (1) dan Pasal 64 ayat (1) UU Administrasi Kependudukan. Sebelumnya, kedua pasal ini mengatur bahwa hanya agama yang diakui oleh negara (Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Buddha, dan Konghucu) yang dapat dicantumkan dalam KTP. Hal ini menimbulkan diskriminasi terhadap penganut kepercayaan yang tidak diakui secara resmi.
Mahkamah Konstitusi dalam putusannya menyatakan bahwa aturan tersebut bertentangan dengan UUD 1945, khususnya Pasal 28E ayat (1) tentang kebebasan beragama dan Pasal 28D ayat (1) tentang jaminan perlakuan yang sama di hadapan hukum. Oleh karena itu, MK memutuskan bahwa penganut aliran kepercayaan memiliki hak yang sama untuk mencantumkan identitas kepercayaan mereka dalam kolom agama di KTP.
Pentingnya Kolom Agama di KTP
Kolom agama di KTP berfungsi sebagai identitas resmi yang mencerminkan keyakinan seseorang. Bagi penganut agama atau kepercayaan tertentu, pencantuman ini adalah bentuk pengakuan legal yang penting untuk menjamin hak-hak sipil, seperti pernikahan, pengurusan dokumen resmi, dan akses ke layanan publik. Dengan diakomodasinya aliran kepercayaan dalam kolom agama, negara menunjukkan komitmen terhadap penghormatan hak asasi manusia dan prinsip non-diskriminasi. Hal ini memberikan keadilan bagi kelompok yang selama ini kurang terwakili.
Keberadaan kolom agama membantu pemerintah dalam mengelola data kependudukan secara lebih akurat. Data ini penting untuk merancang kebijakan publik yang inklusif dan sesuai dengan kebutuhan masyarakat yang beragam. Misalkan pada persoalan wakaf, hibah, dan waris yang sering kali terjadi di masyarakat.
Indonesia sebagai negara dengan semboyan “Bhinneka Tunggal Ika” mengakui keberagaman agama dan keyakinan. Kolom agama di KTP menjadi simbol penghormatan terhadap pluralitas ini, selama diisi secara adil dan tidak diskriminatif.
Kolom agama di KTP memiliki peran signifikan dalam memberikan pengakuan legal, mendukung prinsip kesetaraan, dan menghormati keberagaman. Namun, penting bagi pemerintah dan masyarakat untuk memastikan bahwa keberadaan kolom ini tidak menjadi alat diskriminasi, melainkan sarana untuk memperkuat kebhinekaan dan keadilan sosial.
*Sumber: https://arina.id/khazanah/ar-9vcqg/putusan-mk-dan-pentingnya-kolom-agama-di-ktp