Menelisik Sikap Pejuang Cut Nyak Dhien Milenial

Jalanhijrah.com-Dengan telaten dan hati-hati Dhien mulai membungkus frozen food berupa ikan bandeng tanpa tulang yang telah ia beri bumbu pepes dan akan ia kirim ke Koetaradja. Frozen food berlabel D’Muloh merupakan produk rumahan yang Dhien sekeluarga kelola sebagai salah satu usaha kecil keluarga mereka. Walaupun hanya sebuah usaha kecil dan bersifat rumahan namun sedang berproses untuk mendapatkan ijin halal dan hak paten nama. Serta ijin PIRT yang telah didapat namun untuk produk yang berbeda tetapi dengan berbahan baku yang sama yaitu ikan bandeng.

Dhien adalah salah satu perempuan Aceh yang mempunyai karakter seperti perempuan Aceh lainnya. Gadis Aceh memiliki karakter yang sangat setia dan tahan banting terhadap situasi yang tidak mengenakkan. Dan karakter lainnya yang dominan adalah  tipe pejuang. Wanita Aceh juga terkenal sebagai wanita yang gigih dan pantang menyerah. Ia mau berjuang asalkan demi kebahagian keluarganya, termasuk dalam berjuang bersama dengan pasangan sah mereka dalam membangun rumah tangga. Perempuan Aceh terkenal sebagai perempuan-perempuan pejuang. Bukan hanya berjuang untuk keluarganya dan mempertahankan kepemilikannya. Tetapi juga berjuang untuk tanah airnya, untuk bangsa dan agamanya.  Sebut saja Cut Nyak Dhien dan Cut Nyak Meutia adalah bukti bahwa wanita Aceh itu memiliki semangat  pejuang.

Cut Nyak Dhien, seorang perempuan yang terlahir saat penjajah masih ingin menguasai nusantara ini. Semasa kecil, Cut Nyak Dhien dikenal sebagai gadis yang cantik. Kecantikan itu semakin lengkap dengan pintarnya Cut Nyak Dhien dalam bidang pendidikan agama. Mumpuni dalam pendidikan agama dapat kita lihat dari catatan sejarah bahwa sebelum wafatnya selama pengasingan di Sumedang Jawab Barat, Cut Nyak Dhien tetap mengajar mengaji orang-orang di sekelilingnya.

Baca Juga  Menjaga Indonesia, Menjadi Manusia Pancasila

Semangat dan keinginan Cut Nyak Dhien kecil telah muncul untuk membela bangsa ini. Bagi seorang Cut Nyak Dhien mempertahankan tanah kelahiran adalah sebuah kewajiban yang harus ia perjuangkan. Cut Nyak Dhien aktif berjuang di medan perang karena tidak mau menjadi budak dari para penjajah Belanda yang ingin menguasai Aceh. Sikap kepahlawanannya antara lain : cerdas dalam menggunakan strategi perang, mahir dalam agama karena mampu menghafal Al Qur’an dan memiliki keberanian dan ketegasan saat melawan penjajah.

Sikap dan karakter Cut Nyak Dhien tentunya masih ada juga dalam diri perempuan Aceh milenial saat ini. Seperti Dhien si interpreneur UMKM D’Muloh, yang ikut memperjuangkan kehidupan keluarga bersama sang suami. Ada juga perempuan lain yang memperjuangkan tanah Aceh dan telah kesohor dalam kancah internasional.

Beberapa waktu yang lalu seorang perempuan Aceh yang telah memperjuangkan dan mempertahankan serta sebagai aktivis lingkungan dan konservasionis hutan di Kawasan Ekosistem Leuser dengan kekuatan leadership berhasil dinobatkan dalam 100 tokoh dunia dengan kemampuan kepemimpinan mumpuni. Dia adalah Farwiza Farhan,. Perempuan yang lahir dan tumbuh besar di Kota Banda Aceh ini, masuk dalam daftar TIME100 Next 2022 kategori Leaders. Ia getol melawan eksploitasi dan ekspansi yang mengancam ekosistem Leuser. Dalam melestarikan Leuser, fokus utamanya selain kebijakan dan advokasi, juga meningkatkan akses dan memperdalam keterlibatan perempuan terkait penyelamatan lingkungan.

Bukan tanpa alasan Farwiza mendapatkan penghargaan tersebut. Jejak langkahnya dalam mempertahankan ekosistem hutan yang katanya sebagai paru-paru dunia ini telah mengalami perjalanan panjang. Setiap langkahnya demi menjaga konservasi alam Leuser merupakan bukti kecintaannya kepada tanah air dan bangsanya. Ia menjaga alam agar dapat bertahan dan persisten sampai pada anak cucunya nanti. Namun demikian Farwiza tidaklah bekerja sendirian, banyak wanita-wanita Aceh lainnya yang ikut serta untuk melestarikan alam sebagai tempat tinggal kita semua.

Baca Juga  Tidak Hanya Muslim, Menag Juga Minta Pemuda Katolik Lakukan Moderasi Beragama

Semangat orang Aceh terutama wanita Aceh dalam memperjuangkan dan mempertahankan daerah Aceh tertulis dalam buku Wanita Aceh Sebagai Negarawan dan Panglima Perang karya  Prof. A Hasymi. Tertulis pada halaman 66 tentang pendapat seorang wartawan dan pengarang dari Belanda bernama H.C. Zentgraaff yang melukiskan tentang wanita-wanita Islam dalam “perang kolonial” di Aceh, “…Hal ini terjadi dalam semua peperangan, dimanapun ia berkecamuk dimuka bumi ini. Namun hal ini lebih hebat dirasakan lagi di Aceh, karena di sana para wanitanya sangat dekat dengan ataupun memang berada dalam kancah peperangan… Mengenai wanita Aceh bahwa peranannya dalam peperangan sampai sekarang sukar untuk dinilai. Wanita Aceh gagah berani, adalah penjelma dendam kesumat yang tiada taranya serta tak mengenal damai”.

Dari kalimat tersebut secara jelas menyebutkan bagaimana sifat dan sikap wanita Aceh dalam melindungi kepemilikannya. Tidak hanya tentang melindungi apa yang menjadi miliknya dari gangguan-gangguan. Tetapi juga menjaga hal tersebut agar dapat dimanfaatkan juga oleh anak cucu mereka nantinya. Menjaga tanah air adalah bentuk dari sifat perjuangan wanita. Perjuangan wanita  Aceh saat ini bukanlah perjuangan melawan penjajah Belanda yang ingin menguasai tanah Serambi Mekah ini. Tetapi perjuangan menjaga tanah dari rusaknya alam, memelihara agar sumber dayanya tetap dapat dinikmati sampai kapan pun, memperjuangkan hak keperempuanannya dalam kehidupan, menyiasati permasalahan dan mencari solusinya, dan membungakan wanita-wanita muda lainnya sehingga aroma Aceh tetap harus di mata dunia.

Baca Juga  Polwan Indonesia Pelopor Kesetaraan Gender?

Seperti yang tertulis dalam buku sejarah sekolah, Perang Aceh berlangsung lama dan berlarut-larut disebabkan karena faktor agama (Islam) yang telah lama tertanam dalam hati sanubari rakyat Aceh dengan Al-Qur’an dan Hadis sebagai landasan hukumnya. Yang mengandung nilai kepahlawanan, keberanian, semangat yg luar biasa, pantang menyerah, teguh pendirian dan rela berkorban. Bahkan Snouck Hurgronje berpendapat bahwa Aceh tidak mungkin dilawan dengan kekerasan. Sebab karakter orang Aceh tidak akan pernah menyerah, karena jiwa jihad orang Aceh sangat tinggi. Menurutnya taktik yang paling tepat untuk mengalahkan perlawanan rakyat Aceh adalah dengan mengadu domba antara golongan dan hal tersebutlah yang menjadikan bangsa Aceh menjadi kalah dalam melawan penjajah Belanda.

Emansipasi perempuan berbilang abad lalu sudah berlaku di Aceh, jauh sebelum bangsa barat mendengungkannya. Aceh, baik pada periode Kerajaan Pasai maupun Kerajaan Aceh Darussalam telah membuktikan itu dengan tampilnya sosok perempuan sebagai pemimpin kerajaan. Sudah sewajarnya lah jika kemudian di masa Cut Nyak Dhien, beliau berperan sangat besar dalam mewujudkan perjuangan suaminya. Selain karena dendam atas kematian suami, teman seperjuangan, ada darah yang menetes dalam nadinya yang menunjukkan gen pejuang yang juga untuk mewujudkan kemerdekaan daerahnya yang dijajah oleh Belanda.

Dhien dan  Farwiza Farhan adalah Cut Nyak Dhien milenial  yang bertujuan  sama dengan semangat Cut Nyak Dhien. Di masa  yang berbeda tetapi hidup dan besar di tanah yang sama, berteduh di bawah langit yang serupa, memakan dari hasil bumi yang sesuai  juga. Tentu saja sudah seharusnya memiliki sifat dan tabiat yang selevel dengan semangat dan tabiat dari Cut Nyak Dhien si pahlawan perempuan Aceh itu. Selamat Hari Pahlawan di November ini.

Risnawati Ridwan

By Redaksi Jalan Hijrah

Jalanhijrah.com adalah platform media edukasi dan informasi keislaman dan keindonesiaan yang berasaskan pada nilai-nilai moderasi dan kontranarasi.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *