Jalanhijrah.com- Ini adalah lanjutan dari tulisan saya sebelumnya, Sumber Petaka HTI di Lapas, Mungkinkah Ada Sipir Khilafahers?. Di situ sudah saya ulas bahwa masalah utama propaganda HTI di Lapas sebenarnya adalah kurangnya kesejahteraan orang Lapas itu sendiri. DI satu sisi, para narapidana kurang perhatian dari pemerintah daerah setempat, dan di sisi lainnya para petugas Lapas tidak mungkin menggunakan uang pribadi untuk kebutuhan narapidana. HTI melihat peluang itu dan memanfaatkannya.
Oleh karena itu, PR besar kita adalah, bisakah kebutuhan orang-orang Lapas tersebut terpenuhi sehingga mereka tidak lagi bergantung pada aktivis HTI? Pemerintah dan masyarakat sama-sama punya tanggung jawab moral. Saya punya tawaran bahwa penanggulangan HTI di Lapas bisa ditempuh dengan dengan humanisme masyarakat dan pemerintah, yakni kesadaran bersama untuk memanusiakan para narapidana sebagaimana para ustaz HTI memperlakukan mereka bak raja.
Program Indonesia Bisa Baca Al-Qur’an (IBBQ) adalah kedok belaka. Metode Tahrir yang digunakan adalah jurusnya. Itu semua hanyalah kulit, karena hakikatnya adalah para ustaz HTI berusaha menciptakan koloni Hizbut Tahrir dari kalangan narapidana, menciptakan loyalitas di antara mereka, sampai ketika tiba waktunya nanti para narapidana tersebut menjadi bagian utuh dari HTI itu sendiri. artinya, sekeluarnya dari Lapas atau Rutan, mereka jadi kader penggerak khilafah.
Lalu apakah keteledoran Komenkumham dengan memberikan payung hukum bisa dibenarkan? Saya pikir di situ ada unsur ketidaksengajaan. Jadi, faktornya bukan karena ada petugas Lapas yang terjerat HTI, tetapi karena awamnya mereka soal ormas terlarang itu di satu sisi dan perlunya mereka dengan relawan pengayom narapidana di sisi lainnya. Antara keawaman dan ketidaksejahteraan ini bersatu, maka jadilah petugas Lapas digerogoti propaganda HTI.
Lalu pendekatan humanis seperti apa yang bisa dilakukan? Seberapa efektif untuk menanggulangi pergerakan HTI di Lapas?
Pendekatan Humanis
Humanitas kebajikan manusia dalam segala bentuknya secara maksimal. Istilah tersebut menyiratkan tidak hanya kualitas seperti yang diasosiasikan dengan kata modern kemanusiaan—pemahaman, kebajikan, belas kasih, belas kasihan—tetapi juga karakteristik yang lebih tegas seperti ketabahan, penilaian, kehati-hatian, kefasihan, dan bahkan cinta akan kehormatan. Menjadi humanis adalah berlaku sebagai manusia dan memperlakukan manusia sebagai manusia; keadilan dan kesetaraan.
Dalam konteks anti-terorisme, pendekatan humanis biasanya diidentikkan dengan pendekatan lunak (soft approach) yang mempersepsikan terorisme sebagai kejahatan patologi idelogis yang mesti disikapi dengan pendekatan psikologis pula. Para narapidana terorisme dibina, diajarkan wawasan kebangsaan, dipengaruhi psikologinya agar tidak lagi membenci aparat dan negara. Pendekatan humanis dalam anti-terorisme adalah merebut hati keruh teroris untuk kemudian dibeningkan menjadi pecinta NKRI.
Dalam implementasinya, pendekatan humanis sering kali memanjakan teroris. Mereka difasilitasi ini dan itu, sehingga kehidupan narapidana terorisme tidak senista narapidana umum. Narapidana terorisme lebih sejahtera kehidupannya, dan setelah keluar dari Lapas, mereka akan jadi mitra deadikalisasi yang berdakwah ke Lapas di Indonesia untuk menginsafkan para narapidana teroris lainnya. Dalam konteks ant-terorisme, pendekatan humanis bisa dibilang efektif—meskipun prosesnya lama.
Lalu bagaimana dengan pendekatan humanis dalam konteks narapidana umum? Inilah masalahnya. Mereka luput dari perhatian pemerintah. Hidup mereka tidak sejahtera, bahkan kekurangan. Mereka juga tidak akan jadi mitra pemerintah untuk menyelesaikan suatu perkara seperti napiter yang menjadi mitra deradikalisasi. Napi umum hanya menjalani hukuman, hidup terkekang, menunggu masa hukuman selesai. Setelah keluar dari penjara, mereka juga harus hidup dari nol.
Makanya, kalau kita amati seksama, yang jadi target propaganda HTI di Lapas atau Rutan biasanya Lapasumum seperti kasus narkotika dan sejenisnya. HTI tidak akan mengajarkan IBBQ di Lapas kasus terorisme. Selain karena para teroris adalah orang-orang pintar ngaji, para narapidana terorisme berada dalam perhatian penuh pemerintah. HTI kemudian menyasar mereka yang luput dari pemerintah, dan pemerintah boleh jadi tidak menyadari bahwa itu akan dimanfaatkan HTI.
HTI tidak hanya melihat peluang bahwa di Lapas, napi umum luput dari perhatian. Namun, mereka juga melihat betul bahwa napi umum tidak punya harapan masa depan, dan HTI harus hadir untuk menciptakan harapan bersama dengan mereka, yaitu harapan tegaknya pemerintahan Islam: khilafah. Dengan kata lain, sesuatu yang terbuang dari pemerintah akan dipungut HTI. Mereka yang luput dari perhatian pemerintah akan sangat diperhatikan HTI.
Pendekatan humanis akan menyamakan narapidana yang terpinggirkan itu, memperlakukan mereka sebagaimana seharusnya, secara manusiawi. Pemerintah harus memenuhi kebutuhan mereka, dan masyarakat juga mesti melakukan hal yang sama; jangan abai hingga membuatnya merasa teralienasi seara sosial. Pemerintah daerah, terutama, harus peka dengan nasib mereka, agar mereka tidak berpihak kepada HTI yang mampu memenuhi segala kebutuhannya.
Senja Kala HTI
Jika seluruh Lapas terjamin kesejahteraannya, HTI tidak akan berani masuk menawarkan kerja sama yang pada gilirannya nanti justru menanamkan ideologi berbahaya. Pendekatan humanis telah berhasil menginsafkan banyak teroris, maka pendekatan humanis untuk narapidana umum juga akan menemukan keberhasilan yang sama. Tinggal iktikad baik pemerintah dan masyarakat, sebagai bentuk kepedulian sosial, dan sebagai bentuk pencegahan HTI masuk Lapas.
Hanya dengan cara itu, pergerakan HTI akan musnah. Mereka tidak akan lagi punya jejaring dan daya tawar, karena perannya sudah diambil pemerintah dan masyarakat. Mereka juga tidak akan lagi bisa mondar-mandir Lapas dengan bebas, karena petugas Lapas sudah mengetahui identitas asli dan kepentingan terselubung di balik program Indonesia Bisa Baca Al-Qur’an. Maka, demi keselatan NKRI, humanitas terhadap narapidana adalah niscaya. Humanisme semacam itu akan membendung total propaganda HTI.
Wallahu A’lam bi ash-Shawab
Penulis