Jalanhijrah.com–Pernikahan merupakan bagian fikih yang penting untuk dikaji. Dalam konteks hubunganantarumat beragama khususnya, menjadi bahan kajian tentang perkembangan hukum yang ada di masyarakat sekarang ini. Meskipun demikian, sejak masa sahabat Nabi, pernikahan denganseorang perempuan non muslim sudah banyak terjadi, akan tetapi pada perkembangan sekarangdinamika sosial dan budaya turut berperan dalam membentuk sikap ummat Islam terhadapperkawinan antar pemeluk agama yang berbeda.
Tradisi fikih dalam Islam memberi respon terhadap persoalan-persoalan yang terjadi padamasyarakat terkhusus tentang hubungan antarumat beragama berkaitan dengan pernikahan.Beberapa pokok persoalan yang sensitif dalam hubungan antarumat beragama antara lain: 1) nikah muslim dengan non muslim 2) fasakh nikah akibat perbedaan agama 3) hak nafkah isteri yang masuk Islam, sementara suami berbeda agama dan sebaliknya.
Dalam al Qur’an surat al Baqarah ayat 221 dan al Maidah ayat 5 menjadi dasar pernikahan antar agama. Ayat yang pertama berisi tentang larangan menikahi perempuan atau laki-laki yang musyrik, sedangkan pada ayat kedua menjelaskan takshis ahlul kitab dari larangan menikahi musyrik tersebut. Disini secara umum dikatakan ahlul kitab memang bisa dimasukan kedalam kategori musyrik, tetapi khusus dalam hukum munakahat atau pernikahan mereka mendapatpengecualian (pengkhususan) untuk larangan dinikahi.
Disinilah para ulama berbeda pendapat tentang kategori umat beragama dan status hukumnya. Seperti Abd al Rahman al-Jaziri yang membagi umat beragama ke dalam 3 kelompok diantaranya: pertama, mereka yang tidak memiliki kitab samawi, kedua orang majusi dan ketiga, ummat yang memiliki kitab yang dia imani, seperti ummat yahudi dan nasrani. Kelompok yang disebutkan pertama dan kedua menurut pendapat sebagian ulama dilarang untuk dinikahi, sedangkan yang ketiga boleh dinikahi oleh laki-laki muslim, tetapi golongan dari laki-lakimereka tidak boleh menikahi perempuan dari golongan muslim. Ulama Abu yahya zakariyya al Ansari menyebutnya kitabiyyah khalisah (ahlul kitab yang murni). Penganut Nasrani dan yahudi kemudian dipandang sebagai kelompok yang paling jelas dari ketiga kelompok tersebut.
Sedangkan golongan orang-orang yang mengikuti sahifah Dawud, Ibrahim atau Idris juga tidak boleh dinikahi karena adanya suhuf-suhuf yang mereka miliki untuk kepentingan pribadi bukan umum. Secara singkat, para ulama mazhab fikih terkecuali mazhab hanabilah mengatakankeberatan secara umum dengan pernikahan yang demikian dan lebih cenderung memberi label makruh yang berkaitan dengan perkawinan muslim dengan non muslim. Alasan hukumnya makruh disini adalah menikahi perempuan ahlul kitab bisa menimbulkan adanya fitnah tentang lahirnya anak yang tidak jelas keislamannya.
Secara umum dikatakan bahwa larangan perkawinan akibat adanya perbedaan keyakinan ituapabila dari pihak perempuan masuk kategori penyembah berhala, zindik, murtad, dan ateis, pemilik kitab suci selain Yahudi dan Nasrani. Jadi, hanya dari kalangan mazhab Hanafiyah yang memberikan batasan lebih longgar memperbolehkan nikah dengan pemilik kitab non Yahudi dannon Nasrani, bahkan terhadap para pengikut nabi yang memiliki suhuf. Adanya perbedaan keyakinan bisa membawa pada sebab putusnya pernikahan apabila diketahui pihak laki-laki dari golongan non muslim.
Beberapa perbedaan keyakinan tersebut bisa berdampak kepada relasi dalam keluarga seperti hubungan dengan istri, harta warisan, dan status pemeliharaan anak. Maka dari itu, secara umum seorang istri yang berasal dari kalangan ahlul kitab berhak mendapatkan hak yang sama sebagaimana layaknya istri yang muslimah. Hanya, dalam urusan taharah dari hadats besar, suami memperbolehkan memaksa istri yang non muslim untuk bersuci dari haid dan nifas, karena kesucian merupakan syarat untuk berhubungan intim dari istri.
Kajian perbedaan agama dalam ilmu fikih masuk kedalam bagian mawani al irth yaitu halangan tentang pewarisan. Sehingga orang muslim tidak bisa mewarisi harta non muslim begitupun sebaliknya. Beberapa ulama seperti al nakhai, ibn al musayyab memberikan posisi yang istimewauntuk muslim dengan memperbolehkan muslim menerima warisan dari non muslim dan tidak sebaliknya. Hal demikian tentu berdampak kepada relasi dalam anggota keluarga dengan agama sebagai satu unsur yang bisa mempengaruhi relasi tersebut sampai kepada bab pembahasan warisan.
Dalam urusan pemeliharaan anak adanya tuntutan bahwa anak perkawinan yang berbeda agama itu beragama Islam sebagaimana ayahnya. Maka ibunya tidak berhak untuk memelihara si anak tersebut. Apabila ayahnya tidak ada, maka hak pengasuhan ada pada saudara ayah menurut urutan kedekatan nasab, kalau tidak ada saudara maka hak pengasuhan pada umat Islam.
Demikianlah pembahasan tentang nikah beda agama dalam pandangan Islam dan menurut fikih dalam konteks hubungan antarumat beragama. Seiring berjalannya waktu dan berkembangnya zaman kajian tentang pernikahan beda agama akan terus berkembang dan menjadi kajian untuk terus mengembangkan pikiran dari para peneliti dan ilmuwan.