Selain Perempuan, Anak Juga Harus Dicegah Jadi Kombatan Teror

Jalanhijrah.com- Tren kejahatan terorisme terus mengalami perubahan dari masa ke masa. Setelah melibatkan perempuan sebagai kelompok rentan, anak-anak juga secara aktif dilibatkan sebagai kombatan. Berdasarkan laporan yang disampaikan oleh AMAN Indonesia di tahun 2015, terdapat 3.500 remaja di negara Barat yang terdoktrin paham ISIS melalui social media. Pada tahun 2017, 1.500 anak-anak mengikuti kamp pelatihan militer ISIS. Sedangkan di Indonesia, ada tahun 2018, bom bunuh diri di Jawa Timur tepatnya di Sidoarjo dan Surabaya melibatkan 3 perempuan dan 11 anak.

Menurut data Wicaksono (2018), salah satu alasan anak dilibatkan dalam aksi terorisme adalah untuk mengelabuhi apparat. Di Indonesia khususnya, pada masa sebelum 2018 tidak ada anak yang dilibatkan. Maka aparatpun abai dan tidak waspada terhadap kemungkinan dilibatkannya anak sebagai kombatan. Kelengahan ini dimanfaatkan oleh jaringan teroris untuk melancarkan aksinya sesuai dengan rencana yang telah disusun.

Lantas seperti apa strategi kelompok teroris dalam mendoktrin anak-anak sehingga terlibat aktif sebagai kombatan?

Mendoktrin Anak-anak

UNODC (United Nation Office on Drugs and Crime) dalam buku Handbook on Children Recruited and Exploited by Terrorist and Violent Eztremist Group: The Role of the Justice System menjelaskan beberapa strategi yang diterapkan jaringan teroris untuk menarik perhatian anak-anak. Adapun strategi tersebut antara lain:

Pertama, rekrutmen paksa. Perekrutan dengan cara yang brutal masih ditemukan. Beberapa anak sengaja diculik, dipaksa, diancam, dan bahkan ada juga yang dibeli dari transaksi tracficking. Mayoritas berasal dari keluarga miskin, terlantar, tidak dalam pengasuhan orang tua, dan anak jalanan. Mereka adalah kelompok yang rentan dan mudah terpapar aliran radikal.

Baca Juga  Fenomena Hijrah; Tidak Masuk Akal dan Abal-Abal

Kedua, kerja sama antara kelompok teroris dengan tokoh masyarakat. Muncul anggapan dari beberapa masyarakat bahwa kelompok teroris berjuang untuk melawan kebathilan. Naasnya, pemahaman ini juga diyakini oleh beberapa tokoh masyarakat yang memang memiliki pemahaman yang radikal. Hal ini dimanfaatkan kelompok teroris dengan melakukan kerjasama dengan tokoh masyarakat untuk mendorong anak-anak agar terlibat dengan jaringan.

Ketiga, iming-iming bayaran yang tinggi. Karena targetnya adalah anak-anak yang terjerembab dalam kemiskinan, maka iming-iming bayaran yang tinggi tentunya sangat menarik. Kombatan anak menganggap menjadi bagian kelompok teroris adalah salah satu upaya untuk perbaikan perekonomian.

Keempat, memanfaatkan jaringan teroris transnasional. Terorisme membangun sebuah jaringan transnasional yang etrdiri dari berbagai negara. Jaringan transnasional tersebut secara masif melakukan perekrutan terhadap calon kombatan, dan memberikan akses serta kemudahan bagi calon kombatan untuk menerobos batas wilayah negara lain. Pada perekrutan tipe ini, mayoritas kombatan anak melakukan dengan orang tua.

Kelima, doktrinasi melalui sekolah. Keluasan jaringan terorisme juga masuk ke wilayah pendidikan formal. Meskipun tidak secara langsung mendukung jaringan terorisme, namun sekolah tersebut berperan untuk memberikan doktrinasi kepada anak mengenai jihad. Jika oemahaman mengenai jihad dalam bentuk ekstrimisme sudah tertanam di benak siswa, akan lebih mudah bagi jaringan terorisme untuk merekrut anak-anak tersebut.

Keenam, rekrutmen online. Jaringan internet menembus batas ruang dan waktu. Kemajuan teknologi informasi ini menjadi teknik baru dalam merekrut kombatan anak-anak. Terdapat website-website khusus yang ditujukan bagi calon target kombatan.

Baca Juga  Edukasi Seksual Inklusif Guna Mitigasi Sexual Violence dan Harassment pada Perempuan

Di mana didalamnya dijabarkan tentang kenapa harus berjihad, dan juga kemungkinan fasilitas yang akan didapat jika tergabung sebagai kombatan. Selain website, media sosial juga dimanfaatkan untuk menarik perhatian calon target dengan menggunakan bahasa yang disesuaikan dengan calon target.

Anak sebagai Korban, Bukan Pelaku

Melihat bagaimana strategi yang diterapkan oleh jaringan teroris dalam merekrut kombatan anak, dapat disimpulkan bahwa posisi anak adalah sebagai korban. Meskipun terlihat seperti sukarela, namun keterlibatan anak tersebut pasti didahului oleh paksaan dan iming-iming. Jika pun pada akhirnya kombatan anak dengan sukarela bergabung maka tentu ada banyak faktor yang melatarbelakaninya. Seperti kondisi ekonomi, pertahanan hidup, marginalisasi, diksriminasi, dan garis kemiskinan.

Maka pendekatan hukum dalam menghadapi kombatan anak harus dijauhi. Hal ini sejalan dengan UU No 35 Tahun 2014 tentang perlindungan anak. Bahwa negara memiliki tugas melindungi anak-anak korban terorisme dengan melakukan edukasi tentang pendidikan, ideologi, nilai nasionalisme, konseling tentang bahaya terorisme, rehabilitasi social, dan pendampingan social.

Undang-undang tersebut diperkuat oleh Moh Djafar Shodiq, direktur identifikasi dan sosialisasi Densus 88 Polri. Dalam siaran pers no B-106/SETMEN/HM.02.04/04/2021 sebagai narasumber beliau menyatakan bahwa anak yang terjerat terorisme adalah korban. Meskipun tindakan yang dilakukan melawan hukum, namun mereka tidak bisa dijatuhi hukuman pidana.

Jika pada akhirnya ada anak yang terlibat menjadi kombatan, hal ini merupakan salah satu bagian kegagalan negara dalam melindungi anak-anak. Negara harus menyusun strategi dan pendekatan yang lain agar tak ada lagi anak yang terlibat dalam jaringan terorisme dan aksi radikal.

Baca Juga  Mendekonstruksi Sesat Pikir Gerakan Daulah Islamiyyah

Salah satu pendekatan yang bisa dilakukan adalah dengan menerapkan pendekatan humanis. Saat proses penangkapan pelaku teroris misalnya, jangan sampai dilakukan didepan anak kombatan. Hal ini sebagai upaya preventif agar anak tidak memiliki dendam yang pada akhirnya menjadi bibit teorisme.

Pemerintah melalui Kementerian Agama juga harus terlibat aktif untuk mematikan kurikulum yang diterapkan di lembaga pendidikan tidak bermuatan radikal. Pemerintah harus menindak tegas lembaga pendidikan yang mengajarankan nilai yang bertentangan dengan nasionalisme. Karena salah satu jalan masuknya ideologi radikal dan ekstrimis justru disalurkan melalui lembaga pendidikan formal.

Penulis

Lutfiyana Dwi Mayasari

By Redaksi Jalan Hijrah

Jalanhijrah.com adalah platform media edukasi dan informasi keislaman dan keindonesiaan yang berasaskan pada nilai-nilai moderasi dan kontranarasi.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *