Setelah ratusan hari berlalu, kata “Maaf” baru disampaikan oleh Seo Ye Ji, artis Korea Selatan yang terseret kontroversi karena hubungannya dengan aktor Kim Jung Hyun. Hampir selama satu tahun, Seo Ye Ji menarik diri dari ruang publik dan menahan dirinya untuk bicara. Ia menyadari bahwa kata-kata tidak akan mengubah apa pun tanpa dibarengi dengan perenungan, keheningan, introspeksi, dan perubahan diri.
Setelah dua belas bulan berlalu, Seo Ye Ji baru berani untuk mengeluarkan sebuah surat permintaan maaf. Isinya adalah pengakuan, penyesalan, dan pertanggungjawaban atas kesalahan yang telah diperbuat, tanpa menyertakan pembelaan atau pembenaran atas tingkahnya.
“Halo, ini Seo Ye Ji. Pertama, saya meminta maaf dengan tulus atas kenyataan bahwa saya terlambat menyampaikan perasaan saya melalui kata-kata tertulis ini. Melihat semua celaan dan banyak hal yang telah dikatakan tentang saya, saya telah meluangkan waktu untuk merenungkan diri saya sampai sekarang. Saya ingin meminta maaf dengan tulus karena membuat banyak orang tidak nyaman karena kekurangan saya. Sekali lagi, saya dengan tulus menundukkan kepala dan meminta maaf atas kenyataan bahwa saya telah sangat mengecewakan Anda. Semua ini berawal dari ketidakdewasaan saya, dan saya akan bekerja keras untuk berperilaku lebih hati-hati di masa depan dan menunjukkan kepada Anda versi diri saya yang lebih dewasa,” tulisnya.
Mungkin, kondisi itu sangat sulit ditemukan di negeri kepulauan ini. Belum sampai hitungan minggu, Miftah Maulana, sosok yang berkelakar kasar terhadap penjual es teh lekas-lekas membuat video pernyataan maaf di publik. Ia juga mendatangi kediaman Sunhaji (penjual es teh) dengan menyertakan mata kamera.
Hal yang lebih membuat risih, ia menawarkan umrah untuk keluarga bapak tersebut. Sikap yang terlalu terburu-buru dan politis. Kata “Maaf” seolah direduksi hanya sekadar pertukaran ganti rugi dan pembebasan atas kesalahan.
Belum selesai persoalan itu, publik kembali dihebohkan dengan sebuah video yang memperlihatkan lontaran humor Miftah di sebuah acara pentas wayang. Video itu diunggah oleh beberapa akun, salah satunya Instagram @kalis.mardiasih yang juga segera dipenuhi ribuan komentar.
Dalam video tersebut, Miftah Maulana dengan entengnya berkata, “Kulo iku bersyukur Bude Yati elek, milih dadi sinden. Lak ayu dadi lonte… Kulo iso keracunanan, pun expired ini susune (Saya ini bersyukur Bude Yati jelek, memilih jadi sinden. Kalau cantik jadi pelacur. Saya bisa keracunan, sudah kadaluwarsa susunya)”. Ucapan Miftah, disambut gelak tawa oleh orang-orang yang ada di sekitar.
Seniman, penari, pelawak, aktor senior yang juga seorang ibu itu, dilontarkan jokes yang sangat merendahkan perempuan. Meski Yati sudah menunjukkan beberapa kali respons tidak nyaman, Miftah terus melanjutkan tanpa merasa ada yang salah. Yang lebih menyakitkan, orang di sekitar turut serta menikmati kelakar yang sangat tidak pantas. Belum diketahui pasti kapan peristiwa itu terjadi, tetapi sepertinya sebelum meledaknya kasus es teh. Artinya, lontaran humor yang berbau merendahkan, menghina, dan angkuh, bukan hanya sekali dilakukannya.
Menurut Susan Krauss Whitbourne dalam tulisan bertajuk Does Calling It a Joke Make Sexism More Acceptable (2016), humor seksis adalah sebuah upaya menutupi pandangan merendahkan terhadap perempuan agar diterima secara sosial. Dewi Candraningrum, dalam Jurnal Perempuan, juga mengungkapkan bahwa humor seksis adalah humor yang memandang inferior, menghina bentuk atau ukuran tubuh, menjadikan sebagai objek seks, terhadap laki-laki, perempuan, maupun non-biner. Tidak hanya yang bernada seksual, kadang humor seksis dapat terkesan halus, namun tetap bersifat merendahkan
Kelakar yang dibawa oleh Miftah adalah seksis. Ia telah membuka ruang terjadinya normalisasi dan pelanggengan diskriminasi terhadap perempuan atas nama ‘humor’. Akibatnya bisa langsung terlihat, penonton tidak ada yang menganggap hal tersebut salah. Mereka turut tertawa bahkan ikut berkata kasar. Peristiwa itu bisa terjadi karena dua hal, pertama kurangnya sensitivitas dan kesadaran gender dalam masyarakat, terutama persoalan kekerasan seksual. Kedua adalah kepercayaan pada sosok Miftah yang terlanjur dianggap sebagai tokoh panutan.
Komnas Perempuan memaparkan 15 jenis kekerasan seksual, salah satunya adalah pelecehan seksual. Pelecehan seksual merupakan tindakan seksual lewat sentuhan fisik maupun non fisik dengan sasaran organ seksual atau seksualitas korban. Hal itu termasuk menggunakan siulan, main mata, ucapan bernuansa seksual, colekan, dan sentuhan di bagian tubuh yang mengakibatkan rasa tidak nyaman, tersinggung, merasa direndahkan martabatnya, hingga menyebabkan masalah kesehatan dan keselamatan.
Kalimat seksis yang dilontarkan Miftah kepada Ibu Yati sangat jelas merupakan tindak kekerasan seksual dalam bentuk pelecehan. Ia menggunakan ucapan bernuansa seksual yang merendahkan sekaligus melanggengkan objektifikasi atas tubuh perempuan. Mengingat profil Miftah yang dipercayai sebagai tokoh agama sekaligus utusan khusus presiden, rasanya tidak cukup hanya sekadar melisankan maaf di hadapan publik atau dipecat dari jabatannya. Mifta perlu waktu panjang untuk berbicara pada dirinya sendiri.
Tindakan yang dilakukan oleh Seo Ye Ji, barangkali bisa dijadikan bahan pertimbangan bagi Miftah dalam menyikapi kasus ini. Bukan hanya sekadar melisankan tetapi menemukan makna dari kata “maaf” itu sendiri. Maaf bukan upaya untuk menghindari kecaman publik. Maaf bukan tindakan transaksional. Maaf bukan sebuah pembebasan dari kesalahan dan dosa. Maaf adalah mengakui, menyesali, dan mempertanggungjawabkan kesalahan. Maaf membutuhkan waktu untuk untuk sampai pada kata memaafkan.
“Humor terbaik adalah menertawakan diri sendiri. Dan humor terburuk adalah menertawakan mereka yang dhaif, lemah, yang tak berkuasa,” begitu kata Gus Dur.
Barangkali kutipan di atas bisa dijadikan sebagai harga maksimal untuk menjadi batasan membuat lelucon. Tiada tawar-menawar. Yang terjadi pada polemik Miftah Maulana terhadap penjual es teh dan Ibu Yati adalah humor paling buruk yang layak ditukar dengan kritik dan kemarahan publik.
Yulita Putri
Bergiat di Bilik Literasi dan Kamar Kata Karanganyar.
Sumber: https://arina.id/perspektif/ar-qHgtU/miftah-dan-guyon-seksisnya-yang-tidak-lucu