Jalanhijrah.com– Berbicara mengenai perempuan seolah berbicara mengenai manusia kedua atau manusia cadangan, manusia lemah dan manusia yang cengeng. Sejarah mencatat Hawa diciptakan dari tulang rusuk Adam. Hal tersebut menjadi mitos pendiri inferioritas (rendah diri) perempuan dan kita tahu efek bencana yang ditimbulkan oleh konsep jenis ini sepanjang sejarah umat manusia.
Dalam mitos masyarakat Hawa-lah yang menyebabkan Adam terusir dari surga Allah Karena Hawa dianggap sebagai penghasut Adam untuk melanggar larangan Allah sewaktu adam dan Hawa tinggal di Surga dan akhirnya karena dosa tersebut Allah menghukum Adam dan Hawa hingga akhirnya mereka diusir dan diasingkan ke Bumi. Padahal pada kenyataannya di dalam Agama Islam atau lebih tepatnya di dalam Al-Qur’an tidak ada satu Ayatpun yang mengatakan bahwa Perempuan tercipta dari tulang rusuk laki-laki.
Islam sendiri mengajarkan tentang kedamaian, cinta kasih bahkan keadilan terhadap sesama manusia tanpa melihat gender, baik laki-laki maupun perempuan hakikatnya sama di depan Allah Swt yang membedakan hanya ketaqwaannya saja, seperti yang terdapat dalam Al-qur’an surat Al-Hujurat ayat 13
“wahai manusia! Sungguh, kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, kemudian kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sungguh, yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertaqwa. Sungguh, Allah maha mengetahui, Maha teliti”. Dalam Ayat Al-Qur’an tersebut jelas dikatakan bahwa makhluk yang paling mulia di hadapan Allah itu bukanlah laki-laki melainkan makhluk yang paling bertaqwa.
Kedudukan perempuan di dalam berbagai organisasi diperhatikan secara khusus oleh Rosabeth Moss Kanter. Menurutnya, ketimpangan peran gender di dalam berbagai organisasi disebabkan oleh stereotipe perempuan mempunyai berbagai keterbatasan. Keterbatasan tersebut melahirkan anggapan bahwa jika perempuan menduduki jabatan baik dalam sebuah organisasi, instansi maupun perusahaan akan mengganggu pada keberlangsungan proses terciptanya visi dan misi dari hal tersebut.
Sejak saat itu perempuan yang memilih berdaya bekerja di ranah publik dengan sepenuh hati mempunyai banyak ancaman dan tantangan. Mengapa demikian? Karena menurut masyarakat patriarkal sukses memiliki korelasi positif untuk laki-laki dan memiliki konsekuensi negatif untuk perempuan.
Berbicara mengenai pemimpin perempuan sering dianggap keliru bahkan dianggap sebagai pilihan yang berlebihan. Ketika perempuan berambisi menjadi wanita karir sekaligus menjadi seorang pemimpin tak sedikit masyarakat memandang hal tersebut akan sulit mendapatkan jodoh. Hal ini menunjukan seolah-olah laki-laki tercipta untuk menjadi manusia superior yang memiliki kuasa atas perempuan.
Padahal jika kita merujuk pada sejarah sejak zaman Rasulullah, perempuan diperbolehkan menjadi seorang pemimpin. Leila Ahmed dalam women and gender in islam menerangkan pada zaman Nabi Muhammad SAW beliau pernah memilih Imam perempuan yang bernama Ummu Waraqah untuk kaum perempuan dan laki-laki di keluarganya, meski demikian sepeninggal Nabi, Aisyah dan Ummu Salamah masih aktif mengimami shalat perempuan-perempuan lain.
Hal tersebut menunjukan bahwa baik perempuan maupun laki-laki berhak menjadi seorang pemimpin, tanpa harus memberikan batasan-batasan yang merugikan perempuan. Karena tidak ada satu konsep pun dalam Al-qur’an yang membatasi perempuan menjadi seorang pemimpin.
Konsep dasar Islam tentang pemimpin terdapat dalam Al-Qur’an surah Al-Baqarah ayat 30 “Allah menciptakan manusia, laki-laki dan perempuan untuk menjadi pemimpin” dalam maknanya yang cukup luas pemimpin disini artinya pemimpin baik dalam pendidikan, pemimpin pemerintahan, pemimpin keluarga maupun pemimpin untuk dirinya sendiri.
Al-Qur’an sendiri menggambarkan Ratu Bilqis sebagai simbol kepemimpinan perempuan yang dilukiskan memiliki kerajaan super power (laha arsyun adhim) yang diuraikan tidak kurang dari dua surah yakni Qs. An-Naml dan Qs. Al-anbiya yang mengisyaratkan juga mengakui keberadaan makhluk Allah yaitu perempuan sebagai pemimpin.
Hal tersebut juga diperkuat dengan Hadis Nabi Muhammad “Masing-masing dari kamu adalah pemimpin, dan masing-masing dari kamu bertanggung jawab atas apa yang dipimpinnya” (Hadis Riwayat Ibnu Abbas). Makna yang paling utama dalam kepemimpinan baik laki-laki maupun perempuan adalah bahwa manusia pada dirinya mempunyai tanggung jawab yang harus diemban dengan sebaik mungkin dan dilaksanakan dengan penuh amanah,
Apakah stigma negatif yang menimpa perempuan itu merupakan tradisi teroris? Faktanya, teroris selalu memosisikan perempuan sebagai manusia kelas dua yang, apalagi memimpin, mereka bahkan hanya dijadikan tawanan rumah atau bahkan budak seks. Sangat miris. Jika stigma tersebut berlaku di sekitar kita, apakah kita artinya memiliki irisan tradisi dengan teroris? Silakan direnungkan.
*Penulis: Siti Rohmah Mahasiswi UIN Sunan Gunung Djati Bandung, anggota Puan Menulis