Publikasi Ilmiah dan Pendidikan yang Timpang

Jalanhijrah.com– Ada yang menarik ketika Riduan Situmorang, seorang guru sekaligus pemerhati pendidikan melalui esai-esainya, menuliskan pokok tentang keharusan guru menulis dalam portal badan bahasa. Lagipula, tulis Riduan, setiap guru baru akan berhak memangku posisi sebagai guru setelah ia menulis, sekurang-kurangnya skripsi.

Apa yang ditekankan Riduan secara tak langsung bagi saya merupakan sesungguhnya mahasiswa sarjana hanya menulis sekali selama empat tahun masa pendidikan dan bahkan menjadikan yang pertama dan terakhir—jika tidak menggunakan jasa pembuatan skripsi.

Perihal menulis dalam pendidikan selama ini bermakna ganda dan kadung tak merujuk kepada aktivitas yang menerbitkan kreativitas. Menulis pada umumnya dianggap juga sebagai memindahkan apa yang sudah tertulis, baik itu di buku, jurnal, dan sebagainya. Anggapan ini juga merujuk kepada makna ‘penulis’ menjadi agung sebagai profesi yang tunggul bekerja dalam bidang kepenulisan.

Padahal kita tahu, menulis adalah aktivitas yang terukur dan memiliki parameter yang jelas berdasarkan jenis pelaksanaannya. Menulis yang konkret setidak-tidaknya ialah menuangkan buah pikiran dari pemikiran utuh yang telah dipadukan beberapa historis pembacaan dan pengamatan kepada lingkungan sekitar. Tentu, pada titik ini saya tak ingin membawa pernyataan bahwa membaca merupakan alat yang penting sebab pada titik ini, perihal membaca adalah hal yang formal dan bila menyangkut membaca tentu tulisan ini tak perlu dilanjutkan.

Keterampilan menulis, tutur Saleh Abbas dalam Pembelajaran Bahasa Indonesia yang Efektif di Sekolah Dasar, adalah kemampuan mengungkapkan gagasan, pendapat, dan perasaan kepada pihak lain dengan melalui bahasa tulis.  Seturut dengan itu, maka sebetulnya perihal memindahkan apa yang sudah tertulis, baik itu di buku, jurnal, dan sebagainya adalah perspektif yang cukup keliru. Menulis bagaimana pun tetap diartikan sebuah penciptaan yang autentik.

Baca Juga  Deradikalisasi Agama; Peran Ushul Fikih Dalam Membangun Nalar Islam Moderat

Publikasi Ilmiah

Dan kini, dalam dunia akademik yang serba membingungkan, para mahasiswa dituntut menjadi seorang yang mampu menulis. Saya tak mengatakan sebagai penulis dengan landasan bahwa proses yang ditempuh seorang mahasiswa tak bisa ujug-ujug begitu saja lantaran penyelesaian sekali kerja yang singkat menuliskan skripsi.

Namun beruntungnya, pada periode yang telah lampau, kepenulisan yang singkat itu begitu longgar dengan syarat yang hanya ditentukan internal kampus itu sendiri. Artinya, dinyatakan lulus atau tidaknya seorang mahasiswa sarjana menggunakan tulisan ilmiah itu (baca: skripsi) bergantung pada penilaian para penguji yang diisi oleh orang-orang internal seperti dosen yang cukup lama telah mengenal satu sama lain dalam cakupan dosen dengan mahasiswa. Pada penilaian itu setidaknya yang dihadapi seorang mahasiswa sarjana hanya perihal cek plagiasi.

Kondisi semacam itu tentu tidak betapa memberatkan pada kiwari ini, yang tengah dijalani mahasiswa sarjana sebab karya ilmiah tidak lagi bergerak sebagai konsumsi pribadi internal yang lebih mengarah kepada syarat kelulusan seorang mahasiswa.

Di tengah gelanggang kehidupan akademik sekarang, tulisan ilmiah setidaknya harus mendapatkan tempat bagi pembacanya. Tulisan ilmiah, dalam mata akademik, lebih menekankan kepada aktivitas publikasi yang kadung dianggap sebagai suatu yang sahih dan berkebenaran tak terdongkel.

Bila pada masa yang lampau tulisan ilmiah yang dikerjakan mahasiswa sarjana semata skripsi, pada periode yang kini mahasiswa dituntut juga menuliskan artikel ilmiah, selain dari skripsi. Memang pengertian artikel ilmiah di sini sebenarnya tak secara utuh sebab pada praktiknya hanya mengalihwahanakan pokok isi skripsi ke dalam artikel ilmiah.

Baca Juga  Cepat Merespon Paham Radikal Terorisme di Garut, BNPT Apresiasi Pemkab Garut

Pendidikan yang Timpang

Namun yang menjadi pertanyaan atas persoalan ini tentulah memanjang sebab melihat parameter yang telah ditetapkan seluruh universitas terhadap kemampuan menulis sangatlah minim. Sebagai acuan yang mudah, mari kita berkaca kepada jumlah mata kuliah tiap jurusan yang mesti diselesaikan dalam periode pendidikan yang telah ditentukan, mata kuliah pengembangan bahkan pembelajaran dasar terkait menulis sangat minim ditemukan.

Saya tak sedang main-main dengan kalimat terakhir ini. Johannes Sumardinata, misalnya, menuliskan dalam esainya yang terangkum di Guru Gokil Murid Unyu, mengisahkan fakta yang sangat gawat: dari ribuan guru bahasa Indonesia, tak sampai 0,5 persen yang pernah membaca tetralogi Pramoedya Ananta Toer.

Mereka bahkan tidak mengenali buah pemikiran Ki Hadjar Dewantara, apalagi Paulo Freire. Seturut dengan itu, menurut penelitian Anita Lie (Kompas), hampir separuh sampel guru bahasa Indonesia tak bisa menulis 3 paragraf esai. Bahkan, masih ada guru yang tak mengerti apa itu “paragraf”.

Hal ini juga ditambahkan dengan penemuan-penemuan yang pasar, yang di luar jurusan bahasa Indonesia, bahwa di banyak universitas di Indonesia, kebanyakan meminggirkan pembelajaran penulisan. Bahkan terkait mata kuliah bahasa Indonesia saja, jurusan-jurusan non-bahasa tidak menjadikan mata kuliah itu sebagai mata kuliah pokok yang dalam praktiknya harus dijalankan diakomodasi serius mungkin.

Pada mata kuliah bahasa Indonesia, para mahasiswa cenderung mempelajari penulisan pengutipan, menyusun kalimat efektif, dan sebagainya, yang pada intinya tidak menyentuh problematika terkait menulis secara intens. Terkait masa pembelajaran tersebut betapa singkat, sangat tidak memungkinkan memang melihat dengan defisit waktu yang minim bisa mendidik para mahasiswa mampu menulis.

Baca Juga  Bersenandung 'Perdamaian' Bersama Nasida Ria

Padahal kita tahu sendiri bahwa perihal menulis merupakan suatu yang sukar dipelajari, bahkan kebanyakan penulis menyatakan bahwa dirinya sendiri masih terus belajar menulis. Tetapi tentu, minimnya pembelajaran menulis tak bisa diserahkan mutlak di dalam kelas di universitas.

Namun setidaknya, ketika universitas tak bisa menjamin keterampilan yang ruwet itu, seharusnya publikasi ilmiah dalam lingkaran universitas terkhusus kepada jenjang sarjana harus dievaluasi kembali. Menjadikan publikasi ilmiah sebagai dukungan menaikkan taraf kampus memang begitu besar dampaknya, namun jika hanya melihat hasil, tentu akan timpang ketika peraturan itu dijalankan.

Sehingga semata-mata publikasi ilmiah (baca: menulis) bukanlah sebuah kegiatan yang pedagogik, menulis semata digunakan untuk keperluan yang sifatnya korporat dan menjauhi ruh pendidikan.

By Redaksi Jalan Hijrah

Jalanhijrah.com adalah platform media edukasi dan informasi keislaman dan keindonesiaan yang berasaskan pada nilai-nilai moderasi dan kontranarasi.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *