Hari guru diperingati setiap tahun. Konon, jumlah mereka terus bertambah, namun nasib yang menyertainya tak kunjung berubah.
Di berbagai pelosok negeri, nasib guru honorer terutama, menjadi ironi. Mereka yang menjadi pilar pendidikan justru harus bertahan dalam ketidakpastian hidup. Sebagian terus tertatih memperjuangkan kesejahteraan, sementara sebagian lainnya sudah menyerah pada sistem yang dianggap tidak berpihak.
“Kita tak pernah kekurangan guru, kita hanya kurang perhatian pada nasib guru honorer,” ungkap Rektor IKIP Jakarta (1975–1980), almarhum Winarno Surakhmad. Pernyataan lugas Winarno menjadi gambaran nyata atas situasi yang tidak berubah sejak lama.
Tantangan menjadi guru makin besar dan pelik. Bagi guru-guru muda yang kini dihadapkan pada generasi alpha—anak-anak dengan karakter kritis, cerdas digital, tetapi memerlukan pendekatan berbeda. Di tengah upah minim dan beban administratif yang berat, mereka tetap berjuang menciptakan lingkungan belajar yang menyenangkan dan produktif.
Yus Ambarwati (26), seorang guru di Madrasah Aliyah Salafiyah Karangtengah, Pemalang, adalah salah satu dari banyak guru honorer yang berjuang dengan segala keterbatasan. Mengajar dua mata pelajaran, geografi dan seni rupa untuk siswa kelas 11 dan 12 sejak 2021, Yus hanya menerima gaji Rp500.000 per bulan. Nominal ini jauh dari cukup untuk memenuhi kebutuhan keluarganya, terlebih ia memiliki dua putra yang masih kecil.
“Menata cara pembelajaran supaya anak nyaman, belum lagi administrasi yang rumit, tentu tidak sebanding dengan upah yang didapat,” keluh Yus.
Selain itu, ia menghadapi tantangan mengajar generasi alpha yang kritis dan memiliki karakter unik. Untuk mengatasinya, Yus menerapkan pendekatan pembelajaran dua arah, mengawali kelas dengan deep talk agar siswa tidak bosan.
Namun, beban tidak hanya datang dari ruang kelas. Di luar jam mengajar, Yus harus bekerja serabutan mengajar les privat, menjadi MC di acara-acara, hingga menjual buket bunga dan makanan.
“Semangat saja tidak cukup. Gaji ini tidak sebanding dengan meninggalkan dua anak di rumah,” tuturnya.
Inovasi di Tengah Keterbatasan
Nasib serupa dialami Ahmad Solkan, guru bahasa Arab di Madrasah Ibtidaiyah Tambaharjo, Pati. Selama tiga tahun lebih mengajar, ia harus memutar otak agar materi pelajaran mudah dipahami siswa, meski dengan fasilitas dan dukungan yang minim. Ia mengintegrasikan e-learning dan lagu-lagu dalam pembelajaran bahasa Arab, memanfaatkan kreativitas untuk menggugah minat siswa.
“Alih-alih melarang anak bertanya, lebih baik aku biarkan. Rasa ingin tahu mereka justru menjadi potensi yang harus dimanfaatkan,” ujarnya. Ahmad juga aktif mengikuti berbagai pelatihan untuk meningkatkan kompetensinya, meskipun biaya dan waktu menjadi kendala.
Namun, gaji yang diterima tetap menjadi persoalan besar. Ahmad menegaskan perlunya standarisasi gaji guru honorer sesuai UMR.
“Beban kerja kami sama seperti guru bersertifikasi dan PNS, tapi gaji jauh berbeda. Harus ada perhatian lebih untuk kami,” katanya.
Meski penuh tantangan, Yus dan Ahmad tetap memiliki harapan. Mereka ingin ada kebijakan yang memperbaiki nasib guru honorer, termasuk standarisasi gaji, perlindungan hukum, dan kurikulum yang lebih stabil. Mereka percaya bahwa pendidikan berkualitas hanya bisa terwujud jika kesejahteraan guru diperhatikan.
Di tengah keterbatasan, dedikasi guru honorer tetap menjadi motor penggerak pendidikan. Namun, apakah bangsa ini rela terus mengandalkan mereka tanpa memberikan kesejahteraan yang layak?
Ketua Bidang Advokasi Perhimpunan Pendidikan dan Guru (P2G) Iman Zanatul Haeri mengatakan jika dibandingkan dengan profesi lain, seperti buruh, jurnalis, arsitek, advokat, dan dokter, para guru honorer murni ini kedudukan jauh lebih rendah. Sebab utamanya mereka tidak memiliki kontrak kerja, serta tidak ada kejelasan berapa gaji yang didapatkan dan apa saja hak mereka.
Mereka hanya memiliki surat keputusan tanpa rincian hak, tetapi bertabur kewajiban-kewajiban yang tidak setara dengan gaji yang didapat. Kondisi ini terjadi selama puluhan tahun, lambat laun dianggap sebagai sebuah kondisi yang lazim. Terdapat dua pihak yang menyebabkan normalisasi nasib guru honorer.
Pertama, orang-orang yang sudah lama bekerja di lingkungan pendidikan, baik dinas pendidikan, sekolah, maupun kalangan guru itu sendiri yang menganggap bahwa menjadi guru honorer adalah tahapan wajar yang harus dilalui. Sering kali para guru honorer ini dinasihati agar terus bersabar sebagaimana dilalui para guru pada masa lalu.
“Normalisasi ini perlu dilawan karena bukannya menghentikan pembusukan terhadap kesejahteraan guru, malah melestarikan ketidakadilan,” ujarnya.
Kedua, menyalahkan para guru honorer yang dianggap harus menanggung sendiri nasibnya sebagai pilihan pribadi. Persoalannya, guru honorer tercipta akibat kegagalan pemerintah dalam memenuhi kebutuhan tenaga guru, dalam rangka menyelenggarakan pendidikan sekolah negeri di seluruh Indonesia.
Pada Hari Guru 2024, pertanyaan besar yang harus dijawab oleh pemerintah dan pemangku kebijakan lain, sampai kapan bangsa ini terus bergantung pada dedikasi guru honorer tanpa memberikan kesejahteraan yang layak? Jika pendidikan adalah pilar masa depan bangsa, sudah saatnya para penjaga pilar ini mendapatkan perhatian yang semestinya.
Sumber: https://arina.id/berita/ar-1YLjH/nasib-guru-honorer-yang-tak-kunjung-berubah