Selain mengupayakan sakinah, mawaddah wa rahmah dalam relasi internal, keluarga maslahah mengemban fungsi sosial sebagai bagian dari masyarakat yang lebih luas.
Sebagai unit terkecil masyarakat, keluarga mengambil peran aktif untuk memengaruhi kemaslahatan bersama. Perencanaan keluarga, misalnya, bukan hanya mengenai jumlah anak dalam keluarga dan tanggungan finansial. Tetapi juga mengenai kualitas keluarga dan kualitas bangsa di masa mendatang.
Dalam bingkai Nahdlatul Ulama (NU), keluarga maslahah tidaklah dipandang sebagai institusi yang terpisah dari masyarakat. Keluarga merupakan penyangga umat, yang dicita-citakan dalam gerakan Mabadi’ Khairi Ummah.
Sementara keluarga membutuhkan kualitas individu insan kamil, yang mampu mengemban dan membina kemaslahatan keluarga (mashalih al-usrah).
Hingga pada akhirnya mampu mengembangkan kemaslahatan umum (al-mashalih al-‘ammah), baik untuk lingkup jama’ah NU secara khusus. Maupun bangsa Indonesia secara umum, bahkan peradaban dunia dan kelestarian semesta.
Al-Mashalih al-‘ammah (kemaslahatan umum) adalah pemenuhan atas segala sesuatu menyangkut kepentingan bersama yang dapat memenuhi hajat hidup orang banyak di suatu wilayah tertentu.
Misalnya menyangkut masalah kesejahteraan bersama lahir maupun batin, perlindungan atas hak asasi manusia, jaminan keamanan dan ketertiban. Termasuk pelaksanaan hukum yang adil, pemenuhan pendidikan dan kesehatan, peradaban dan perdamaian dunia, serta kelestarian alam.
Ini merupakan kebutuhan nyata manusia yang apabila tidak dipenuhi, masyarakat dan semua keluarga akan mengalami kehilangan arah dan proses pemiskinan yang menyengsarakan.
Trilogi Ukhuwwah merupakan salah satu landasan ke-NU-an KMaN. Konsep ini dikemukakan oleh KH. Ahmad Shiddiq (1926-1991) menjelang Muktamar NU ke-28 di Krapyak Yogyakarta pada tahun 1989 sebagai upaya untuk menjaga hubungan baik antara masyarakat, agama dan negara.
Prinsip dasarnya adalah warga NU perlu mampu bersahabat dengan siapa saja selagi dalam konteks kebaikan. Trilogi ukhuwwah terdiri dari:
Pertama, Ukhuwwah Islamiyah (persaudaraan sesama Muslim). Persaudaraan ini menghendaki agar warga NU bisa bersaudara dengan sesama Islam, meksipun berbeda madzhab, organisasi, maupun partai politik dan lainnya.
Perbedaan-perbedaan tersebut tidak dijadikan alasan untuk melemahkan apalagi memecah-belah Umat, namun sebaliknya menjadi kekuatan besar untuk bersama-sama membumikan nilai-nilai Islam, terutama yang terkandung dalam prinsip sembilan Maqashid asy-Syariah di atas.
Persaudaraan sesama Muslim ini tidak sebatas emosional, namun juga secara sprititual. Keluarga Maslahah an-Nahdliyyah menjadi tempat berproses untuk menyikapi perbedaan internal umat Muslim secara arif, mencari titik temu, untuk bisa bersama membangun kehidupan yang lebih baik.
Kedua, Ukhuwwah Wathaniyah (persaudaraan sesama bangsa). Warga NU perlu memelihara persadaraan dengan sesama bangsa Indonesia melalui ukhuwwah wathaniyah ini.
Perbedaan agama, juga suku, bahasa, dan budaya tidak dipandang sebagai alasan untuk memecah belah bangsa Namun, sebaliknya menjadi modal sosial untuk memperkuat bangsa, dengan peran dan kapasitas yang berbeda-beda.
KMaN menjadi tempat belajar menyikapi perbedaan bangsa Indonesia secara arif, Budaya Indonesia, budaya Arab, dan budaya lainnya sama-sama mempunyai tempat selama mampu mengekspresikan nilai-nilai keislaman dan mengandung kemaslahatan untuk kehidupan bersama.
Keluarga menjadi tempat bagi setiap individu untuk berproses menjadi seorang Muslim tanpa kehilangan jati diri sebagai bangsa Indonesia. Dan sebaliknya menjadi bangsa Indonesia tanpa kehilangan jati diri sebagai Muslim.
Ukhuwwah Insaniyah
Ketiga, Ukhuwwah Insaniyah (persaudaraan sesama manusia). Persaudaraan ini menghendaki agar perbedaan-perbedaan agama, suku, bangsa tidak melemahkan sesama manusia.
Bahkan sebaliknya menjadi modal dasar untuk saling bersinergi mewujudkan kemaslahatan dan menghapuskan kemafsadatan di berbagai level kehidupan terutama dalam pergaulan global.
Hal ini sebagaimana ungkapan terkenal Sahabat Ali bin Abi Thalib bahwa “Dia yang bukan saudaramu dalam iman adalah saudaramu dalam kemanusiaan.”
KMaAN menjadi tempat berproses untuk menanamkan nilai-nilai kemanusiaan dan menjadikannya sebagai cara pandang dalam melihat setiap persoalan manusia.
Trilogi ukhuwwah terinspirasi pandangan Imam al-Ghazali tentang adanya tiga jenis tetangga. Pertama, tetangga yang satu keluarga dan satu agama. Baginya, ada hak tetangga, hak keluarga, dan hak saudara seagama.
Kedua, tetangga yang satu agama tetapi tidak satu keluarga. Baginya, ada hak tetangga dan hak saudara seagama.
Ketiga, tetangga yang bukan saudara dan beda agama. Baginya, ada hak tetangga untuk diperlakukan secara baik, disapa, dikunjungi, dan tidak disakiti, atau diperlakukan secara zalim dan tidak adil.
Pandangan ini menjadi landasan rumusan Trilogi Ukhuwwah yang diadopsi NU untuk kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara di Indonesia.
KMaN perlu menjadi medrasah utama dalam melahirkan individu-individu yang berkepribadian kuat dalam pergaulan dengan sesama Muslim, sesama bangsa Indonesia, dan sesama manusia.
Trilogi Ukhuwwah ini juga menjadi landasan bagi rumusan hubungan dan pergaulan washlahah yang bertumpu pada sembilan Maqashid asy-Syari’ah. Sehingga bisa melahirkan kemaslahatan maksimal, baik untuk internal anggota keluarga, maupun seluruh masyarakat, bangsa, dan manusia bahkan alam. []