Jalanhijrah.com-Kata merdeka memiliki berbagai definisi, khususnya bagi perempuan dengan beragam kondisi. Yulianti Muthmainnah, Ketua Pusat Studi Islam, Perempuan, dan Pembangunan (PSIPP)melalui survei yang ia lakukan pada 200 mahasiswa dan mahasiswi di ITB Ahmad Dahlan, menunjukkan bahwa makna kemerdekaan bagi perempuan adalah terpenuhinya hak dasar perempuan sebagai manusia. Posisi sejajar atau setara antara perempuan dan laki-laki, adanya penghormatan pada perempuan, dan memanusiakan perempuan, serta nondiskriminasi. Unsur-unsur di atas dapat terpenuhi jika perempuan memiliki akses terbuka terhadap pendidikan serta teknologi. Melalui pendidikan formal maupun informal, perempuan memiliki kesempatan untuk belajar, menyuarakan pendapat, berorganisasi dan tentu saja belajar menjadi wanita mandiri.
Pondok pesantren dalam perjalanannya selama ratusan tahun telah menyumbangkan jutaan alumni, baik laki-laki dan perempuan. Tidak hanya terpaku pada kajian agama, pesantren sebagai lembaga pendidikan nonformal mengajarkan berbagai hal untuk bertahan hidup baik dalam segi moral maupun material. Meskipun berada dalam era teknologi, pesantren masih lekat disebut dengan penjara suci, utamanya pesantren khusus perempuan. Sebagian dari pesantren melarang santri perempuan untuk bepergian di luar area pesantren, mereka juga dilarang untuk menggunakan gadget, membaca buku-buku tertentu, bahkan dilarang untuk berekspresi atau berpendapat tentang hal tertentu.
Aturan-aturan yang sifatnya mutlak dan mengikat, pada satu sisi melahirkan efek negatif, yaitu tidak adanya pilihan bagi perempuan. Bahkan di pesantren tertentu, perempuan dididik untuk menjadi seseorang yang hanya mahir dalam urusan dapur, sumur, kasur. Pekerjaan-pekerjaan domestik seolah-olah menjadi kewajiban tunggal seorang perempuan. Sehingga tak jarang, seorang santri perempuan diperbolehkan meninggalkan pesantren hanya saat ia sudah memiliki calon suami dan siap untuk menikah. Meskipun tujuannya baik, sudah seharusnya perempuan diberi hak untuk memilih, sebab tugas perempuan tidak hanya untuk menolong diri atau keluarganya, namun juga sesama.
Maraknya berita tentang kasus kekerasan seksual di sosial media juga menjadi bukti bahwa tidak ada ruang aman bagi perempuan, termasuk pesantren. Dengan adanya kasus tersebut, kini pesantren harus membuat regulasi baru. Ruang yang aman, nash-nash yang ramah terhadap perempuan serta kesempatan untuk berbicara dan berpendapat. Ia juga harus memiliki kesempatan yang sama sebagai manusia, dididik menjadi subjek penuh bukan separuh. Regulasi pesantren seperti yang telah diuraikan di atas tidak ada artinya tanpa perjuangan perempuan dalam mengubah persepsinya sendiri. Ia yang lekat dengan tradisi perjodohan, selalu memiliki hak untuk memilih atau menolak. Selama pikirannya tidak hanya tertuju kepada usia dan pernikahan, ia bisa mewujudkan segala impiannya.
Santri putri sebagai manusia yang merdeka dari penghambaan terhadap dunia juga bisa memilih peran sebagai agen perubahan. Ia bisa hadir sebagai santri yang terbuka terhadap berbagai realita, mau belajar tentang segala hal, juga kritis terhadap ajaran-ajaran yang ia terima. Ia harus sadar bahwa ia adalah subjek penuh, sehingga tidak lagi terdoktrin oleh tafsir-tafsir misoginis. Bahkan jika ia mendapat kesempatan untuk mengakses portal keagaamaan dan buku yang ramah perempuan, ia bisa menawarkan dan membagikan ilmunya kepada temannya, sehingga misi Islam sebagai agama yang ramah perempuan bisa diciptakan.
Peran pesantren dan santri sebagaimana yang telah saya sebutkan di atas juga akan lebih maksimal dengan kehadiran nyai dan ning (baca putri kiai) di ranah publik. Nyai dan ning memiliki kesempatan untuk tampil di ranah publik, jaringan yang luas serta kepercayaan dari masyarakat. Dari keuntungan tersebut, akan lebih mudah bagi mereka untuk mengedukasi perempuan, baik santri maupun nonsantri. Beruntung, akhir-akhir ini tampil beberapa ning maupun nyai di media sosial, kehadiran mereka di ranah publik menjadi salah satu bukti bahwa gerak santri tidak hanya terbatas dalam wilayah domestik. Melalui kecerdasannya mengaji dan mengkaji kitab-kitab klasik maupun kontemporer, ia bisa merespon pertanyaan-pertanyaan yang seringkali menyudutkan perempuan.
Meskipun pada praktiknya mengalami berbagai kendala, baik subordinasi maupun marginalisasi perempuan. Kita patut bersyukur, sebab kehadiran santri ini membawa pemahaman dan inspirasi bagi banyak perempuan, utamanya Muslim. Sebut saja Ning Nurul Hidayati (biasa disebut Ning widad) Founder @fiqihpernikahan, ia menggandeng beberapa kawan perempuan dalam komunitas literasi perempuan aktif menyajikan ilmu-ilmu yang perlu dipersiapkan menjelang atau bahkan setelah pernikahan.
Selain Ning Widad, kita acapkali mendengar nama Ning Khilma Anis, seorang penulis novel best seller berjudul Hati Suhita. Dalam sebuah acara yang disiarkan dalam kanal YouTube, beliau berkata bahwa “perempuan harus memiliki sikap seperti yang diutarakan oleh Mbah Sunan Kudus yaitu Gusjigang, Gus singkatan dari bagus, yang berarti baik, harus bermanfaat bagi sesama. Kemudian Ji singkatan dari ngaji, seorang perempuan harus belajar dan mendapatkan kesempatan untuk belajar, baik pendidikan formal maupun informal. Dan yang terakhir, Gang adalah singkatan dari dagang, seorang perempuan sebaiknya mandiri, berdiri di atas kaki sendiri, sehingga ia tidak bergantung kepada siapapun”. Berbagai tulisan yang beliau bagikan di media sosial maupun media cetak menjadi spirit bagi kita untuk tetap berjuang, melintasi berbagai tradisi.
Pada akhirnya, makna kemerdekaan bagi santri, seorang yang terkurung dalam penjara suci, khususnya perempuan adalah mendapat kesempatan dan wadah untuk berekspresi.Ia memperoleh ilmu dan ajaran yang ramah terhadap perempuan. Ia tidak lagi dididik hanya untuk urusan domestik, namun juga publik. Ia memiliki ruang yang aman untuk bertumbuh dan belajar.Dan yang paling penting ia memiliki hak untuk memilih, berjuang dan bertanggung jawab atas pilihannya serta terbebas dari segala ancaman di mana pun ia berada.
*Penulis: Fatimatun Nikmah
Anggota Puan Menulis, Santri dan Pengajar