leila Khaled

Titimangsa 29 Agustus 1969. Seorang perempuan muda berpakaian setelan warna putih dengan topi lebar duduk di bandara Roma, menanti keberangkatan penerbangan TWA 840. Dia tampak resah, meski kebanyakan calon penumpang pada saat itu juga demikian. Namun, perempuan bergaya Audrey Hepburn dengan pakaian musim panasnya itu telah menyeludupkan senapan dan granat, lolos dari petugas keamanan bandara, dan pura-pura tidak kenal dengan laki-laki yang duduk di seberangnya.

Lelaki itu adalah Salim Issawi, rekan kombatan dari Unit Komando Che Guevara, Front Rakyat untuk Pembebasan Palestina (al-Jabhah al-Sha’biyyah li Tahrir Filastin, atau Popular Front for the Liberation of Palestine). Perempuan itu adalah Leila Khaled. Dia menghindari orang-orang, tapi cukup ramah membalas sesama penumpang yang berusaha mengajaknya mengobrol.

Leila Khaled dan Salim Issawi memaksa pesawat mengalihkan rutenya dari yang semula menuju Athena agar terbang melintasi Haifa, kota kelahiran Leila yang tidak bisa lagi ia kunjungi dalam statusnya sebagai pengungsi Palestina. Berhasil membuat penumpang ketakutan tanpa melukai siapa pun, pesawat itu diperintahkan mendarat di Damaskus, untuk kemudian diledakkan moncongnya.

Pers penasaran oleh “si gadis pembajak,” tapi Leila menolak bicara pada kru televisi, yang membuatnya diomeli oleh pimpinan PFLP, George Habash, beberapa bulan pasca peristiwa pembajakan. Kala itu, perempuan yang lahir pada 9 April di kota pelabuhan Haifa ini memang tengah berserah pada pisau bedah dan menjalani enam sesi operasi plastik. Ia tahu banyak misi telah menantinya, dan untuk itu, dia tak ingin dikenali.

Tanggal 6 September 1970. Lagi-lagi pasangan muda-mudi–berpergian dengan paspor Honduras–terbang dengan El Al Boeing 707 dari Amsterdam. Si lelaki adalah Patrick Arguello, seorang Nikaragua-Amerika anggota Sandinista, sebuah gerakan revolusioner yang sembilan tahun sesudahnya akan membebaskan Nikaragua dari cengkeraman diktator Somoza. Si perempuan, sekali lagi, adalah Leila Khaled.

Pasangan itu duduk tertib di baris kedua bagian kelas turis dalam pesawat yang hendak menuju New York. Tepat saat melintasi Kanal Inggris, mereka berusaha memaksa masuk kokpit. Saat itu, di kawasan Eropa dan Timur Tengah, pesawat-pesawat lain juga sedang dibajak oleh tim dari PFLP, tetapi cuma di pesawat inilah situasinya menjadi halai-balai bagi para pembajak. Pilot pesawat bermanuver dengan menukik tajam agar para pembajak kehilangan keseimbangan.

Baca Juga  Mariyah al-Qibtiyah

Leila Khaled mendedahkan dalam buku autobiografinya, My People Shall Live: The Autobiography of a Revolutionary (Hodder and Stoughton, 1973), bahwa semula, dia dan Patrick bermaksud bergabung dengan kamerad-kamerad mereka di Dawson’s Field, sebuah pangkalan RAF Inggris di Yordania yang tidak lagi difungsikan, tempat semua pesawat hasil pembajakan akan diinapkan selama beberapa minggu ke depan. Insiden internasional ini nyaris menceburkan Yordania ke dalam perang saudara dan memperpanas ketegangan situasi di Timur Tengah nyaris ke titik didihnya. Namun yang ada, Leila malah menghabiskan sebulan berikutnya di kantor polisi Ealing, London.

Meskipun keterlibatannya dalam serangkaian pembajakan pesawat tak terbantahkan, pertukaran tahanan yang pada akhirnya dilakukan membuat Leila Khaled secara otomatis tidak pernah didakwa. Ia pun menjadi salah satu perempuan Palestina yang paling terkenal, tapi dikecam oleh sebagian feminis karena telah menggadaikan keselamatan perempuan sebangsanya demi posisi politik sayap kiri atau nasionalis.

Bagi sebagian lain, ia adalah ikon glamor dari para perempuan revolusioner. Sebagian lagi menganggapnya pahlawan pejuang kemerdekaan negerinya. Namun yang paling sering, ia lebih banyak dicap sebagai teroris. Di mata media, Leila adalah penjahat yang diasingkan dari negara-negara yang coba ia kunjungi. Saudara perempuannya sendiri, karena salah diduga dirinya, dibunuh. Namun, Leila tetap teguh memegang pendirian politiknya. Kehidupan Leila Khaled berjalan beriiringan dengan sejarah modern negara Isreal, dalam situasi yang saling membenci, dan telah dibentuk sedemikian rupa oleh tanah air, tempat ia diusir pada masa kecilnya.

Perempuan revolusioner kiri

Seperti dikisahkan dengan puitis oleh sarjana Sarah Irving dalam bukunya, Leila Khaled: Icon of Palestinian Liberation (Pluto Press, 2012), citra publik Leila Khaled nyaris seluruhnya dipatok oleh momen besarnya dalam sejarah, yakni dua pembajakan pesawat pada 1969 dan 1970. Padahal sejak itu, ia telah menjadi seorang istri dan ibu, guru dan juru kampanye, anggota Dewan Nasional Palestina, dan pemimpin di Serikat Umum Perempuan Palestina.

Seperti banyak militan lain yang kerap dicap “teroris”–mulai dari Irlandia Utara hingga Nikaragua–Leila beralih dari perjuangan bersenjata ke arena politik, meski tetap bersikeras bahwa ia rela mati demi tanah airnya. Status ikonik yang disandangnya telah mengantarnya ke banyak gerbang dan membuat orang-orang bersedia mendengarnya. Namun status itu pula yang menutup sebagian pintu: dari negara-negara yang menolak kehadirannya dan orang-orang yang menganggapnya tak lebih dari teroris.

Baca Juga  Hijrah dari Jerat Ekstremisme ala Baihajar Tualeka Sang Perakit Bom

Tatkala Leila Khaled pertama kali membajak pesawat, PFLP merupakan organisasi kiri dengan jejaring internasional yang bertujuan merebut hak bangsa Palestina untuk kembali ke tanah air yang telah dua puluh tahun mereka tinggalkan. Inilah era Che Guevara, yang terbunuh di Bolivia dua tahun sebelumnya, serta perjuangan-perjuangan pembebasan di Asia Tenggara.

Hak kaum tertindas untuk melawan penjajahnya dengan mengangkat senjata sedang menjadi topik hangat di seluruh jagat, dan gambar para pahlawan gerakan ini menghiasi kamar-kamar mahasiswa dan rumah kaum kiri. Feminisme gelombang kedua juga sedang pasang, menambah aspek lain pada atmosfer penerimaan berita tentang perempuan muda pembajak pesawat ini.

Di Timur Tengah saat itu, Israel baru saja mengalahkan tentara gabungan dari Mesir, Yordania, dan Suriah dalam Perang Enam Hari. Dunia Arab dipermalukan secara militer, dan Israel pun merebut sisa wilayah Palestina di sebelah barat Sungai Yordan dan sebelah utara Gunung Sinai. Rakyat Palestina di Tepi Barat dan Gaza, termasuk ribuan pengungsi sejak awal didirikannya negara Isreal pada 1948, selama ini hidup di bawah pemerintahan Yordania dan Mesir, tetapi kini hidup di bawah pendudukan militer Israel.

Dalam situasi macam itu, perhatian dunia pada nasib orang Palestina sedikit sekali. Di mata Barat, mereka hanyalah sekumpulan kecil pengungsi yang terjebak di antara permusuhan Arab dan Yahudi Timur Tengah, dan tidak punya makna penting selain sebagai dalih bagi para penguasa Arab untuk melancarkan agresi.

Sementara itu, ketidakpuasan merebak di kalangan pengungsi Palestina dalam kamp-kamp di daerah Yordania, Suriah, dan Lebanon. Gerakan perlawanan yang telah berkembang sejak pertengahan 1960an semakin populer dan radikal semenjak Perang Enam Hari, apalagi orang Palestina semakin curiga terhadap dukungan hampa yang disuarakan oleh rezim-rezim penguasa Arab.

Jika pembajakan pesawat circa 1969 membuat Leila Khaled tersohor selama beberapa minggu, maka cakupan dan kenekatan aksinya tahun 1970 melambungkan namanya ke taraf baru. Peledakan terencana empat pesawat hasil bajakan yang telah sampai di Dawson’s Field, Yordania, konfrontasi antara gerakan perlawanan Palestina dan tentara Yordania, yang nyaris menjerumuskan negara itu ke dalam perang saudara, juga keterlibatan Suriah, Israel, Uni Soviet, dan Amerika Serikat membawa ketegangan dunia sampai ke taraf ekstrem.

Baca Juga  Feminisme dalam Islam

Untuk orang Palestina, kejadian tersebut membuat Yordania melakukan represi yang semakin keras. Para militan diusir ke Lebanon, dan setelah konflik merebak lebih jauh di sana, mereka diusir ke Tunisia, dan diaspora Palestina pun menyebar makin luas.

Bagi Leila, peristiwa tahun 1970 membuat potret dirinya terpajang mendampingi Che Guevara di ribuan dinding rumah-rumah orang kiri, dan bagi banyak orang, ia pun menjadi arketipe perempuan revolusioner dan perlambang utama perempuan Palestina. Popularitas ini berdampak besar baginya dan bagaimana kelak cita-cita perjuangan yang ia emban dipandang. Aksi Leila masih terus dikenang karena luar biasa. Namun juga justru karena memukau kenangan dan imajinasi itulah, aksi-aksi itu jadi seperti merepresentasikan unsur-unsur dari jati diri bangsa Palestina dan kaum kiri jauh melampaui diri mereka sendiri.

Aksi Leila telah berdampak pada cara dunia memandang Palestina sebagai sebuah bangsa selama tiga dekade terakhir ini, dan mengekalkan bayangnya dalam setiap diskusi perihal perempuan, Timur Tengah, dan taktik perjuangan pembebasan.

Arkian, Profesor Eileen Kuttab dari Universitas Birzeit di Tepi Barat melukiskan telatah Leila Khaled telah mengawinkan perjuangan kemerdekaan negerinya dengan perjuangan mereka untuk pembebasan sosial. Dengan itu, posisi bagi kaum perempuan telah direbut sehingga pada Intifada Pertama –pemberontakan rakyat Palestina melawan pendudukan Israel dari wilayah Palestina, yang berlangsung dari Desember 1987 hingga 1993–perempuan dianggap rekan setara dalam perjuangan pembebasan Palestina.

 

Muhammad Iqbal

Sejarawan IAIN Palangka Raya. Menulis tiga buku: Tahun-Tahun yang Menentukan Wajah Timur (Yogyakarta: EA Books, 2019), Menyulut Api di Padang Ilalang: Pidato Politik Sukarno di Amuntai 27 Januari 1953 (Yogyakarta: Tanda Baca, 2021), dan Bermula dari Cerita Abah: Pemikiran Islam, Politik Islam, dan Islam Tradisi (Yogyakarta: Tanda Baca, Mei 2022).

Sumber: https://arina.id/human/ar-wEVPY/leila-khaled–rekan-setara-pejuang-kemerdekaan-palestina

By Redaksi Jalan Hijrah

Jalanhijrah.com adalah platform media edukasi dan informasi keislaman dan keindonesiaan yang berasaskan pada nilai-nilai moderasi dan kontranarasi.