Jalanhijrah.com- Kita masih ingat video para santri penghafal Al-Qur’an pada saat antri vaksinasi yang menutup telinga ketika mendengar musik. Ramai kemudian peringatan keras dari berbagai kelompok. Cap radikal juga tidak lupa disematkan oleh banyak pihak ketika merujuk pada aksi yang dilakukan santri tersebut. sejumlah tokoh turut komentar atas kejadian tersebut.
Yenny Wahid misalnya. Namanya yang belakangan ini sempat menjadi perbincangan lantaran menerima penghargaan dari Jepang lantaran kesuksesan atas iniasiasi gerakan akar rumput untuk promosi perdamaian menyampaikan agar tidak mudah memberikan cap radikal terhadap orang lain. Apalagi ketika rujukannya kepada para santri penghafal Al-Qur’an yang senantiasa menjaga hafalan Al-Qur’annya supaya tidak mudah hilang.
Beberapa tokoh lain juga turut berkomentar secara tegas atas fenomena ini. Wakil Sekjen Majelis Ulama Indonesia (MUI), M. Ziyad berkomentar yang sama dan secara tegas menyampaikan untuk tidak memberikan label radikal kepada para santri yang berusaha menjaga hafalannya. Perilaku menjaga hafalan tersebut tentu sangat berat dan usaha yang begitu besar, agar tidak terdistrak dengan apapun yang menciderai hafalannya, termasuk musik.
Kenapa masyarakat kita begitu mudah memberikan label yang sensitive kepada sesamanya?
Simbol Radikal menjadi boomerang
Radikalisme yang selama ini diperangi oleh kelompok-kelompok moderat yang menjunjung tinggi nasionalisme, Islam dan kebangsaan terkadang disalahpahami oleh masyarakat kita. Buktinya, fenomena video santri tersebut bisa menjadi salah satu contoh yang sangat nyata bahwa relasi sosial keberagamaan masyarakat kita masih kecil.
Cap radikal seharusnya tidak langsung bisa disematkan dengan melihat hanya 1 fenomena saja adalah bukti bahwa masyarakat kita masih suka kaget melihat fenomena yang baru. Masyarakat kita masih kaget dengan sesuatu yang berbeda, dan terlalu terburu-buru memberikan label terhadap sesuatu.
Ibarat anak kecil, fenomena ini menjadi jawaban bahwa masyarakat kita belum dewasa melihat fenomena yang terjadi. Kesimpulan prematur dalam menanggapi sikap para santri tidak hanya menjadi bukti ketidakdewasaan masyarakat kita dalam memahami memberikan sikap relasi sosial keberagamaan kita hari ini.
Lebih dari itu, pemahaman tentang radikal, ternyata selama ini yang didengungkan, dinarasikan belum dipahami secara utuh, sehingga menyebabkan miskonsepsi yang sangat fatal dan menimbulkan berbagai pengertian baru dan pemahaman beragam tentang sikap radikal yang direpresentasikan oleh masing-masing orang.
Kenyataan ini memberikan jawaban bahwa edukasi dan gerakan untuk memberikan pemahaman tentang radikalisme masih menjadi PR yang sangat panjang dan berkelanjutan untuk diberikan kepada masyarakat. Lebih dari itu, tantangan lainnya adalah kelompok radikal itu sendiri yang dimungkinkan melemparkan cap radikal pada perbedaan pilihan ekspresi keberagmaan seseorang. Alih-alih harusnya mereka yang radikal, justru bersembunyi dengan label yang diciptakan kepada orang lain.
Menghargai perbedaan, junjung tinggi persaudaraan
Pilihan para santri untuk menutup telinga ketika mendengar musik dengan alasan untuk menjaga hafalan Al-Qur’an yang dimilikinya adalah pilihan yang harus kita hargai. Menjadi mereka tidak mudah, berikhtiar untuk menjaga hafalan adalah tujuan utama yang harus ditempuh. Menghargai perbedaan pilihan sikap dari para santri tersebut adalah kewajiban yang harus dijunjung tinggi, lebih jauh aksi yang mereka lakukan tidak mengganggu ketenangan, kedamaian, dan hak hidup orang lain.
Justru sebaliknya, jika ada kelompok yang memberikan label radikal kepada para santri ini menjadi provokator, memberikan komentar negatif, serta membawa pada hal-hal tidak baik,perlu kita hempaskan.
Perwujudan dari relasi sosial keberagamaan yang perlu kita jalankan adalah sikap menghargai perbedaan dan menjungjung persaudaraan pada setiap manusia baik seiman ataupun tidak. Sosok Gusdur kiranya terus menjadi panutan dalam setiap cerminan relasi sosial keberagamaan yang begitu ciamik, menghadapi bangsa yang super majemuk ini dan konflik yang begitu blunder.
Menghargai perbedaan tidak kemudian memberi ampun pada kelompok-kelompok radikal yang masih familiar dengan sikap mengkafirkan, alergi pada negara Indonesia, fobia terhadap keindonesiaan dan keukeuh dengan perwujudan Islam yang harus diterapkan di indonesia dalam bentuk khilafah.
Kelompok ini yang harus kita hempaskan tanpa ampun dengan cara-cara elegan, tanpa menciderai nilai-nilai Keislaman yang sering dipakai sebagai senjata menghalalkan misinya dalam setiap pergerakan yang dilakukan. Wallahu a’lam