Jalanhijrah.com-Asef Bayat, seorang ilmuwan sosial yang menekuni isu Islam Politik memiliki tesis bahwa gerakan dan narasi Islamisme yang sebelumnya berorientasi kepada pendirian negara Islam, saat ini telah bertransformasi dan melunakkan gerakannya hingga mau untuk bernegosiasi dengan isu demokrasi, kebangsaan dan hak asasi manusia.
Namun, tesis tentang melunaknya kaum Islamis itu agaknya kurang begitu terbukti ketika melihat perkembangan gerakan Islamisme para generasi muda muslim kita saat ini. Banyak kaum muda muslim kita saat ini memang tidak berpartai politik untuk menyuarakan aspirasinya. Namun, ketika ada isu politik nasional dan internasional, wacana Islamisme bukannya semakin kecil suaranya, namun malah semakin kencang gemanya di ruang-ruang publik kita.
Mulai dari isu penistaan agama pada tahun 2016 hingga isu haji beberapa waktu yang lalu, ruang publik maya maupun nyata kita dipenuhi oleh aspirasi Islamisme yang amatlah kencang. Dari sini tak ada tanda-tandanya untuk bernegosiasi dengan agenda demokratisasi, hak asasi manusia dan kebangsaan seperti yang ditesiskan oleh Asef Bayat.
Islamisme “Halus” Kaum Muda Hijrah
Para demonstran muda yang bersorban dengan membawa atribut Islamisme di Monas pada Aksi Bela Islam 212, 414 dan seterusnya, hingga pembelaan terhadap Palestina beberapa waktu yang lalu tidaklah dihiasi oleh kader muda partai Islamis yang militan. Para demostran muda tersebut adalah anak-anak muda muslim yang setiap akhir pekan mengikuti kajian hijrah di masjid dan pendengar ceramah di Youtube.
Para anak muda yang masih hdiup dengan penuh pertanyaan jati diri, kehawatiran, dan kegelisahan moral ini tidak pernah dididik secara politik melalui pembinaan kader partai Islam yang keras dan gigih. Mereka kebanyakan hanyalah anak-anak muda yang punya akses untuk sekolah hingga perguruan tinggi namun cemas karena merasa tidak memiliki pegangan agama yang kuat.
Kemudian, kegelisahan jati diri dan besarnya rasa krisis pemaknaan hidup ini memantik mereka untuk mencari jawaban atas kegelisahan relijiusnya melalui ceramah-ceramah ustadz yang populer di Youtube. Sampai akhirnya secara berangsur-angsur mereka mengikuti berbagai kajian keislaman di masjid untuk mulai belajar pengetahuan keislaman yang sangat dasar seperti tahsin al-Qur’an hingga kursus fikih untuk pemula.
Islamisme sepertinya bukan semakin melunak, namun ia malah semakin meluas tidak hanya di ruang-ruang politik kepartaian semata. Namun, islamisme telah berkemabang kedalam budaya populer di masyarakat. Saat ini, anak muda memiliki kesadaran aspirasi Islam politiknya melalui aktivitas populer seperti dari media sosial maupun ceramah-ceramah keislaman dengan tema-tema yang masihlah amat dasar.
Situasi ini memang tidak hadir begitu saja dengan penuh tiba-tiba. Benih-benihnya berasal dari ekspansi gerakan Wahabisme dan tarbiyah melalui lembaga dakwah di kampus yang dimulai pada tahun 1980-an. Pada masa itu, Pemerintah Orde Baru melarang aktivitas politik kaum muda, namun kecolongan dengan aktivitas dakwah yang lebih halus.
Proses-proses halus tersebut semakin berkembang dengan dipermudah dengan adanya berbagai media sosial. Para penceramah yang memiliki kemampuan public speaking yang berkharisma dan menarik menjadi aktor yang semakin memperluas proses perkembangan islamisme yang lebih halus ini. Gerakan halus islamisme ini sudah masuk di media sosial, film, novel hingga website. Islamisme halus sudah masuk di berbagai wahana sosial kita.
Kontra Narasi Islamisme Melalui Budaya Populer
Melihat situasi perkembangan gerakan Islamisme yang sudah masuk kedalam aspek non politik seperti budaya populer, maka arena kontra narasi saat ini juga harus melebar tidak hanya di level politik “hard-core” seperti dalam Pemilihan Umum (Pemilu). Saat ini, wahana kontra narasi terhadap kaum Islamis berada di arena budaya populer.
Adapun strategi kontra narasi dengan kaum muda dengan spirit Islamisme harus berbeda dengan cara-cara sebelumnya yang hanya berorientasi kepada negara. Saat ini kontra narasi harus melalui pertarungan wacana di ruang budaya populer seperti media sosial, film, novel, hingga website keislaman.
Strategi kontra narasi melalui budaya populer tidak bisa dilakukan dengan cara pembatasan dan otoritarianisme seperti dalam arena politik. Dalam arena budaya populer, strateginya adalah dengan cara saling bersaing dalam memperebutkan narasi keislaman hingga dapat mendominasi wacana kaum Islamis. Strategi seperti ini juga harus melalui cara-cara yang halus, namun memiliki esensi yang mengarah kepada wacana keislaman yang inklusif dan toleran.
Perkembangan dan situasi keislaman yang seperti demikian ini menjadi tantangan kita yang memiliki aspirasi keislaman yang lebih inklusif. Kita harus bersiap diri dan berkolaborasi untuk mengembangkan strategi kontra narasi yang menarik di panggung budaya populer kita. Hal ini sangat mendesak kita lakukan, agar wacana keislaman yang eksklusif dan penuh kebencian tidak menjangkiti generasi muslim kita kedepannya.