Jalanhijrah.com – Violence and war lead only to death. Kalimat itu diucapkan oleh Paus Fransiskus pada momen Vigil of Prayer for Peace pada tahun 2013 lalu. Ujaran Paus itu tentu benar adanya. Yaitu bahwa kekerasan dan perang hanya akan menuntun umat manusia pada kematian. Tidak hanya kematan fisik, namun kematian pikiran dan nurani.
Dalam ungkapan yang lain, pemikir Islam Hassan Hanafi mengatakan bahwa perang dan kekerasan ialah manifestasi dari sikap putus asa manusia dalam menyelesaikan problem atau konflik. Manusia yang frustasi dalam mencari solusi atas konflik atau persoalan cenderung akan memakai cara kekerasan dan perang sebagai jalan pintas.
Maka, jika ditilik ke belakang, usia kekerasan itu sama tuanya dengan sejarah peradaban manusia. Dalam perkembangannya, faktor kekerasan dan perang pun beragam dan dinamis. Di era sekarang, kekerasan dan perang banyak dilatari oleh faktor ekonomi, politik, ideologi, hingga agama. Akumulasi dari bermacam faktor itu lantas membuat kekerasan dan peperangan dianggap wajar alias normal.
Normalisasi kekerasan pada akhirnya melahirkan apa yang disebut oleh Hannah Arendt sebagai banalitas kekerasan. Yakni sebuah kondisi ketika tindakan kekerasan dianggap wajar, normal, dan disikapi permisif. Lebih lanjut Arendt menyatakan bahwa banalitas kekerasan itu terjadi karena tergerusnya nalar kritis, tumpulnya nurani, kedangkalan rasio manusia dalam berpikir dan memutuskan sesuatu, serta kegagalan manusia berdialog dengan dirinya sendiri.
Ironisnya, fenomena banalitas kekerasan juga mengemuka dalam konteks kehidupan masyarakat modern yang selalu mengklaim lebih beradab. Seperti kita lihat dalam beberapa hari terakhir ini manakala terjadi eskalasi kekerasan dan peperangan antara Rusia dan Ukraina. Apa yang terjadi antara Rusia dan Ukraina merupakan akibat dari matinya imajinasi dalam menyelesaikan persoalan. Seolah-olah, perang ialah satu-satunya jalan menyelesaikan persoalan.
Di tengah situasi ketika perang dan kekerasan dianggap normalitas itulah, kita membutuhkan strategi resolusi konflik. Menurut Christoper E. Miller dalam bukunya A Glossary of Terms and Concepts in Peace and Conflict Studies(2005), resolusi konflik ialah strategi mengakhiri konflik melalui pemecahan masalah secara konstruktif. Tujuan utama resolusi konflik tentunya ialah menciptakan perdamaian.
Lebih lanjut menurut Miller, resolusi konflik dapat dilakukan ke dalam sejumlah metode. Antara lain; pertama, pengaturan sendiri oleh pihak-pihak yang terlibat. Ini artinya, pihak yang bertikai menyusun sendiri strategi menciptakan perdamaian. Kedua, resolusi konflik dengan melibatkan pihak ketiga. Cara ini dapat dilakukan ke dalam tiga cara, yaitu melalui proses pengadilan, melalui proses administrasi, dan metode alternatif yakni mediasi dan arbitrase.
Keberhasilan resolusi konflik dalam mengakhiri pertikaian dan menciptakan perdamaian sangat bergantung pada peran aktif setiap elemen. Salah satu yang berperan sangat penting dalam upaya resolusi konflik itu ialah agama. Agama dapat menyumbang andil pada keberhasilan resolusi konflik lantaran setidaknya tiga alasan.
Pertama, secara teologis agama mengandung ajaran tentang cinta kasih, perdamaian, dan kesatuan umat manusia. Agama sejak dulu kala telah menyediakan sumber moral sosial dan etika kemanusiaan yang menjadi rujukan manusia dari generasi ke generasi. Agama tidak diragukan telah menjadi salah satu sumber ajaran perdamaian di muka bumi.
Kedua, secara sosiologis agama mendorong munculnya perasaaan dan komitmen solidaritas antar-manusia. Umat beragama umumnya memiliki rasa saling memiliki dan relasi persaudaraan yang kuat. Kesamaan identitas agama mampu melahirkan semacam solidaritas organik yang kuat dan egaliter.
Ketiga, secara institusional agama mampu menjadi semacam jembatan antar-kelompok untuk saling berkomunikasi dan menyelesaikan masalah dengan jalan non-kekerasan. Lembaga-lembaga agama berikut para pemimpinnya ialah elemen penting dalam mewujudkan resolusi konflik. Sejarah mencatat, banyak konflik atau peperangan berakhir karena intervensi lembaga dan tokoh agama.
Peran agama dalam resolusi konflik inilah yang harus kita dorong bersama. Di era penuh kecamuk konflik dan peran ini, agama harus tampil sebagai kekuatan pemersatu. Agama harus menampilkan peran asalnya sebagai penyebar perdamaian. Bagaimana dengan perang Rusia-Ukraina? Jangan terprovokasi oleh para aktor banalitas kekerasan.
Penulis: Nurrochman