Jalanhijrah.com – Jujur saja saya heran, mengapa para penceramah yang provokatif masih banyak digandrungi masyarakat, bahkan ketenarannya cenderung meningkat. Mereka seolah sudah mendapat panggung mewah di hati masyarakat, mulai dari perkotaan hingga pedesaan, pegawai kantoran hingga petani dan kuli bangunan. Hal ini tentu menjadi problematika bagi siapa saja yang menghendaki keamanan dan kenyamanan dalam beragama dan bernegara. Sebab, dakwah mereka masuk pada radikalisme.
Jika dilihat dari isi ceramahnya, narasi-narasi kaum radikalis dan ekstremis sebenarnya cenderung dangkal dan mudah ditebak. Obrolan mereka dalam seminar, mimbar dakwah, hingga media sosial tak pernah jauh dari narasi bahwa Islam “sedang” diserang, dimonopoli, dihinakan, dan sejenisnya.
Pada akhirnya mereka bermuara pada ultimatum bahwa umat Islam wajib menghabisi musuh-musuh Allah di muka bumi, pemerintah yang berdaulat adalah musuh, dan “khilafah” adalah solusi.
Boro-boro membahas mengenai isu lingkungan dan teknologi, mereka cenderung hanya sibuk mengurusi narasi Islam dan ulama yang dikriminalisasi, juga isu kebangkitan PKI. Tidak perlu sebut siapa nama mereka di sini, karena konsep dan gaya semuanya sama, begitu-begitu saja. Alih-alih lebih fokus mengedukasi, mereka malah tetap “keukeuh” menghujani bumi dengan provokasi.
Pintu Masuk Narasi
Barangkali ungkapan Hitler memang demikian adanya, kebohongan yang diulang-ulang akan menjadi kebenaran. Begitulah sepertinya yang dialami masyarakat simpatisan penceramah provokatif, keseharian mereka dihujani kajian para radikalis. Khususnya di media sosial, dai radikalis hadir dan selalu siap sedia. Ibarat kios Ind*mar*t, mereka ada di mana saja.
Semangat mereka ini saya duga merupakan ejawantah dari kalimat Ibnu Rusyd yang mengatakan bahwa, “jika kau ingin menguasai orang bodoh, maka bungkuslah kebatilan dengan kemasan agama”. Begitulah kiranya, fatalisme beragama hasil pola pikir eksklusif yang disandang mereka membuat segala hal menjadi halal, termasuk jual beli agama demi kepentingan primordial yang sesat.
Dewasa ini, pintu masuk narasi radikalis lebih banyak dimulai dari konten media sosial. Mereka gencar mencari ruang-ruang yang kosong, mengisi kelengahan dari para “counter”-nya. Sudah bukan hanya di kota-kota dan sehampar artis ibu kota, sasaran mereka sudah mulai masuk ke jantung pertahanan di desa-desa.
Saya sering menyaksikan, bagaimana para orang tua dan kaula muda menonton dan mendengarkan ceramah mereka dengan seksama. Kontennya masuk dan mulai merasuki pikiran dan jiwa orang-orang desa.
Tentu saja fakta ini merupakan masalah yang harus diselesaikan oleh kita—anggap saja kita adalah counter mereka, yakni dengan kontranarasi dan edukasi yang masif sehingga menutup celah-celah kosong tersebut. Patut kita sadari bersama, bahwa ruang kosong tersebut masih banyak dan terbuka akibat kelengahan dan kelalaian kita.
Menutup Pintu Narasi
Mari kita sama-sama memberi penghormatan dan mengangkat topi untuk mereka. Tentunya bukan karena isi ceramah provokasi mereka, namun terhadap semangat juang, loyalitas, dan totalitasnya. Perlu diakui bahwa loyalitas mereka terhadap narasinya jauh lebih kuat dibanding kita, semangat mereka lebih membara dan total daripada kita. Mereka tetap berusaha bangun meski berulang kali coba dijatuhkan, mereka selalu berusaha bangkit lagi meski sudah dibekukan.
Semangat juang inilah yang harus kita adopsi dari mereka. Para radikalis selalu optimis bahwa narasinya akan menggema di jantung dan hati umat, sementara para “counter”-nya cenderung menganggap remeh hingga lengah dan tak peduli. Kita sama-sama menyaksikan bagaiman loyalitas mereka dalam budaya “share” konten-konten provokasi, mulai dari grup kajian agama hingga grup keluarga konten mereka selalu ada.
Mereka selalu yakin bahwa berjuang adalah sesuai kapasitasnya, maka para simpatisan yang tak tahu apa-apa akan dengan senang hati dan semangat menggelora menyebarkan konten-konten provokasi tersebut hingga sampailah pada masyarakat luas. Namun kemana para counter-nya, semangatnya melemah dan selalu menganggap ini akan baik-baik saja.
Kita, termasuk saya—sering lupa dan cenderung malas membagikan konten-konten kontranarasi radikalisme, beda dengan mereka yang senang sekali comot dan share meski tak pernah dibaca dan ditonton dahulu selama konten tersebut berasal dari dai yang mereka cinta.
Di sini lah pentingnya guyub dan kerja sama. Para pejuang kontranarasi radikalisme setidaknya harus memiliki daya juang sama dengan para radikalis, membendung mereka dari setiap sisi dan penjuru sehingga tak ada celah sebagai pintu masuk narasi yang mereka bangun. Semoga bangsa ini bangun dan semakin sadar bahwa ancaman radikalisme itu semakin nyata. Provokasi harus dimusnahkan dari bumi Nusantara. Wallahu a’lam.