Jalanhijrah.com-Dunia pendidikan tidak hanya diperuntukkan oleh laki-laki. Perempuan dengan segala hak belajar, kecakapan dan kemampuan yang dimilikinya juga mampu membawa perubahan bagi dunia. Perempuan yang berpendidikan dan berpengetahuan luas merupakan bekal yang sangat berharga yang akan disalurkan kepada generasi-generasi manusia berikutnya.
Peranannya yang kemudian harinya menjadi seorang ibu, untuk mendidik anak-anaknya dari berbagai hal sejak masih dalam kandungan sampai menjadi manusia yang dewasa. Semua tidak lepas dari peran seorang perempuan yang cerdas. Bukan hanya itu, perempuan cerdas yang mempunyai banyak pengalaman adalah perempuan yang pastinya sadar tentang hak-haknya serta mampu dan berani tampil mendeklarasikan hak-haknya didepan publik.
Salah satu bentuk ketidakadilan pada kaum perempuan adalah anggapan bahwa perempuan itu tidak penting, perempuan sekadar pelengkap dari kepentingan laki-laki, yang dikenal dengan istilah subordinat. Dari pemahaman tersebut akhirnya perempuan dikonstruksikan agar tidak perlu memperoleh sekolah tinggi karena pada akhirnya juga akan kembali ke dapur.
Anggapan seperti ini yang menghegemoni setiap orang utamanya didalam masyarakat tradisional bahwa perempuan memang tidak begitu penting untuk mendapatkan pendidikan dan kalaupun tetap memperoleh pendidikan maka pendidikan itu hanya secukupnya saja.
Berbeda dengan anak laki-laki, mereka lebih bersemangat menyekolahkan anak laki-laki dengan harapan bahwa laki-laki nantinya yang akan menjadi seorang pemimpin dan membantu perekonomian keluarga. Alasan ini sepenuhya bukanlah sesuatu yang salah, tetapi terdapat paradigma yang keliru apabila anak perempuan disudutkan dalam hal ini yang tidak begitu penting medapatkan pendidikan.
Pendidikan yang dimakud disini bukanlah semata-mata tertuju pada ranah formal, ruang kelas, kurikulum, guru, dan murid. Peran pendidikan dalam konteks keluarga sangat penting pada peneletian ini, dalam membangun sebuah keluarga yang setara apalagi berkaitan dengan pendidikan perempuan.
Perempuan mempunyai hak dan suatu keharusan untuk mendapatkan pendidikan agama, seks sains, kesenian, akhlak, jasmani dan segala bentuk pendidikan lainnya yang akan mengembangkan minat, potensi dan bakat kaum perempuan.
Pendidikan memang seharusnya berbasis gender, dalam artian berkeadilan dan bersifat setara. Gender sendiri dalam women’s studies encyclopedia dijelaskan bahwa jender adalah suatu konsep kultural yang berupaya membuat pembedaan dalam hal peran, perilaku, mentalitas dan karakteristik emosional antara laki-laki dan perempuan yang berkembang dalam masyarakat.
Sejatinya pendidikan tidak boleh ada keberpihakan di dalamnya. Yaitu laki-laki lebih diutamakan dibanding dengan perempuan, laki-laki dibebaskan memilih jurusan sesuai dengan apa yang diminatinya sedangkan perempuan hanya boleh mengikuti berdasarkan hasil pilihan orangtua sekalipun itu tidak disukainya.
Jika hal ini terjadi maka tidak bergunalah kata “mencerdaskan kehidupan bangsa” yang dimana kata cerdas sendiri tidak diklaim oleh satu jenis individu saja dan bangsa Indonesia tidak dihuni oleh satu jenis kelamin saja, melainkan terdapat manusia dengan dua jenis kelamin yang sama-sama mempunyai tujuan, cita-cita dan harapan masing-masing.
Di sinilah peran dan fungsi keluarga, karena terkadang justru berawal dari keluargalah bentuk diskriminasi itu sering terjadi. Sehingga diperlukan pemahaman yang cukup baik itu untuk laki-laki maupun perempuan mengenai masalah gender.
Istilah gender sudah lazim digunakan khusunya di Kantor Menteri Negara Urusan Peranan Wanita dengan ejaan “gender”. Gender diartikan sebagai interpretasi mental dan kultural terhadap perbedaan kelamin yakni laki-laki dan perempuan. gender biasanya dipergunakan untuk menunjukkan pembagian kerja yang dianggap tepat bagi laki-laki dan perempuan.
Dari beberapa definisi diatas, dapat disimpulkan bahwa gender adalah suatu konsep yang diletakkan untuk mengidentifikasi perbedaan antara perempuan dan laki-laki baik itu dari segi perilaku, peran maupun tugasnya. Namun karena berdasarkan beberapa kepentingan dan perjalanan sejarah maka gender sendiri telah bergeser pengertiannya ke arah yang mendiskriminasi. Ia dikonstruksi oleh sosial budaya dikalangan masyarakat dan terus melekat bahkan sampai menjadi suatu yang kodrati yang harus diikuti oleh setiap orang.
Kata kesetaraan gender sendiri lahir sebagai akibat karena adanya diskriminasi berupa ketidakadilan dan ketidaksetaraan yang dirasakan oleh kaum perempuan pada saat itu. Seperti pada abad ke-19 di Eropa dimana kaum buruh merasa tidak adil ketika bekerja seharian full tapi tidak mendapatkan upah yang sesuai bahkan tidak berhak mendapatkan cuti haid, melahirkan dan lain-lain.
Sehingga hal ini menyebabkan lahirnya kelompok feminis yang bertujuan untuk menyuarakan emansipasi, keadilan dan hak-hak mereka sebagai perempuan. Feminisme sendiri terdiri dari beberapa kelompok di antaranya feminisme liberal, marxis, ecofeminisme, feminisme tough, feminisme Islam dan masih ada lagi beberapa kelompok feminis lainnya. Namun, tetap saja sebab utama lahirnya gerakan feminisme adalah adanya bentuk ketimpangan dan ketidakadilan yang dialami oleh kaum perempuan.
Muncul sejumlah konvensi mengenai penghapusan diskriminasi terhadap perempuan. Diantaranya, pengupahan yang sama bagi perempuan dan laki-laki, tentang hak politik perempuan, tentang kewarganegaraan bagi perempuan yang menikah, dan penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan.
Perempuan dalam hal ini tentunya mempunyai hak yang sama atas laki-laki. Sebagai manusia, perempuan tentu saja mendambakan perlakuan yang adil dari sesamanya serta terbebaskan dari perlakuan diskriminasi dan kekerasan oleh siapapun, di manapun, dan dalam kondisis apapun. Kelompok pembela perempuan menyerukan dalam berbagai pertemuan internasional untuk segera mengambil langkah-langkah pencegahan.
Referensi
Musdah Mulia, Muslimah sejati Menempuh Jalan Islam Meraih Ridha Ilahi (Bandung: Marja, 2011).
Siti Musdah Mulia, Islam dan Inspirasi Kesetaraan Gender (Yogyakarta: Kibar Press, 2007).
Nasaruddin Umar, Argumen Kesetaraan Gender (Jakarta: Dian Rakyat, 2010).
Musdah Mulia, Muslimah Reformis (Bandung: Mizan, 2005).