Jalanhijrah.com – Sebagai pelaku kontra-narasi, saya sering berkunjung ke situs-situs web sebelah yang anti-NKRI. Tujuannya jelas, untuk mengamati narasi apa yang tengah beredar, lalu kemudian memberikan argumentasi mengonternya. Tetapi, kerap kali, apa yang saya jumpai benar-benar di luar ekspektasi. Narasi yang saya temui banyak dan tulisannya bagus-bagus. Saya lalu berpikir, kalau sebegitu hebat pihak anti-NKRI dan Pancasila membuat narasi, bagaimana cara menang untuk mengonternya?
Tidak hanya mumpuni dari segi konten, kaum sebelah juga militan dan melakukan segalanya—harus diakui—dengan ikhlas atas Islam. Tidak peduli bahwa yang mereka sebarkan mengandung doktrin ideologi tertentu, yakni ideologi transnasionalisme. Bagi mereka, semangat berjuang harus selalu digelorakan—tidakboleh surut karena hal apa pun. Sedikit demi sedikit tapi pasti, mereka mengekspansi berbagai kalangan. Kalangan milenial bahkan mereka kasih panggungnya sendiri.
Sebagai contoh, situs web muslimahnews.net milik pemuda/i HTI. Sebelumnya, web tersebut bernama muslimahnews.com, tetapi sekarang tidak bisa diakses karena diblokir pemerintah. Tetapi meskipun muslimahnews.netbaru dibuat, narasinya sangat masif. Di antara narasi yang sering mereka gembar-gemborkan ialah kegagalan sistem demokrasi dan maraknya sekularisme dan kapitalisme. NKRI menurut mereka terjebak di situ, dan mereka menawarkan solusi satu-satunya ialah “khilafah”.
Sementara itu, bagaimana dengan literasi moderat dan kontra-narasi? Stagnan. Tidak hanya itu, pelakunya juga sudah tua-tua dari ormas tertentu. Bahkan, yang paling parah, tidak jarang orang yang konsen di dalam literasi moderat mengkritik pelaku kontra-narasi: dianggap konservatif dan tidak akan berhasil. Jadi ada ketidakkompakan di antara orang-orang yang bercita selamatkan NKRI dari khilafahisasi. Alih-alih punya militansi, justru mereka sangat pragmatis.
Pragmatisme Kaum Moderat
Khilafahisasi NKRI, seperti diketahui bersama, dilakukan oleh berbagai pihak. Artinya, serangan untuk NKRI tidak hanya datang dari satu kelompok, HTI misalnya, tetapi juga oleh kelompok lain yang punya doktrin dan kepentingan yang sama. Sekilas, itu sama dengan strategi BNPT dalam kontra-khilafahisasi dan menanggulangi terorisme melalui program Pentahelix—melibatkan multipihak. Ternyata khilafahisasi oleh multipihak sudah terjadi lebih dulu.
Para aktivis khilafah, terlepas dari apa pun nama kelompoknya, selalui selangkah lebih maju. Pada saat yang sama harus diakui, kaum moderat kebanyakan pragmatis. Dampak dari pragmatisme tersebut ialah lahirnya program-program yang super birokratis tetapi tidak efektif. Misalnya, sebuah situs web yang konon dibuat untuk menyuguhkan ajaran Islam moderat untuk masyarakat urban sering membuat seminar kontra-narasi tapi ujung-ujungnya hanyalah soal minta anggaran.
Ada juga, seorang pengelola situs web keislaman moderat dengan sesumbar mengatakan bahwa kontra-radikalisme dan kontra-terorisme secara vis-à-vis, artinya menyerang langsung, itu tidak efektif. Menurut mereka, yang perlu dilakukan untuk mengonter kelompok anti-NKRI ialah mengajari mereka moderasi beragama. Mereka kemudian buat komunitas, menggelar talk show, dengan menghadirkan pemateri dari kalangan mereka sendiri. Ujung-ujungnya, sekali lagi, kirim proposal ke Kemenag.
Memang, biaya itu penting. Pragmatisme yang hendak dikritik di sini bukan soal ‘membutuhkan uang’ dalam hal kontra-narasi, melainkan ‘gerakan yang tidak berdasarkan hati nurani’ untuk menyelatkan NKRI itu sendiri. Berbeda dengan kaum sebelah yang motivasi utamanya adalah Islam—spirit keagamaan sebagai penggerak. Seharusnya, pelaku literasi moderat dan kontra-narasi juga demikian, menjadikan NKRI sebagai motvasi utama dan spirit nasionalisme sebagai penggerak.
Adu Militansi
Dukungan finanasial itu penting. Segala agenda mempunyai biaya operasionalnya sendiri. Saya tidak mengkritik itu, karena kaum sebelah juga melakukan hal yang sama. Yang saya kritik adalah, upaya memberantas khilafahisasi NKRI yang sangat oprtunis; ada uang dilakukan, tidak ada uang maka dibiarkan. Kebiasaan semacam itu mesti dibenahi bersama, secara pelan-pelan. Sebab, keberhasilan melawan khilafahisasi NKRI terletak pada sejauh apa kita menang dalam adu militansi.
Militansi aktivis khilafah ialah Islam ideologis. Mereka didorong oleh ghirahatas agama. Perkara agama yang mereka perjuangkan sudah terkontaminasi idelogi dan politik tertentu, mereka tidak peduli, itu urusan lain. Oleh karena itu, kita juga harus mempunyai militansi yang sama, yaitu pada Islam dan NKRI sekaligus. Mereka menabrakkan Islam dengan NKRI, kita menyuguhkan argumen bahwa NKRI sudah sesuai dengan nilai-nilai Islam. Dari situ, baru narasi dan kontra-narasi berimbang.
Selanjutnya adalah soal kemasifan. Siapa yang paling masif menarasikan gagasannya, ialah yang akan jadi pemenang. Tentu saja itu semua perlu dilakukan dengan kekompakan. Untuk menjaga NKRI dari khilafahisasi, narasi moderat dan kontra-narasi adalah sama urgennya. Tidak perlu saling menyudutkan satu sama lain. Musuh bersamanya adalah yang anti-NKRI, jadi yang harus dilawan ialah mereka. Bagaimana bisa kita berhasil melawan musuh kalau kita sendiri belum akur sesama?
Literasi moderat dan kontra-narasi merupakan metode melawan khilafahisasi NKRI. Terserah siapa pun yang akan menggunakannya, yang terpenting serangannya mengarah pada dua poin penting: menyelamatkan masyarakat dari ajaran Islam ekstrem dan menyelamatkan negara dari ekstremisme. Ini semua mesti digalakkan. Kelompok sebelah dalam menebarkan doktrin khilafah mengedepankan militansi. Melawan mereka mesti memiliki militansi yang sama.
Wallahu A’lam bi ash-Shawab…
Penulis: Ahmad Khoiri