Beberapa waktu belakangan ini publik ramai soal kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) yang dialami oleh salah satu public figure sekaligus mantan atlet anggar, Cut Intan. Rekaman CCTV yang dibagikan melalui Instagram pribadinya. Banyak sekali netizen mengecam aksi kekerasan yang dilakukan oleh suaminya, Armor Toreador. Selain karena kejahatan tersebut dilakukan kepada sang istri, anaknya yang masih bayi, juga menjadi korban dari aksi bejatnya.
Pasca viralnya aksi bejat yang dilakukan oleh sang suami, banyak sekali konten yang bertebaran di media sosial, utamanya tentang “Marriage is Scary”. Berbagai point of view (POV) tentang ketakutan menikah dari pihak perempuan, terus membanjiri media sosial. Informasi media sosial rasanya semakin menambah ketakutan bagi setiap perempuan untuk takut menikah, lantaran banyak sekali fenomena kekerasan, perselingkuhan atau kasus tidak beres dalam pernikahan yang tersebar di media sosial.
Namun, salah satu hal yang masih membuat kita bertanya-tanya dan tidak habis pikir bahwa, masih ada sebagian orang yang menyalahkan pihak perempuan. Misal dalam salah satu komentar netizen justru membenarkan kekerasan yang dilakukan oleh sang suami agar istrinya nurut. Tidak hanya itu, ada juga perempuan yang menggugat karena melahirkan anak ketiga meskipun sudah mendapatkan kekerasan. Dalam argumennya, ia justru menyalahkan pihak perempuan lantaran mau tidur bersama, bahkan sampai memiliki anak meskipun sudah mendapatkan kekerasan.
Beberapa komentar yang dibaca oleh penulis, termasuk konten yang menyudutkan pihak perempuan sebagai korban, semakin membuat kita memahami bahwa, sekalipun perempuan menjadi korban masih ada sebagian masyarakat, bahkan dari kalangan perempuan menyalahkan pihak korban. Ibarat jatuh tertimpa tangga, perempuan yang menjadi korban dalam kasus kekerasan, baik kekerasan dalam rumah tangga ataupun kekerasan yang dilakukan oleh laki-laki secara umum, seringkali masih disalahkan atas sesuatu yang terjadi. Masyarakat masih mengurus bagaimana sikapnya kepada sang suami, atau bahkan menormalisasi kekerasan dengan alasan suami adalah pemimpin dalam rumah tangga.
Bagi orang yang masih menggugat lahirnya seorang anak padahal korban KDRT sudah mendapatkan kekerasan, perlu diketahui bahwa relasi kuasa dalam sebuah hubungan yang didominasi oleh satu pihak, membuat pihak lain tidak berdaya. Lagi pula, iklus kekerasan yang berlangsung bertahun-tahun, dalam 24 jam tidak selalu dalam suasana mencekam. Ada waktu di mana momentum kekerasan tersebut mereda dan suasana kehangatan rumah kembali dengan harmonis.
Namun, apabila ada sesuatu yang membuat pihak dominan marah, kesal dan emosi, maka kekerasan tersebut kembali terjadi. Meski demikian, siklus kekerasan yang dilakukan oleh pihak dominan akan terus terjadi berulang-ulang. Apabila hal ini tidak ditindaklanjuti (melaporkan kepada pihak yang berwajib), maka sebuah komunitas (keluarga) berada dalam lingkaran setan yang tidak berkesudahan.
Demi Anak: Alasan Klasik Menghentikan Rantai Kekerasan
Hubungan pernikahan akan berbeda dengan hubungan lawan jenis di luar pernikahan. Keberadaan anak, kerapkali menjadi alasan pasangan suami-istri memilih untuk mempertahankan keutuhan keluarga dan menghindari agar anak tidak mengalami broken home. Kondisi broken home seringkali disematkan kepada anak yang orang tuanya bercerai/berpisah. Entah karena cerai mati atau karena cerai masih hidup. Padahal kondisi broken home bisa disematkan kepada keluarga yang utuh dengan kondisi hubungan ibu dengan bapak tidak baik-baik saja.
Kekerasan yang dilakukan oleh seorang suami kepada istri, yang dilakukan di depan anak-anak, menciptakan kondisi broken home pada sang anak. Artinya, anak dengan kondisi broken home tidak selalu dirasakan oleh kondisi orang tua yang berpisah, justru sebaliknya. Berdasarkan penjelasan tersebut, alasan “demi anak” seharusnya tidak boleh lagi terus-menerus menjadi alasan seseorang untuk memutus hubungan yang mematikan dan penuh kejahatan.
Lalu, mengapa perempuan masih bertahan dengan kekerasan yang dialami? Sebutan “janda” dalam konteks sosial, kerapkali identik dengan konotasi negatif. Orang tua tunggal atau ibu yang mengasuh anak-anak tanpa seorang suami, kerapkali mendapat stigma negatif dari masyarakat, baik ketika ia melakukan pekerjaan ataupun berinteraksi dengan lawan jenis. Artinya, konstruksi sosial yang terbangun oleh masyarakat masih menganggap bahwa bercerai adalah keputusan yang tidak cukup baik dibandingkan dengan bertahan dalam hubungan yang penuh dengan kejahatan.
Hal ini juga ditambah dengan dogma yang sangat mengakar tentang kewajiban istri untuk tidak boleh mengumbar aib keluarga, menciptakan mindset yang cukup mengakar bagi seorang perempuan untuk menutup rapat-rapat aksi bejat yang dilakukan oleh sang suami. Padahal kalau kita lebih kritis, perilaku kekerasan yang dilakukan oleh seorang suami kepada istri, tidaklah berdosa bagi seorang istri untuk melaporkan.
Sebab itu adalah kejahatan yang harus diberi hukuman kepada sang pelaku. Bersuara tentang kejahatan yang dilakukan oleh suami kepada istri agar dilaporkan kepada pihak yang berwajib, perlu terus dilakukan oleh kita sebagai bentuk edukasi, bahwa perempuan harus merdeka, dari kekerasan dan dari hubungan yang merenggut nyawa sendiri. Wallahu A’lam.