Belakangan ini, di sejumlah diskusi publik, termasuk dalam Podcast Bisikan Rhoma episode #147 yang menghadirkan Islah Bahrawi, muncul wacana kontroversial mengenai kedatangan kaum Baalawi atau Hadhrami di Nusantara. Islah Bahrawi mengutarakan pandangannya bahwa pemerintah kolonial Belanda sengaja mempercepat atau bahkan mendatangkan kaum Baalawi demi strategi “pecah-belah” di Indonesia.
Islah menyebutkan, menurut Snouck Hurgronje—tokoh orientalis yang menjadi penasihat kolonial—Belanda merekomendasikan pelibatan elite Arab untuk mengikis kekuatan perlawanan pribumi terhadap kolonialisme. Snouck juga disebut mengamati bahwa masyarakat pribumi saat itu merasa inferior terhadap kaum Arab, yang dinilai menambah ketegangan di tengah perjuangan kemerdekaan.
Namun, narasi ini patut dipertanyakan, terutama dari segi sumber dan konteks sejarahnya. Dalam catatan sejarawan seperti Michael Francis Laffan, dijelaskan bahwa Snouck Hurgronje memiliki hubungan yang cukup intens dengan ulama-ulama Nusantara di Mekkah, termasuk dengan Syekh Nawawi al-Bantani, guru dari rekannya, Raden Abu Bakar Jayadiningrat.
Selain itu, Snouck tidak menyarankan pengetatan ibadah haji bagi umat Islam, yang ia pandang tidak memiliki dampak signifikan dalam membentuk gerakan perlawanan.
Sejarah Kedatangan Hadhrami ke Nusantara
Kaum Hadhrami sendiri, seperti yang dijelaskan oleh beberapa penelitian, datang ke Nusantara bukan karena intervensi Belanda, melainkan karena dorongan ekonomi dan peluang perdagangan.
Menurut Sumit Kumar Mandal dan Huub de Jonge, salah satu faktor yang memfasilitasi migrasi besar-besaran ini adalah perkembangan jalur perdagangan internasional, terutama setelah dibukanya Terusan Suez. Kaum Hadhrami datang untuk berdagang, menyebarkan agama, dan menjalin hubungan sosial dengan masyarakat setempat.
Lebih lanjut, komunitas Hadhrami juga memiliki kemudahan dalam berintegrasi berkat sejumlah faktor: kemahiran mereka dalam bahasa Arab, hubungan mereka dengan jaringan ulama Syafi’i yang mendominasi Samudera Hindia, serta kosmopolitanisme masyarakat pesisir Nusantara yang memudahkan mereka diterima tanpa dianggap asing.
Perlu dicatat, pemerintah Hindia-Belanda justru memberlakukan kebijakan diskriminatif terhadap komunitas Arab, yang mereka anggap “berbahaya” karena pengaruh Islam dan kemungkinan koneksi dengan gerakan Pan-Islamisme. Menurut Huub de Jonge, bahkan Belanda hanya memperbolehkan mereka tinggal di area tertentu (kampung Arab) dan membatasi interaksi mereka dengan penduduk lokal.
Sejarawan Sumit Kumar Mandal menambahkan bahwa kalangan intelektual Belanda, seperti Pijnappel, justru khawatir pengaruh Arab akan memperkuat semangat perlawanan pribumi sehingga ada seruan untuk mengganti aksara Arab Melayu dengan aksara Latin.
Snouck Hurgronje dikenal sebagai tokoh kolonial yang melakukan riset mendalam tentang Islam di Nusantara. Saran Snouck terkait ibadah haji—sebagaimana diteliti oleh Dien Majid—sebenarnya bertujuan mempermudah jamaah haji dengan memberikan izin selama mereka memenuhi syarat.
Snouck justru menentang langkah-langkah birokrasi yang menghalangi keberangkatan haji, seperti pendaftaran berlebihan dan pembatasan jumlah jamaah. Pandangan Snouck di bidang ini tidak menunjukkan niat untuk mengisolasi umat Islam dari pengaruh luar melalui pengetatan ibadah haji.
Pandangan bahwa orang Hadhrami hanya sekadar “pendukung kolonial” juga kurang tepat. Sejarah mencatat bahwa beberapa pemimpin Hadhrami mendukung gerakan perlawanan terhadap kolonialisme. Misalnya, Habib Abdurrahman Zahir memimpin pasukan dalam Perang Aceh, meski mendapat kritik tajam karena bekerja sama dengan otoritas kolonial.
Lebih lanjut, jaringan Hadhrami di Singapura bahkan turut membantu perjuangan di Aceh, menunjukkan bahwa kaum Hadhrami tidak hanya berada di pihak kolonial.
Asumsi bahwa komunitas Hadhrami sengaja dibawa oleh Belanda untuk memecah belah masyarakat pribumi perlu diteliti lebih dalam. Kehadiran mereka di Nusantara tidak dapat dilepaskan dari dinamika ekonomi, sosial, dan politik yang lebih kompleks.
Sumber-sumber akademis menunjukkan bahwa kebijakan kolonial Belanda justru berusaha menekan pengaruh Hadhrami dan membatasi ruang gerak mereka. Narasi yang menyederhanakan peran Hadhrami sebagai instrumen kolonial perlu direvisi demi pemahaman sejarah yang lebih akurat dan adil.
Alumnus Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Meneliti hadis dan studi keislaman kontemporer. Sekarang mengelola lembaga pengkajian hadis El Bukhori Institute.