gaza

Tak ubahnya kuburan, pasar itu sepi. Kios-kiosnya kosong melompong. Pembeli tak ada, pedagang pun menutup lapaknya. Kain terpal yang menjadi penutup penanda tak ada denyut ekonomi di sana. Sunyi tak bertepi.

Begitulah keadaan pasar di kawasan Gaza tengah. Seperti yang disaksikan oleh Xinhua dua hari lalu, pasar itu lumpuh. Hanya segelintir pedagang yang menjual produk mereka dengan harga yang mereka klaim “bagus”.

Warga di sana, yang kebanyakan para pengungsi memboikot pasar yang dianggapnya mencekik hidup mereka. Para pedagang di sana, dianggap tengah mencari kesempatan dalam kesempitan.

“Bukankah pengeboman, penghancuran, dan teror sudah cukup membuat kami menderita? Para pedagang menambahnya dengan mengambil untung dari para pengungsi yang kelaparan,” kata Mohammed Amer, salah seorang pengungsi di sana.

Bersama beberapa orang lainnya, pria berusia 45 tahun itu mengambil keputusan tak mau membeli barang-barang yang dijual para pedagang di sana. Keputusan untuk mogok adalah perlawanan terakhir terhadap apa yang ia sebut sebagai praktik monopoli para pedagang.

“Kami melancarkan aksi mogok pasar untuk memprotes monopoli barang oleh pedagang dengan harga yang sangat tinggi,” kata Amer, yang bergabung dengan puluhan orang lainnya yang berkumpul di dekat pasar Khan Younis. Sejak pecahnya konflik antara Israel dan Hamas pada Oktober 2023, banyak penduduk setempat memilih untuk memboikot pasar. Mereka frustrasi dengan apa yang mereka anggap sebagai harga yang selangit.

Baca Juga  Presiden Palestina Temui Erdogan ke Turki, Ada Apa?

Menurut Amer, aksi boikot tersebut diperkirakan akan berlangsung beberapa hari. Mereka pun mempertimbangkan tindakan lebih lanjut untuk menekan pedagang agar memberikan harga yang lebih adil.

Harga-harga di Gaza memang menggila. Menurut Biro Statistik Palestina, indeks harga konsumen Gaza terus mengalami kenaikan. Data terakhir menunjukkan melonjak hingga 283 persen. Angka ini terbesar sejak konflik dimulai, pada Oktober tahun lalu.

Tentu saja hal itu menyulitkan bagi penduduk Gaza. Ekonomi mereka benar-benar hancur. Bagi banyak penduduk, barang-barang komersial dasar kini menjadi kemewahan.

Seperti yang banyak diberitakan, mayoritas dari mereka bergantung pada bantuan pangan untuk bertahan hidup. “Saya dulu mendapatkan makanan dari lembaga-lembaga PBB, tetapi sekarang tidak ada yang membantu kami,” kata Ayoub. Dia pun khawatir tentang kelima anaknya yang kini menghadapi kelaparan karena ia tidak memiliki cara untuk menyediakan makanan.

Kenaikan harga-harga itu menurut para pengunjuk rasa terjadi karena hampir tidak adanya pengawasan regulasi di daerah kantong yang dilanda konflik tersebut. Mereka berpendapat para pedagang, yang sebenarnya tidak memiliki otoritas, telah mengeksploitasi krisis untuk menaikkan harga tanpa kendali. “Para pedagang memanipulasi harga karena tidak ada pengawasan,” kata Yousef Mahna, seorang warga Khan Younis.

Walhasil, mereka mempertahankan hidup dengan seadanya. Mahna, misalnya. Dia yang mengungsi bersama tujuh anaknya menyebut pola makan mereka yang hanya terdiri dari roti, teh, dan thyme atau daun rempah.

Baca Juga  Ketua MUI Banten Ajak Umat tak Terprovokasi Terkait Bahar bin Smith

Warga lainnya, Samiha Ayoub menuduh para pedagang menimbun pasokan bantuan. Truk-truk yang membawa kebutuhan pokok tidak pernah sampai ke pasar tetapi malah disalurkan ke gudang-gudang, yang diduga untuk menaikkan harga.

“Kami melihat dengan mata kepala sendiri truk-truk berisi barang dan sayur-sayuran memasuki wilayah selatan Gaza, tetapi tidak sampai ke pasar,” kata ibu dari lima anak itu.

Benarkah tudingan itu? Ali Ahmed, seorang pedagang lokal menggelengkan kepalanya. Dia membantah semua tuduhan itu. Menurutnya, mereka sebenarnya juga merupakan korban dari keadaan yang terjadi. “Orang-orang menuduh kami serakah padahal kami juga korban,” katanya.

Tingginya harga-harga di sana, karena katanya pihaknya juga juga menyebutkan harus membayar kelompok bersenjata untuk mengamankan jalur yang aman bagi barang-barangnya melalui wilayah yang dikepung. Dia menyebutkan, bahwa dia dan para pedagang lainnya juga terjebak dalam kekacauan yang sama.

Perjuangan Amer dan para pengungsi, dengan boikotnya itu, sepertinya harus menempuh perjalanan yang teramat panjang. Ternyata para pedagang — seperti yang dikatakan Ali, menghadapi masalah yang juga rumit. Hanya datangnya bantuan yang bisa menyelesaikan persoalan ini.

 

 

Irfan Budiman

Mantan wartawan dan penulis lepas di sejumlah media.

 

Repost, sumber asli di sini

By Redaksi Jalan Hijrah

Jalanhijrah.com adalah platform media edukasi dan informasi keislaman dan keindonesiaan yang berasaskan pada nilai-nilai moderasi dan kontranarasi.