Penceramah Radikal dan Menguak Tren Ustaz yang Gampang Menyesatkan Umat

Jalanhijrah.com-Presiden Joko Widodo telah mengintruksikan kepada Pimpinan TNI-Polri untuk tidak mengundang penceraham radikal. Karena, penceramah radikal adalah fenomena yang riil, faktual, dan telah membuat umat muslim di Indonesia bingung, tak tercerahkan, dan bahaya.

Tentu klaim tersebut tidak mengada-ngada, mengingat kondisi yang terjadi di tengah-tengah masyarakat memang seperti itu. Ustaz-ustaz memberi penjelasan tentang perihal agama, tetapi jauh dari norma-norma agama yang sesungguhnya. Inilah yang kini marak.

Ustaz-ustaz Mualaf

Masih ingatkah fenomena ustaz-ustaz dadakan yang sering berceramah atas nama agama Islam tetapi mereka tidak tahu bahkan sering salah dalam membacakan ayat? Ya, itu ustaz mualaf, yang mengaku-ngaku pakar dalam Islam. mereka adalah Fauzan al-Azmi, Chris Bangun Samudera, Felix, dan Steven Indra Wibowo.

Yang konyol, ada pada sosok Fauzan al-Azmi yang mengaku lulusan S2 Teologi Injil Vatican School di Vatikan. Ia mengaku keturunan dari seorang ayah berlatar Ignatius dan memiliki ibu Laura. Padahal Fauzan ini dari dulu memang muslim dan namanya Joko, asal Kudus. Anehnya, ia banyak pengikutnya dan kebusukannya baru terbongkar belakangan ini.

Namun demikian, meski mereka ditipu atas identitasnya, bahkan uang jutaan rupiah, tetapi masih banyak sampai sekarang ini yang menjadi pengikut ustaz-uztaz di atas. Bahkan Joko ini sudah sampai berani menikahi belasan perempuan berkat predikat mualafnya dan ustaz tersebut. Mengapa umat gampang banget dibohongi oleh ustaz-ustaz yang dadakan begini?

Baca Juga  Mengapa Nabi Isa Dijuluki Almasih?

Jika fenomena di atas telah membuat masyarakat gampang ditipu oleh orang yang sebenarnya tidak memiliki format otoritas, bahkan tidak punya basic dalam agama Islam yang sebenarnya, bagaimana jika dilakukan oleh orang yang professional dalam beragama, tetapi dalam niatan yang buruk. Sungguh tambah tertipu bahkan tersesat lagi masyarakat kita ini.

Sungguh jangan heran, jika Kepala Badan Intelijen Negara, sejak dulu telah menyampaikan, bahwa terdapat 11 masjid kementerian, 11 masjid lembaga, dan 21 masjid BUMN terindikasi terpapar radikalisme. Menurut pendataan BIN ada sekitar 500 masjid di seluruh Indonesia yang terindikasi terpapar paham radikal. Dan ini bisa berpotensi mengancam stabilitas negara, termasuk yang menyesatkan umat.

Penceramah-ustaz Radikal

Yahya Waloni, Felix Siauw, Novel Bakumen dan lain-lain jangan sampai dijadikan patokan untuk belajar agama di Indonesia. Masih banyak ustaz-ustaz yang memiliki kualifikasi dan kapasitas ilmu agama yang memadai. Dengan penyataan Jokowi di atas, kini yang terpenting adalah bagaimana ustaz-ustaz radikal tidak tambah lebar pengaruhnya. Di samping itu pula, masyarakat lebih bisa hati-hati dan selektif dalam mengundang penceramah.

Masjid tidak boleh dijadikan sebagai doktrin untuk memusuhi negara dan menipu umat berkedok agama. Masjid harus terbebas dari ragam kepentingan yang bisa menipu dan membahayakan umat dan generasi kedepannya, serta keutuhan negara. Ini yang harus dicari solusinya bersama-sama.

Baca Juga  UAS dan Simpatisan Seharusnya Tidak Bersikap Begitu

Jika yang ngisi atau yang diundang, tanpa melihat kualitas keilmuan ustaznya, maka pasti takmir, masjid, dan umatnya juga terlibat dalam pengaruh radikalisasi. Karena, takmir, masjid dan umat yang ngundang pasti punya empati atau emosional yang sama dengan ustaz atau keilmuan penceramah tersebut. Jika demikian, maka takmir-takmir di berbagai masjid juga harus steril dari sikap-sikap radikalisme. Oleh sebab itu, di sini juga perlu mereformasi pengurus masjid melalui Lembaga Takmir Masjid dan Lembaga Dakwah setempat.

Mengembalikan Fungsi Masjid

Jika para ustaz dan aktivis radikal sudah memiliki peta masjid dan musala mana yang harus disusupi dan menjadi tempat kajian mereka, maka pemerintah atau kita, juga harus punya peta dan kontrol yang sama. Fungsi kontrol ini untuk menghalau seberapa jauh mereka bertindak, terutama kaitannya dengan kajian-kajian mereka. Jadi yang perlu dikontrol di sini, bukan hanya pada penceramah radikal yang memiliki nama terkenal atau punya massa yang banyak, tetapi juga, kepada takmir-takmir masjid setempat yang memiliki hasrat keagamaan yang sama: radikal.

Hari ini masjid di mana-mana sudah hampir menjadi labuhan tempat ustaz-ustaz radikal. Lihatlah masjid-masjid umum yang besar di tengah kota, musala di kantor atau di mall, hampir rata-rata telah dikuasai mereka. Kendati demikian, hal tersebut wajib dicegah. Masyarakat harus bisa mengembalikan fungsi masjid seutuhnya, yakni sebagai tempat ibadah yang mendamaikan, mencerahkan, dan menyatukan. Bukan masjid yang dijadikan tempat sebagai basis penebar kebencian, penyesatan, yang diinisiasi oleh takmir dan ustaz-penceramah radikal.

Baca Juga  Kritis Terhadap Pemerintah Belum Tentu Radikal, Menolak Indonesia, Pancasila, Sudah Pasti Radikal

*Penulis: Agus Wedi

By Redaksi Jalan Hijrah

Jalanhijrah.com adalah platform media edukasi dan informasi keislaman dan keindonesiaan yang berasaskan pada nilai-nilai moderasi dan kontranarasi.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *