Jihad Jangan Dilahap Mentah-mentah, Umat Harus Hati-hati

Jalanhijrah.com – Pendidikan Islam di masa sekarang merupakan bidang yang paling perlu dipelajari secara sungguh-sungguh. Pendidikan modern telah menyerbu dari berbagai penjuru. Pengaruh pun kian tertanam di benak generasi penerus. Jika tidak pandai-pandai membina jiwa generasi mendatang dan menancapkan nilai-nilai iman pada nalar dan kalbu, tentulah tak akan selamat pada serbuan itu. Jihad, umpamanya.

Hubungan manusia dengan Allah serta hubungan manusia dengan manusia telah dibahas secara panjang lebar di kitab-kitab Tasawuf.

Kitab-kitab Tasawuf juga tak luput dari kesalahan-kesalahan yang cukup mengganggu dan membahayakan jika dilahap mentah-mentah oleh mereka yang tidak mengetahui mana yang lurus dan mana yang melenceng. Karenanya cukup bijak bila kita membangkitkan bersama gairah ummat untuk mengkajinya kembali. Kita perlu mengkaji ulang agar kesalahan yang pernah terjadi tidak terulang.

Ada dua tipe manusia yang sepatutnya diberi pertolongan:

Pertama, orang-orang yang hatinya dipenuhi kehangatan spiritual serta kecintaan yang dalam kepada Allah SWT dan Rasul-Nya, tetapi wawasan mereka tentang hukum-hukum dalam Al-Qur’an dan Sunnah sangatlah lemah.

Pertolongan pertama pada manusia ditipe pertama ini ialah dengan mempertajam ilmu dan wawasan. Secara perasaan kepribadian yang mereka tuangkan sifatnya jujur, tetapi tetap lemah dalam hal wawasan Al-Qur’an dan Al-Hadist.

Kelompok pertama ini mirip dengan gambaran riwayat Ibn al-Jahizh dari Ibn Abbas yang mendatangi Aisyah dan berkata, “Wahai Umulmukminin, manakah yang lebih anda sukai, orang yang sedikit bangun dan banyak tidur atau banyak bangun dan sedikit tidur ?” Aisyah menjawab, aku pernah bertanya kepada Rasulullah seperti itu dan beliau menjawab, ‘Yang lebih baik akalnya’. Aku pun bertanya tentang ibadah mereka, beliau menjawab, ‘Wahai Aisyah, mereka tidak usah ditanya tentang ibadahnya, tetapi harus ditanya akalnya. Barang siapa yang lebih berakal, dia lebih utama di dunia dan akhirat”.

Sebut saja Ali Imran, teroris yang bertaubat. Sejenak ia mengingat peristiwa yang menimpa dirinya. Ia menangis dan hanya mengucapkan permintaan maaf, terlihat rona penyesalan ada diwajahnya. Peristiwa itu terjadi saat dirinya menghadapi persidangan dan dihadapkan dengan sejumlah korban selamat yang harus menderita cacat karena tindakan radikalnya.

Baca Juga  2024: Benarkah Tahun Kebangkitan Terorisme?

Tangisan Ali tak terbendung karena ia menyadari permintaan maaf dan hijrahnya pun tidak bisa mengembalikan nyawa mereka yang telah tewas dan fungsi organ tubuh korban yang selamat.

Ia tidak mengajukan banding terhadap hukuman seumur hidup yang dijerat, karna ia berpikir akan mengguncang persaan bagi para korban. Ia hanya meminta untuk membantu perintah dalam memberantas pemahaman radikal.

Ali Imron, narapidana terorisme (Napiter) kasus Bom Bali I kini aktif mengkampanyekan program deradikalisasi sebagai upaya menanggulangi aksi terorisme di Indonesia.

Kampanye deradikalisasi menjadi keseharian Ali yang sementara ini mendekam di Rutan Narkoba Polda Metro Jaya, Jakarta.

“Mulai kepada para pembesuk, baik kenal tidak kenal, itu yang saya lakukan. Bahkan ke tahanan narkoba saya lakukan seperti itu,”tutur Ali Imran saat berbincang dengan Direktur Pemberitaan Tribun Network Febby Mahendra Putra, Selasa (11/5/2021) lalu.

Ali Imran mengaku telah menyadari bahwa jihad yang dipahami oleh kelompok teroris sangat jauh dari prinsip jihad yang sesungguhnya. “Meskipun aksi yang pernah kita lakukan niat jihad, saya menyadari itu tidak sesuai dengan prinsip Jihad,” tandasnya.

Hijrahnya seorang hamba kerap menjadi kisah yang menarik untuk diceritakan. Penyesalannya atas segala dosa tak membuatnya menjadi seorang fatalis. Dia tak berlarut-larut dengan rasa bersalah atas maksiatnya pada masa lalu. Penyesalannya itu malah membuatnya menjadi produktif dalam melihat masa depan.

Kedua, orang yang akalnya cedas, ilmunya luas, bicaranya lancar, mengetahui banyak hal tentang hukum-hukum agama, ibadah-ibadah ritual, namun jiwanya dingin, nuraninya hampa, hatinya keras, dan cenderung angkuh.

Sekarang kita membahas kelompok manusia yang sama sekali tidak mengenal makna jihad yang sesungguhnya. Orang-orang ini termasuk dalam kategori kedua yang sepatutnya banyak-banyak diberi pertolongan.

Tipe manusia kedua ini mengingkari makna Jihad yang hakiki. Gerakan dan tindakan  para pengingkar ini akhir-akhir ini semakin merajalela. Berdirinya ISIS (Islamic State of Iraq and Syria) yang menopang kuat ke berbagai penjuru negara, termasuk Indonesia menjadikan paham-paham radikal muncul. Panji-panji mereka kobarkan mengatasnamakan Islam, sedangkan pokok-pokok pikiran mereka radikal yang jauh dari kopsep Islam yang sesungguhnya. Kini semakin disemarakkan adanya kalangan radikal yang masuk dalam lingkup pesantren.

Baca Juga  Bagaimana Nasib Bangsa Ketika Ulama dan Intelektual Membebek pada Penguasa

Kitab kuning merupakan satu-satunya identitas pesantren, di samping al-Qur’an dan Sunnah, dalam hal mempelajari dan mengkaji secara mendalam norma-norma Islam. Tanpa kitab kuning, pesantren tak lebih hanyalah tempat pendidikan yang tidak memiliki ciri khas tertentu, dengan kitab kuning pesantren terus menjaga dan mengembangkan khazanah keislaman yang begitu kaya.

Kalau boleh jujur, sebenarnya akar-akar radikalisme telah ada dalam penjelasan-penjelasan secara rinci di kitab kuning yang biasanya dikaji dilingkungan pesantren. Dalam kitab Fathul Mu’in dan Fathul Qarib misalnya, salah satu babnya, menjelaskan tentang suatu keharusan untuk mendirikan kekhilafahan Islam. Lebih tegas lagi, dalam kitab Ahkamul Sultoniah dikatakan tentang prinsip dan kewajiban dalam menegakkan negara Islam.

Yang menarik adalah, kitab-kitab ini juga dikaji dan justru menjadi bacaan wajib bagi pengikut organisasi Hizbut Tahrir yang begitu getol dalam mendirikan negara Islam. Pertanyaannya adalah jika kitab-kitab yang dikaji oleh para santri dan kelompok Hizbut Tahrir adalah sama, tapi mengapa melahirkan suatu kesimpulan yang berbeda?

Dalam konteks inilah muncul apa yang disebut sebagai “problem epistemologis”. Kelompok garis radikal Hisbut Tahrir misalnya, memahami teks secara harfiah, parsial, dan hanya melihat apa yang nampak dipermukaan. Jadi dasar epistemologi yang mereka pakai hanyalah melalui prinsip epistemologi bayani, yakni suatu pandangan yang hanya berdasarkan pada teks semata dan hanya melalui teks sajalah segala sesuatu dapat dijelaskan.

Mereka tidak peduli betapa akal dan intuisi sangat berperan dalam memahami segala sesuatu. Justru landasan epistemologi yang berbasis pada akal dan intuisi, dianggap tidak orisinal dan dapat meracuni cara pandang yang murni terhadap teks keagamaan. Mereka lebih menggunakan standart epistemologi yang keliru dalam memahami agama.

Sementara para santri, lebih menggunakan pendekatan kontekstualis dalam memahami teks, apakah itu dari al-Qur’an, Sunnah, atau dari kitab kuning, para santri mampu mendialogkan antara teks dan konteks, antara sisi historis dari teks dan bentuk kontekstualisasi dari penerapan teks tersebut di zaman yang lebih kekinian. Itu artinya bahwa kelompok radikal seringkali tidak mengerti tentang aspek-aspek historis dari kemunculan doktrin agama.

Baca Juga  Renungan Idul Adha, Habib Ja’far: Esensi Qurban dan Kesadaran Ekologis

Misalnya, para santri lebih memaknai istilah jihad siyasah (politik) dalam konteks keindonesiaan. Karena memang penerakan sistem bernegara di Indonesia, sudah sangat dekat dengan cita rasa Islam. Seperti prinsip demokrasi dengan musyawarah, prinsip berketuhanan, berkeadilan, atapun citac-cita kesejahteraan bersama, tidaklah menyalahi aturan Islam yang baku, justru memiliki makna yang searah. Tidak sebagaimana kaum radikal yang bahkan dalam memaknai sistem pemilu tak lebih sebagai al-Intiqaf fil Islam (pemilu yang haram).

Pandangan penulis, mereka mengembangkan dan mempropagandakan teori jihad yang mandul dalam kehidupan. Dalam pandangan mereka, kehidupan ini berawal dari sesuatu yang sederhana. Kemudian meningkat secara evolusi sehingga sampai ke bentuk yang sekarang. Serangan pemahaman radikal telah menyeret masyarakat kita kepada pemikiran-pemikiran “berpenyakit” semacam itu.

Yaitu pemikiran-pemikiran yang kalau kita kaji dan debat secara seksama dengan mereka tidak akan bertahan, sulit sekali. Sebab mereka sudah terdoktrin dengan kitab-kitab tadi.

Kita semua telah sepakat bahwa Indonesia adalah negara Republik berasaskan Pancasila. Pesantren sebagai garda depan bagi penjangaan nilai-nilai keislaman yang mengedepankan nasionalisme, sudah sepatutnya memiliki peranan yang lebih penting dalam menangkal radikalisme agama. Jika pemahaman keagamaan kaum radikal ini keliru, maka pesantrenlah yang dapat meluruskan. Peran pemerintah pun juga tak kalah penting.

Apalagi Serangan terhadap paham radikal semakin hari semakin menjadi-jadi di lingkup pesantren. Pesantren yang notabenenya menjadi pengaruh besar terhadap nilai-nilai keislaman malah terjadi sebaliknya. Tentu, kita dituntut untuk mempertahankan keimanan.

Ibn ‘Umar meriwayatkan bahwa Rasulullah Saw pernah bersabda, “Seseorang yang melaksanakan puasa, menjalankan shalat, menunaikan haji, dan mengikuti jihad, pada hari kiamat hanya di balas sesuai dengan kadar akalnya”

Penulis juga kesal dengan orang-orang yang masuk kedalam tipe kedua ini, yang sombong karena merasa mempunyai pengetahuan yang benar tentang akidah, tetapi menganggap enteng penyakit-penyakit hati. nuraninya sungguh hampa, hatinya keras, dan cenderung angkuh.

*Penulis: Malihatun Nikmah

By Redaksi Jalan Hijrah

Jalanhijrah.com adalah platform media edukasi dan informasi keislaman dan keindonesiaan yang berasaskan pada nilai-nilai moderasi dan kontranarasi.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *