Jalanhijrah.com- Saya pernah menulis topik serupa dengan mengacu kepada hasil penelitian yang ditulis oleh Sitti Ruhaini Dzuhayatin yang berjudul, Islamism and Nationalism Among Niqabis Women in Egypt and Indonesia yang diterbitkan melalui Indonesian Journal of Islam and Muslim Societies. Ruhaini mencoba melihat fenomena perempuan cadar yang selalu dikaitkan dengan perkembangan terorisme. apalagi ISIS yang sejauh ini selalu jadi perbicangan serius di tiap-tiap negara. Pandangan tentang nasionalisme dalam konteks ini diukur dari kebanggaan kewarganegaraan dan aspirasi sistem kekhalifahan berbeda-beda.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa, sistem kekhalifahan, sebagai inti perjuangan politik kaum Islamis, hanya diterima oleh 52% di Indonesia dan 59% di Mesir, yang lebih rendah dari perkiraan umum bahwa kelompok akan mendapat skor tertinggi. Derajat nasionalisme yang diukur dengan kebanggaan warga negara menunjukkan hasil yang menjanjikan. Hanya 20% orang Indonesia, dan 3% orang Mesir, perempuan bercadar mengungkapkan ketidakpuasan mereka dan menyatakan bahwa mereka tidak bangga menjadi warga negara mereka. Artinya, 80% hingga 97% dari mereka masih memegang teguh nasionalisme, meski aspirasi mereka untuk mengadopsi sistem kekhalifahan, yang sedikit di atas 50%.
Selanjutnya respons terhadap pemerintahan yang diukur dari penerimaan pemerintahan dan sistem ekonomi yang ada terfragmentasi. Penerimaannya sekitar 60-73% terhadap pemerintahan yang ada. Berbeda dengan yang memandangnya sebagai thaghut atau tidak sesuai dengan prinsip politik Islam, 37% di Mesir dan 40% di Indonesia. Sistem ekonomi yang diukur dari bunga bank memberikan respons tertinggi yaitu 87% di Indonesia dan 79% di Mesir.
Mengacu kepada penelitian di atas, setidaknya kita dapat memahami bahwa para pengguna cadar di Indonesia, sebagian besar masih memegang teguh kecintaan terhadap negara Indonesia. Berangkat dari semangat positivisme di atas, bagaimana dengan perempuan bercadar yang kerap kali menjadi teroris?
Pada faktanya, kita selalu menemukan bahwa para pelaku teror khususnya perempuan, selalu menggunakan cadar. Beberapa waktu terakhir, ketika ada perempuan yang mencoba masuk istana, ia juga menggunakan cadar dengan pakaian tertutup pada umumnya. Aksi lone wolf, yang pernah dilakukan oleh seorang perempuan tahun lalu, juga menggunakan cadar dengan pakaian yang sangat tertutup. Jika melihat ke belakang lebih jauh, para perempuan yang melakukan aksi teror bersama keluarganya, juga menggunakan cadar. Fakta ini menjadi kesimpulan bagi masyarakat bahwa, para perempuan vercadar adalah teroris. Tentu, juga menjadi kesimpulan bahwa mereka tidak nasionalis karena sudah memiliki pandangan yang sangat berbeda dengan bangsa Indonesia.
Kalau kamu bercadar dan cinta Indonesia, ayo tunjukkan!
Menariknya, beberapa waktu belakangan ini, saya mendapati akun Instagram yang cukup unik yakni @cadargarislucu. Isinya tidak jauh berbeda dengan postingan para akun Instagram yang menyebarkan Islam ramah, bahkan tidak terlihat keras seperti asumsi kita kepada perempuan bercadar. Adanya akun ini juga menjadi ejawantah dari stigma masyarakat yang selama ini masih menganggap bahwa perempuan bercadar anti Indonesia dan sangat eksklusif untuk berorganisasi bahkan melakukan kegiatan seperti manusia pada umumnya.
Berbagai konten yang disajikan dalam akun tersebut juga disajikan sangat informatif kepada para pembaca. Aktivitas diskusi, live Instagram yang dilakukan oleh para penggerak komunitas tersebut semakin meneguhkan posisi perempuan bercadar tidak seperti pandangan masyarakat yang eksklusif. Komunitas ini juga tidak jarang mengkritik fenomena yang menggelikan masyarakat seperti masalah Zavilda, akun youtube yang beberapa waktu lalu ramai karena aksinya memaksa perempuan untuk menggunakan jilbab. Seperti yang diketahui bahwa, talent pada video tersebut juga menggunakan cadar. Tidak heran, kritik yang disampaikan oleh komunitas @cadargarislucu menjadi salah satu image kepada masyarakat bahwa, komunitas ini juga tidak setuju terhadap praktik-praktik keagamaan yang memaksa dan tidak ramah kepada perempuan.
Menurut penulis, gerakan semacam ini perlu diperbanyak oleh para perempuan bercadar untuk melihat sosial secara luas yang sangat beragam. Tanpa meninggalkan aturan agama yang sudah menjadi keyakinan dan kepercayaannya, hubungan dengan manusia sangat perlu dijaga untuk keberlangsungan kemanusiaan. Hal ini juga sebagai upaya memupuk kepercayaan kepada masyarakat bahwa, jenis pakaian yang digunakan oleh seseorang, khususnya cadar, tidak berpengaruh terhadap aktivisme seseorang dalam bersosial, khususnya tidak bertentangan dengan kecintaan terhadap Indonesia. Wallahu a’lam
Penulis
Muallifah