nataru dan kaum minoritas

Jalanhijrah.com-Minoritas di Solo seringkali terlupakan dalam percakapan terorisme. Dari obrolan-obrolan seru tentang radikalisme dan terorisme. Padahal, minoritas inilah yang menjadi ancaman terbesar dari ganasnya teroris di Indonesia.

Peran Minoritas

Jangan dilupakan juga, selain menjadi target teroris, minoritas ini juga memainkan peranan yang signifikan sebagai kekuatan positif-konstruktif yang ikut memitigasi fragmentasi keekstreman agama di Indonesia.

Sebagai kekuatan positif, minoritas berperan dalam melakukan pencegahan wacana keekstreman agama, wabah, dan masalah-masalah sosial di Indonesia. Mulai dari sosialisasi, edukasi, hingga prevensi penyebaran paham ekstrem dan rasial di tengah-tengah umat mayoritas beragama.

Celakanya, minoritas ini selalu tersisihkan dalam segi keagamaan dan pengamanan. Karena itulah mereka sebenarnya menjadi kelompok yang rentan dalam skala aksi terorisme. Banyak orang mengatakan bahwa minoritas di Indonesia tampak terjadi ketertindasan secara terstruktur dan sistematis. Baik dalam skala struktural negara dan di alam komunitas mayoritas.

Mengalami Multiple Burden

Dalam kondisi faktual itu, dari ragam posisi dan nasibnya minoritas, baik dari segi agama dan struktur sosial, serta dari pelbagai dimensi pengalaman, baik kehidupan keseharian, di depan konstruksi hukum, dan wacana sosial minoritas mengalami multiple burden.

Seperti yang dialami oleh Joshua Levi Setiawan Putra (Budha) dan Ida (Hindu). “Saya sebagai minoritas, saya kadang kurang mendapatkan pengakuan secara de facto sebagai umat Buddhis dalam artian saya engga dapat pengakuan dan harus mengubah KTP saat itu sebagai Kristen. Karena pas itu, orang engga terlalu kenal sama yang namanya agama Buddha apalagi Buddha Mahayana. Selain itu tergolong sangha saya adalah sangha yang cukup minor di sini atau cabang Buddhisme minor di Indonesia yakni Sangha Mahayana, jadi kami sangat minim dalam fasilitas kebaktian/ peribadatan.”

Baca Juga  Anak Muda dan Tantangan Radikalisme

Meski Budha dan Hindu diakui dalam UU no. 1/PNPS/1965, tapi praktik diskriminatif terhadap minoritas yang masih mempertahankan agamanya berlangsung secara terstruktur, sistematis dan massif. Pada sisi ini, praktik diskriminatif berakar pada “politik pembedaan” antara yang disebut agama, minoritas, dan mayoritas.

Seperti yang diceritakan Levi, hak-hak sipil mereka sebagai warga negara, mulai dari pengurusan akte kawin, akte lahir, KTP, KK, akses pendidikan, tempat ibadah bahkan sampai soal penguburan jenazah terpinggirkan. Akibat peminggiran ini, sejak 1949 hingga 1992, telah terdapat 517 aliran kepercayaan yang mati di seluruh Indonesia (Najib Burhani, 2020).

Segregasi Sosial

Segregasi sosial yang marak terjadi terhadap kelompok minoritas agama, komunitas adat, ras, dan etnis, hanya sekadar ingin mempertahankan tradisi dan hak-hak mereka di hadapan kehidupan bernegara. Tapi hak-hak mereka terampas atas sebuah alasan pendisiplinan kebijakan. Seperti terjadi pada Joshua Levi Setiawan Putra.

Kendati, menjadi minoritas beragama dan bernegara tidak gampang. Karena secara tidak langsung diproduksi atas relasional dalam konteks konsolidasi negara yang pada akhirnya terjadi sejenis pengikisan atau sebagaimana bahasa Trisno Sutanto terjadi “genosida kultural”. Akhirnya ia membawa sebuah kemajemukan baru yang ahistoris atau pengikisan ikatan komunitas leluhur di tempat tinggalnya sendiri.

Peminggiran minoritas termasuk dalam struktural yang ditandai dengan defisitnya akses pendidikan, pekerjaan, tradisi, dan sumber-sumber ekonomi terjadi di banyak daerah, dan pengamanan seperti di Solo dan juga termasuk Bali. Akhirnya, masyarakat ini menjadi masyarakat rentan dan berpotensi menjadi musuh bersama bagi teroris di Indonesia. Oleh karena itu, menuju Nataru, keamanan negara sudah seharusnya memastikan bahwa Nataru tahun ini aman, damai, dan tentram.

Baca Juga  Khairah, Ibunda Imam Hasan al-Bashri

 

Advertisements

By Redaksi Jalan Hijrah

Jalanhijrah.com adalah platform media edukasi dan informasi keislaman dan keindonesiaan yang berasaskan pada nilai-nilai moderasi dan kontranarasi.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *