Jalanhijrah.com-Problem ketidakadilan gender yang ingin dilawan oleh perjuangan akan keadilan gender di seluruh dunia terjadi dalam banyak lingkungan dan berbagai latar belakang sosial–politik, tidak terkecuali dialami oleh perempuan-perempuan muslim. Hal ini bisa dilihat dari masih terjadinya problem ketidakadilan gender yang termanifestasi dalam beberapa hal, seperti marginalisasi, subordinasi, stereotip (pelabelan negatif), violence atau kekerasan, serta beban kerja terhadap perempuan yang lebih banyak dan panjang.
Dalam dunia Islam, masih terjadi adanya pandangan bahwa perempuan tidak pantas mendapatkan peranan politik dan ekonomi. Seperti adanya pandangan yang mempermasalahkan Benazir Bhutto yang menjadi Perdana Menteri di Pakistan pada tahun1988-1990, yang didasarkan pada hadits Nabi Muhammad SAW. yang dianggap mentabukan kepemimpinan perempuan (Odenheimer, 2004). Ini bisa dianggap sebagai salah satu bentuk marginalisasi dan subordinasi perempuan muslim.
Bentuk streotipe terhadap perempuan muslim bisa dilihat dari bagaimana perempuan muslim yang tidak menggunakan jilbab dan pakaian longgar yang memang dianjurkan dalam Islam, dianggap sebagai biang kerok mengapa pelecehan seksual oleh lelaki atas mereka sendiri dapat terjadi. Meskipun menurut Survei Pelecehan Seksual di Ruang Publik oleh Koalisi Ruang Publik Aman pada tahun 2018 mengungkapkan, terdapat 17% korban pelecehan seksual yang memakai jilbab, serta 14% yang berpakaian longgar (Primastika, 2019).
Sementara violence terhadap perempuan, bisa dilihat misalnya pada anggapan bila seorang istri menolakan ajakan berhubungan badan dari suami akan mendapatkan laknat dari para malaikat. Serta dalam praktiknya, perempuan-perempuan muslim diberi beban pekerjaan rumah tangga sepenuhnya, ditambah menambah penghasilan suaminya dengan bekerja atau mengurus ladang pertanian.
Usaha untuk mengatasi problem ketidak adilan gender yang dialami kalangan perempuan muslim bisa dimulai dari keluarga. Sebab problem ketidak adilan gender inimuncul dari kontruksi sosial budaya yang sangat kuat mengakar. Diperlukan usaha memperbaiki pandangan bias tersebut dari pilar terkecil dalam kontruksi sosial itu. Sedangkan keluarga merupakan lembaga pendidikan yang bersifat informal, kodrati(Suwarno, 1992), dan merupakan persekutuan hidup terkecil dari masyarakat yang luas.
Keluarga merupakan ladang terbaik dalam penyemaian nilai-nilai agama dan etikasosial (Fadli, 2020). Keluarga juga merupakan tempat pendidikan pertama yang dikenal olehanak (Zuhairini, 1981). Bila sejak dalam pendidikan keluarga, anak-anak terbiasa dengan wawasan keadilan gender, tentu diharapkan mereka bisa menjadi generasi berikutnya yang dapat merekonstruksi sosial dan budayanya yang berbasis keadilan gender.
Peran Ibu dan Generasi Baru Berwawasan Keadilan Gender
Dalam tatanan budaya lama, laki-laki dalam keluarga bertugas untuk memenuhi nafkah dan kebutuhan keluarga. Sehingga sejak kecil, laki-laki dididik untuk bekerja kerasdan mendapatkan porsi pendidikan yang lebih besar daripada anak perempuan. Sementara perempuan, mendapatkan tugas untuk bertanggung jawab pada pekerjaan domestik keluarga, termasuk bertugas merawat dan mendidik anak. Dalam hal terakhir inilah, Islam menganjurkan bagi laki-laki untuk memilih istri berdasarkan pemahaman agamanya (al-‘Asqalany, 1424 H.). Sebab ada ungkapan, ibu merupakan madrasatul ula (sekolah pertama) bagi anak.
Meski perawatan dan pendidikan anak yang dibebankan sepenuhnya pada istri bukanlah sesuatu ideal dalam kontruksi sosial budaya berbasis keadilan gender, namun haltersebut bisa menjadi peluang bagi kaum ibu untuk menyiapkan generasi yang berwawasan keadilan gender. Hal tersebut bisa dilakukan dengan mendidik anak sedini mungkin tentang pemahaman terhadap keadilan gender, termasuk bagi anak laki-laki yang nanti saat dewasa akan menjadi suami dan memiliki peran-peran vital lain dalam masyarakat. Dalam khazanah Qawaid al-Fiqh (kaidah-kaidah hukum Islam) terdapat kaidah: ma la yudraku kulluhu la yutraku kulluhu (sesuatu yang tidak bisa ditemui seluruhnya, tidak ditinggalkan seluruhnya).
Bagaimana peran ibu pada upaya pendidikan berbasis keadilan gender dalam keluarga muslim? Pertama, para ibu mesti memiliki wawasan keadilan gender terlebih dahulu, termasuk dalam hal interpretasi pada ajaran agama yang tidak bias gender. Para ibu disarankan membaca atau mendengarkan ceramah para ulama (baik perempuan maupun laki-laki) yang memang punya kompetensi dan komitmen yang besar dalam menjawab anggapan bias gender dalam teks-teks sumber primer dalam Islam, yakni Al-Qur’an, Hadits Nabi Muhammad SAW, dan produk hukum dari ulama’-ulama’ fikih.
Para ibu maupun calon ibu dari kalangan perempuan muslim bisa belajar banyak mengenai hal ini pada ulama’-ulama’ seperti Prof. Huzaimah T Yanggo, Dr. BadriyahFayumi, Lc, MA, Dr. Hj. Faizah Sibromalisi, KH. Husein Muhammad, Faqihuddin Abdul Qadir, KH. Abd. Moqsith Ghazali, KH. Imam Nakhai, KH. Marzuki Wahid, dan sebagainya(Mardiasih, 2019).
Dengan memiliki pemahaman yang cukup dalam menjawab intrepetasi pada ajaran agama yang dianggap bias gender, para ibu bisa mengajari anaknya mengenai hal ini, agar anak laki-lakinya tidak bertindak semena-mena atas nama agama terhadap istri atau kaum perempuan nantinya, serta anak perempuan juga tidak merasa rendah diri dengan intrepetasiatas agama tersebut.
Kedua, para ibu mesti mendorong suaminya untuk memberikan kesempatan dan keluasan akses peningkatan partisipasi anak perempuan dalam pendidikan. Para ibu mesti meyakinkan suaminya untuk percaya pada anak perempuan dalam meraih pendidikan setinggi-tingginya. Tidak relevan lagi kekhawatiran terhadap anak perempuan dalam menimba ilmu agama di pesantren-pesantren, maupun universitas-universitas ternama di seluruh penjuru dunia. Teknologi memudahkan para orang tua mengawasi anak-anak mereka dimanapun.
Ketiga, para ibu mesti menciptakan dan mengembangkan metode mendidik anak yang peka gender. Misalnya, dengan tidak hanya anak perempuan yang diajak membantu pekerjaan domestik dalam rumah tangga. Ajarkan para anak laki-laki juga untuk membantu menyapu dan mengepel lantai, mencuci sendiri pakaianya, dan membantu ibunya memasak, selain selama ini biasanya pekerjaan ini dibebankan pada anak perempuan. Para anak perempuan juga didorong untuk memiliki kompetensi yang bermanfaat dalam kehidupanya, seperti kemampuan design, berwirausaha secara online, dan sebagainya, dengan dibantu saudara laki-lakinya yang biasanya memiliki ketrampilan ini.
Keempat, para ibu mesti mendorong suaminya bersama dirinya untuk memberikan keteladanan keadilan gender bagi anak-anaknya, sebagai upaya perubahan budaya yang egaliter secara sporadis (Rohmah & Ulinnuha, 2014). Misalnya, memperlihatkan kepada anak dalam bagaimana keduanya bekerjasama untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari dan merawat rumahnya. Juga dengan memperlihatkan, bahwa penentuan keputusan keluarga dilakukan dengan kesepakatan keduanya, apalagi ditambah adanya partisipasi dari anak dalam penentuan keputusan keluarga tersebut.
Dengan mendayagunakan peran-peran tersebut dalam ruang kosong yang ditinggalkan kontruksi sosial lama yang kurang ideal dalam keadilan gender tersebut, para ibu diharapkan mampu menciptakan generasi baru dalam lingkungan Islam yang berbasis keadilan gender.
Wallahu a’lam bish showab.
al-‘Asqalany, I. H. (1424 H.). Bulugh al-Maram min Adillat al-Ahkam. Riyadh: Dar al-Falaq.
Fadli. (2020). Pendidikan Keluarga Berbasis Gender Perspektif Pendidikan Agama Islam. Jurnal Keislaman: Vol. I No. 1.
Mardiasih, K. (2019). Muslimah yang Diperdebatkan.Yogyakarta: Buku Mojok.
Odenheimer, M. (2004, July 7). A Friend of Israel in The Islamic World. Retrieved from Haaretz: http://www.haaretz.com/1.4751284
Primastika, W. (2019, July 22). Pelecehan Bukan Akibat Pakaian; Berbaju Longgar & Berhijab pun Kena. Retrieved from Tirto.
Rohmah, & Ulinnuha. (2014). Relasi Gender dan Pendidikan Islam . Jurnal Pendidikan Islam: Vol. III No. 2.
Suwarno. (1992). Pengantar Umum Pendidikan. Jakarta: Rineka Cipta.
Zuhairini. (1981). Metodik Khusus Pendidikan Agama.Surabaya: Usaha Nasional.