Jalanhijrah.com – Ramadhan merupakan bulan yang dinantikan umat Islam dengan segudang kelebihan dan keistimewaan bulan tersebut. Sebelum itu penentuan kapan awal Ramadhan menjadi hal penting untuk focus diri memuliakan bulan tersebut. Negeri kita ini sejak dulu terkait penentuan awal Ramadhan termasuk Syawal dan Zulhijjah masih terjadi perbedaan pendapat.Terkait mengetahui kapan kita mulai berpuasa Ramadhan dan kapan kita harus mengakhirinya (berhari raya), pada dasarnya Rasulullah SAW telah memberikan tuntunan sebagaimana disebut dalam beberapa hadist yang mejadi pegangan ulama, diantaranya:
Pertama, Hadis yang memerintahkan memulai dan mengakhiri puasa Ramadan ketika telah melihat hilal, antara lain sabda Nabi saw, :Apabila kamu melihat hilal berpuasalah, dan apabila kamu melihatnya beridulfitrilah! Jika Bulan terhalang oleh awan terhadapmu, maka estimasikanlah [diriwayatkan oleh al-Bukhari, dan lafal di atas adalah lafalnya, dan diriwayatkan pula oleh Muslim].Secara harfiah hadis ini memerintahkan agar memulai dan mengakhiri puasa Ramadan dengan rukyat (terlihatnya hilal), dan bilamana cuaca berawan sehingga tidak dapat melihat hilal, maka hendaklah dibuat estimasi (perkiraan/perhitungan).
Kedua, Hadis yang memerintahkan memaksimalkan umur bulan ketika cuaca berawan atau mendung. Bunyinya: “Berpuasalah kamu karena melihat hilal dan beridulfitrilah karena melihat hilal pula; jika Bulan terhalang oleh awan terhadapmu, maka genapkanlah bilangan bulan Syakban tiga puluh hari [HR. Bukhari dan Muslim].Ketiga, Hadis yang melarang berpuasa Ramadan dan beridulfitri sebelum melihat hilal,: Janganlah kamu berpuasa sebelum melihat hilal dan janganlah kamu beridul fitri sebelum melihat hilal; jika Bulan terhalang oleh awan terhadapmu, maka estimasikanlah” [HR.Bukhari dan Muslim].
Secara harfiah hadis ini melarang memulai dan mengakhiri puasa Ramadan sebelum terlihatnya hilal, dan bilamana cuaca berawan sehingga tidak dapat melihat hilal, maka hendaklah dibuat estimasi (perkiraan atau perhitungan).
Terkait dengan hadist di atas, dalam realitanya pemahaman hadis itu ada perbedaan interpretasi. Ada yang memahami “rukyat” harus dengan benar-benar melihat dan ada yang memahami cukup dengan memperhitungkan (menghisab). Bahkan, dalam dua pemahaman besar tersebut terdapat perbedaan pemahaman. Memahami hal ini dapat disimpulkan secara garis besarnya ada dua metode yang digunakan dalam menentukan masuknya bulan Qamariah.
Metode pertama, adalah metode rukyat, yaitu berupa kegiatan melakukan observasi langsung terhadap hilal (bulan sabit) pada sore hari ke-29 (malam ke-30) bulan berjalan, pada saat matahari terbenam. Apabila di ufuk barat, di sekitar matahari terbenam, hilal bulan baru dapat dilihat, maka malam itu dan keesokan harinya dinyatakan sebagai tanggal 1 bulan baru. Akan tetapi apabila hilal pada sore itu tidak terlihat, maka malam itu dan keesokan harinya dinyatakan sebagai hari ke-30 bulan berjalan, dan awal bulan baru ditetapkan lusa.
Metode atau “mazhab” rukyat juga masih berbeda pendapat tentang macam rukyat itu sendiri. Mereka memperdebatkan apakah rukyat yang sah itu hanyalah rukyat yang dilakukan dengan mata telanjang saja, atau boleh juga rukyat dengan menggunakan alat optik semisal teropong. Kemudian dipermasalahkan juga apakah rukyat harus terjadi dari daratan, sehingga rukyat yang terjadi dari lautan tidak sah? Begitu pula diperdebatkan apakah rukyat hanya boleh dilakukan dari permukaan bumi ataukah bisa juga rukyat melalui satelit?
Metode kedua, Hisab. Aliran atau mazhab dengan menggunakan Metode kedua untuk menentukan awal bulan kamariah adalah metode hisab, yaitu perhitungan astronomis terhadap posisi Bulan sore hari pada hari terjadinya konjungsi (ijtimak) Bulan dan matahari. Terdapat beragam jenis hisab seperti hisab wujudul hilal, hisab imkanu rukyat, hisab ijtimak sebelum matahari terbenam, hisab ijtimak sebelum fajar, dan lain sebagainya.Di lingkungan Muhammadiyah digunakan apa yang disebut dengan hisab wujudul hilal. Hisab wujudul hilal adalah metode menetapkan awal bulan baru yang menegaskan bahwa bulan kamariah baru dimulai apabila telah terpenuhi tiga para meter (kriteria), yaitu:
Metode kedua, Hisab. Aliran atau mazhab dengan menggunakan Metode kedua untuk menentukan awal bulan kamariah adalah metode hisab, yaitu perhitungan astronomis terhadap posisi Bulan sore hari pada hari terjadinya konjungsi (ijtimak) Bulan dan matahari. Terdapat beragam jenis hisab seperti hisab wujudul hilal, hisab imkanu rukyat, hisab ijtimak sebelum matahari terbenam, hisab ijtimak sebelum fajar, dan lain sebagainya.Di lingkungan Muhammadiyah digunakan apa yang disebut dengan hisab wujudul hilal. Hisab wujudul hilal adalah metode menetapkan awal bulan baru yang menegaskan bahwa bulan kamariah baru dimulai apabila telah terpenuhi tiga para meter (kriteria), yaitu:
pertama, telah terjadi konjungsi atau ijtimak, kedua, konjungsi (ijtimak) itu terjadi sebelum matahari terbenam, ketiga, pada saat matahari terbenam Bulan berada di atas ufuk.
Penggunaan metode hisab oleh Muhammadiyah didasarkan atas berbagai alasan, baik syar’i maupun astronomis, yang antara lain sebagai berikut: pertama, semangat al-Quran adalah penggunaan hisab. Dalam surat ar-Rahman ayat 5 Allah berfirman,: “Matahari dan Bulan beredar menurut perhitungan”[55: 5].
Berdasarkan ayat ini menegaskan bahwa matahari dan Bulan beredar dengan hukum yang pasti dan oleh karenanya dapat dihitung dan diprediksi. Ayat ini tidak sekedar memberi informasi, tetapi juga mengandung dorongan untuk melakukan perhitungan gerak matahari dan Bulan karena banyak kegunaannya. Di antara kegunaan perhitungan gerak Bulan dan matahari itu, sebagaimana dijelaskan dalam ayat 5 dari surat Yunus, adalah untuk mengetahui bilangan tahun dan perhitungan waktu. Ayat 5 surat Yunus dimaksud berbunyi,: “Dia-lah yang menjadikan matahari bersinar dan Bulan bercahaya dan ditetapkan-Nya bagi Bulan itu manzilah-manzilah, supaya kamu mengetahui bilangan tahun dan perhitungan (waktu). Allah tidak menciptakan yang demikian itu melainkan dengan hak. Dia menjelaskan tanda-tanda (kebesaran-Nya) kepada orang-orang yang mengetahui” [QS. 10: 5].
Tanpa menyampingkan ulama lainnya diluar Muhammadiyah meskipun penulis sendiri NU da Aswaja tulen, dalam kajian mencoba menguraikan pendapat ulama awal Ramadhan atau lebaran dengan hisab, sebagian ulama, meliputi Ibnu Suraij, Taqiyyuddin al-Subki, Mutharrif bin Abdullah dan Muhammad bin Muqatil, menyatakan bahwa awal puasa dapat ditetapkan dengan metode hisab (perhitungan untuk menentukan posisi hilal). Mereka berpedoman pada firman Allah subhanahu wa ta’ala dan Hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Allah berfirman dalam surat Yunus ayat 5: “Dialah yang menjadikan matahari bersinar dan bulan bercahaya, dan Dialah yang menetapkan tempat-tempat orbitnya, agar kamu mengetahui bilangan tahun, dan perhitungan (waktu).” Rasul shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Jika kalian melihat hilal (hilal Ramadhan) maka berpuasalah, dan jika kalian melihatnya (hilal Syawwal) maka berbukalah. Jika kalian terhalang (dari melihatnya) maka perkirakanlah ia.”
Ayat di atas menerangkan bahwa tujuan penciptaan sinar matahari dan cahaya bulan serta penetapan tempat orbit keduanya adalah agar manusia mengetahui bilangan tahun dan perhitungan waktu. Artinya, Allah subhanahu wa ta’ala mensyariatkan kepada manusia agar menggunakan hisab dalam menentukan awal dan akhir bulan Hijriyah. Sedangkan poin utama dari hadits di atas adalah kata “Faqdurû lah”. Menurut mereka, arti kata tersebut adalah perkirakanlah dengan menggunakan hitungan (hisab). Dari kedua pendapat di atas, tampaknya pendapat kelompok pertama yang menyatakan bahwa awal Ramadhan hanya bisa ditetapkan dengan rukyat dan istikmal merupakan pendapat yang sangat kuat, karena dalil-dalil yang mereka kemukakan sangat jelas dan tegas menyatakan hal tersebut. (Husnul Haq, NU Online,2018)
Beranjak dari paparan di atas, era millennial seperti saat ini seiring dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi terutama dalam bidang ilmu astronomi, peran hisab sangatlah urgen dalam mendukung hasil rukyat. Apalagi, hisab yang didukung dengan alat modern memiliki akurasi yang sangat tinggi.). Terlepas dari itu penentuan awal Ramadhan dan lebaran sudah menjadi kebiasaan adanya perbedaan namun mari kita hargai perbedaan apakah ikut “mazhab” hisab atau mazhab rukyat atau metode ala tarekat Naqsyabandiyah Padang dan Syatariayah Abu Peuleukueng Nagan Raya Aceh. Terlepas dari itu hemat penulis, sebagai warga Negara yang baik bahkan “ittiba’ kepada beberapa ulama besar dan kharismatik di nusantara termasuk Aceh, mereka lebih condrong ikut sesuai dengan pengumuman pemerintah. Sekali lagi mari hargai perbedaan dan kita sambut syahrul Mubarak dengan ibadah.
Wallahu Muwaffiq Ila Aqwamith Thariq
Tgk. Helmi Abu Bakar El-Lamkawi Guru Dayah MUDI Mesjid Raya Samalanga dan Dosen IAI Al-Aziziyah Samalanga, Bireuen dan Ketua PC Ansor Pidie Jaya, Aceh