Beberapa ratus tahun yang lalu sampai sekarang tasawwuf dan ahli sufi menjadi sebuah topik perdebatan di kalangan para cendekiawan muslim. Mereka membeda-bedakan antara tasawwuf dan fikih. Sehingga kadang sampai ada yang mencela tasawwuf karena dianggap menyimpang dari ajaran Islam yang murni, seperti berdzikir bersama yang dianggap merupakan bid’ah.

Sebenarnya perbedaan yang terjadi itu dikarenakan beberapa hal prinsip ideologi mereka masing-masing dalam menyimpulkan sebuah hukum. Padahal menurut Imam Ghazali, fikih sejatinya adalah tasawwuf. Mungkin karena pendapat ini lah Imam Ghazali Menyusun kitab-kitab fikih dipadukan dengan tasawwuf. Seperti halnya juga Syaikh Zainuddin bin Ali al-Malibari yang akhirnya memutuskan untuk menyusun nadzam  (syair) yang berisi tentang cara menempuh jalan tasawwuf yang notabene dia adalah ahli fikih.

Imam Ghazali berkata: “Pada mulanya, di zaman generasi pertama, nama “fikih” itu digunakan untuk menyebut pengetahuan tentang jalan akhirat, pengetahuan tentang detail-detail penyakit yang menghinggapi hati dan hal-hal yang merusak amal, usaha untuk mengetahui keremehtemehan dunia, serta keinginan untuk mendapatkan nikmat akhirat yang disebutkan dalam firman Allah :

فَلا تَعْلَمُ نَفْسٌ مَا أُخْفِيَ لَهُمْ مِنْ قُرَةِ أَعْيُن

Artinya : “tidak ada seorang yang mengetahui apa yang disembunyikan untuk mereka sebagai penyejuk mata

Dan firman Allah dalam hadis qudsi:

أَعْدَدْتُ لِعِبَادِي الصَّالِحِيْنَ مَالَا عَينٌ رَأَتْ وَلَا أذُنٌ سَمِعَتْ وَلَا خَطَرَ عَلَى قَلْبِ بَشَرٍ

Baca Juga  Inilah Hukum Transplantasi Organ Babi pada Manusia Dalam Islam

Artinya :“telah kusiapkan untuk hamba-hambaku yang saleh, hal yang belum pernah dilihat oleh mata, belum didengar oleh telinga dan belum pernah terlintas dalam benak hati manusia”

Fikih dulunya seperti itu dan mengenai berbagai amalan-amalan hati yang lain. Hanya saja cendekiawan ilmu lahiriah mempersempit fikih sebagai hukum-hukum yang dijelaskan dalam bidang fikih sekarang kita kenal (seperti bersuci, puasa, transaksi jual beli dan lain-lain).

Padahal firman Allah swt.  selalu menunjukkan padamu tentang fikih yang sebenarnya dalam al-Quran:

لِيَتَفَقَّهُوا فِي الدِّينِ وَلِيُنْذِرُوا قَوْمَهُمْ إِذَا رَجَعُوا إِلَيْهِمْ

Artinya : Agar mereka dapat memahami agama (berfikih dalam agama) dan memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka kembali kepada mereka”

Sedangkan peringatan dan ancaman itu adalah sesuatu yang berhubungan dengan perbaikan hati dan kekonsistenannya. Fikih di situ adalah yang bisa menyebabkan sucinya jiwa dan bersihnya jiwa bukan tentang transaksi salam, ijarah dan soal sumpah. Karena peringatan dan acaman tidak bisa terwujud dengan transaksi-transaksi tersebut.

Imam Ghazali seakan ingin menjelaskan bahwa dalam hidup kita ini, bukan hanya anggota tubuh kita yang berfikih tapi hati kita juga butuh fikih. Karena jika hati rusak maka anggota tubuh kita juga rusak. Merujuk pada penggelan hadis Nabi Muhammad saw.:

ألا وإنَّ في الجَسَدِ مُضْغَةً، إذا صَلَحَتْ، صَلَحَ الجَسَدُ كُلُّهُ، وإذا فَسَدَتْ، فَسَدَ الجَسَدُ كُلُّهُ، ألا وهي القَلْبُ

Baca Juga  FKUB Kediri Sosialisasikan Moderasi Beragama untuk Tangkal Radikalisme

Artinya : “Ingatlah! Di dalam jasad terdapat sebuah gumpalan yang jika gumpalan itu dalam kondisi baik (bagus) maka seluruh jasad akan baik. Namun jika ia rusak maka seluruh jasad akan rusak. Ingatlah! Gumpalan itu adalah kalbu.”

Oleh karena itu kita dianjurkan berfikih secara total, bukan hanya formalitas ritual saja tapi juga hati kita juga ikut berfikih. Atau hanya berfikih hati saja tanpa fikih jasmani (ritual ibadah). Mungkin perbedaan pendapat cendekiawan muslim itu sebenarnya muncul karena hanya memilih salah satu dalam berfikih.

Wallahu a’lam.

BAbout M. Khoir

By Redaksi Jalan Hijrah

Jalanhijrah.com adalah platform media edukasi dan informasi keislaman dan keindonesiaan yang berasaskan pada nilai-nilai moderasi dan kontranarasi.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *