Sebagian orang mengalami aktivitas padat. Misalnya karena urusan bisnis, tugas negara, tugas kantor dan sebagainya. Kewajiban tersebut harus dijalankan sekalipun pada hari Jum’at. Bagi umat Islam, melakukan perjalanan pada hari Jum’at hukumnya haram berdasarkan hadits Nabi.
“Barang siapa melakukan perjalanan di hari Jum’at, malaikat mendoakan buruk kepadanya agar tidak mendapatkan teman di perjalanan”. (HR. Daruquthni).
Hadits di atas secara sharih melarang umat Islam berpergian pada hari Jum’at. Para ulama fikih kemudian merumuskan hukum, larangan tersebut terhitung sejak terbit fajar karena sejak saat itu seseorang telah terikat akan kewajiban shalat Jum’at, sebagaimana dikatakan oleh Zainuddin al Malibari. Pendapat lain mengatakan, larangan bepergian pada hari Jum’at apabila dilakukan setelah zawal (masuk waktu dhuhur).
Termaktub dalam Hasyiyah al Qalyubi (Maktabah Dar Ihya al Arabiyyah: 1/312), bagi seseorang yang wajib melaksanakan shalat Jum’at tidak boleh melakukan perjalanan pada hari Jum’at kecuali ada dugaan kuat bisa mengerjakan shalat Jum’at di tengah perjalanan. Namun, menurut Imam Rafi’i, boleh apabila perjalanan tersebut dalam rangka melaksanakan ibadah wajib atau sunnah.
Di dalam kitab Fathul Mu’in Hamisy I’anah al Thalibin (2/96), seseorang yang statusnya wajib shalat Jum’at haram melakukan perjalanan, baik perjalanan wajib atau sunnah, setelah terbit fajar pada hari Jum’at yang menyebabkan ia meninggalkan kewajiban shalat Jum’at, sekalipun ia tidak mengesahkannya. Misalnya, ada dugaan kuat dirinya tidak bisa melaksanakan shalat Jum’at di tengah perjalanan atau di tempat tujuan, cecuali bilamana dirinya akan ditimpa mudharat apabila tidak melakukan perjalanan tersebut, seperti tertinggal dari rombongan. Dalam kondisi seperti itu boleh melakukan perjalanan sekalipun telah masuk waktu dhuhur. Dengan catatan, perjalanan tersebut bukan perjalanan maksiat.
Sampai disini bisa disimpulkan, seseorang yang statusnya wajib shalat boleh melakukan perjalanan di hari Jum’at setelah terbitnya fajar dengan dua syarat. Pertama, kalau yakin dirinya bisa mengerjakan shalat Jum’at di tengah perjalanan atau di tempat tujuan. Kedua, bila tidak melakukan perjalanan ada mudharat yang akan menimpa dirinya, seperti tertinggal dari rombongan dan perjalanan tersebut bukan perjalanan maksiat.
Kontekstualisasi Hukum Bepergian pada Hari Jum’at
Rasulullah melarang bepergian pada hari Jum’at, sebab pada masa itu masjid jumlahnya sangat sedikit. Besar kemungkinan seseorang yang melakukan perjalanan pada hari Jum’at tidak menemukan masjid di perjalanan atau tempat tujuan.
Namun, di era sekarang, masjid dengan mudahnya bisa ditemukan. Sepanjang perjalanan banyak dijumpai masjid di tepi jalan. Sehingga, tidak ada kekhawatiran tidak bisa melaksanakan shalat Jum’at di perjalanan atau di tempat tujuan.
Dengan demikian, alasan dari keharaman bepergian atau melakukan perjalanan di hari Jum’at dengan sendirinya hilang. Di berbagai tempat di Indonesia, seseorang dengan sangat mudah menemukan masjid di sepanjang jalan. Tidak ada kekhawatiran di era sekarang seseorang tidak bisa melaksanakan shalat Jum’at jika melakukan perjalanan di hari Jum’at. Apalagi di perkotaan di mana-mana masjid sangat mudah ditemukan.
Kalau begitu, apakah hadits di atas tidak relevan dengan zaman saat ini? Tentu tidak. Bisa jadi di beberapa daerah, terutama di desa-desa terpencil, masjid masih jarang dan jaraknya berjauhan. Bagi mereka yang tinggal di daerah tersebut haram melakukan perjalanan karena sangat mungkin tidak bisa melaksanakan shalat Jum’at di perjalanan atau di tempat tujuan. Karenanya, haram melakukan perjalanan di hari Jum’at, kecuali karena dua faktor yang telah dijelaskan di awal.