Pemerintah Memberikan Jaminan Kemerdekaan Beragama: Sudahkah Terpenuhi?

Jalanhijrah.com- Sebuah potongan video Wali kota Cilegon, Helldy Agustian dan Wakil Wali Kota Sanuji Pentamarta, ikut menandatangani penolakanrencana pendirian Gereja HKBP Maranatha di Cikuasa, Gerem, kota Cilegon, pada hari Rabu (7/09/2022), di hadapan massa yang atas nama Komite Penyelamat Kearifan Lokal Kota Cilegon viral di media sosial. Video tersebut mendapatkan banyak gugatan dari netizen karena menyayangkan sikap pemerintah yang tidak berpihak kepada minoritas.

Kalau melihat tindakan diksriminatif yang terjadi di Kota Cilegon, sebetulnya bukan hanya sekarang saja. Sejarah panjang tindakan diskriminatif di Kota Cilegon sudah pernah dilakukan sebelumnya. pemerintah Kota Cilegon pernah melakukan tindakan diskriminatif sudah 4 kali menolak pengajuan izin Gereja HKPB Maranatha sejak tahun 2006 dan sudah 5 kali menolak pengajuan izin Gereja Baptis Indonesia Cilegon sejak tahun 1995 (Gusdurian.net).

Sangat kesal sebenarnya ketika melihat aparat negara tidak berpihak kepada semua masyarakatnya. Apalagi sebagai warga negara minoritas di tempat tersebut, Posisi umat Kristen, tidak mendapatkan jaminan atas haknya sebagai warga negara karena tidak bisa melakukan ibadah dengan aman dan tenang. Sudahkah negara ini merdeka, sementara ada kelompok masyarakat lain belum memperoleh haknya sebagai warga negara?

Sudahkah kita melakukan kewajiban sebagai warga negara?

Pernahkah kita membayangkan sebagai pihak minoritas dan tidak diberi ruang untuk beragama secara komperehensif? Belum lagi dengan sikap pemerintah yang ternyata berpihak kepada organisasi masyarakat yang mayoritas tersebut. Bayangkan saja kalau kita tidak bisa mendirikan masjid dan ditolak oleh semua masyarakat sekitar. Salahkah agama kita di mata sosial sehingga tidak bisa menjalankan ibadah dengan baik. Barangkali pikiran semacam itu tidak pernah terlintas dalam benak kita karena hidup sebagai mayoritas, memiliki otoritas penuh dalam menjalankan kehidupan beragama sebagaimana mestinya.

Baca Juga  Membangun Masyarakat Wasatiah yang Anti-Radikalisme

Sebagai warga negara yang hidup multikultural, menjadi hal wajar apabila hidup di tengah keberagaman. Setiap orang ingin mendapatkan hak untuk beragama dengan damai dan menjalankan ibadahnya sesuai dengan kepercayaannya. Sikap yang perlu dikedepankan adalah menerima segala perbedaan yang tercipta dari di masyarakat. Untuk menciptakan kerukunan umat beragama, sikap yang harus ditampilkan adalah mengedepankan kesamaan tiap individu dibandingkan dengan melihat perbedaan yang ada. Selain itu, tidak boleh ada sikap etnosentris, serta fanatisme dan eksklusif. Kerja sama dengan umat beragama lain perlu disokong dengan open mindedoleh seluruh pemeluk agama. Kasus yang terjadi di Kota Cilegon, merupakan bukti tidak adanya kekompakan yang dimiliki oleh masyarakat untuk menerima perbedaan.

Sebenarnya, penolakan pendirian rumah ibadah bukanlah sebuah fenomena hal baru dalam kehidupan keberagamaan di Indonesia. Hal itu juga membuktikan keberadaan masyarakat di suatu wilayah, belum open mindedterhadap perbedaan yang ada. Padahal, partisipasi masyarakat sangat diperlukan untuk menciptakan persatuan dan kesatuan umat beragama.

Pemerintah harusnya mementingkan kemashlahatan, bukan kepada satu pihak

Sangat disayangkan, adanya aksi penolakan dari hampir seluruh elemen masyarakat, seperti halnya kelompok masyartakat dan organisasi setempat diafirmasi oleh pemerintah. Hal ini dibuktikan oleh pemerintah dalam pernyataan yang berupa tulisan, yakni:

“Terkait dengan penandatanganan bersama yang dilakukan pada hari Rabu tanggal 7 September 2022, perlu disampaikan bahwa hal tersebut adalah memenuhi keinginan masyarakat Kota Cilegon yang terdiri dari para ulama, tokoh masyarakat, tokoh pemuda dan organisasi masyarat, kata Helldy melalui keterangan tertulis.

Baca Juga  Membubarkan ACT, Memutus Mata Rantai Khilafahisme

Aksi yang dilakukan oleh pemerintah tersebut menciderai peran negara yang seharusnya menjamin kebebasan beragama bagi setiap warganya. Sebagaimana yang tertuang dalam padal 29 UUD NKRI yang secara tegas menyatakan “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaan itu.”

Terlepas dari persoalan adiministrasi yang bermasalah dari oleh pihak gereja, sikap pemerintah setempat tidak bisa dibenarkan dengan alasan apapun. Peran pemerintah seharusnya memberikan edukasi kepada masyarakat tentang penerimaan yang cukup luas terhadap perbedaan yang tercipta.

Egoisme kultural yang dimiliki oleh masyarakat, dengan wujud merasa superior dibandingkan dengan yang lainnya, kemudian menganggap budaya yang dimiliki adalah budaya paling baik di antara yang lain, merupakan sikap yang perlu dinetralisir oleh pemerintah dengan memberikan edukasi dan penyadaran kepada masyarakat. Apabila pemerintah juga ikut arus terhadap pola pikir yang dimiliki oleh masyarakat dengan egoisme kultural tersebut, pemerintah bisa dinilai tidak melakukan tanggung jawabnya dengan baik karena tidak memberikan jaminan kepada warga negaranya untuk melaksanakan ibadah agama sesuai dengan kepercayaan yang dimiliki. Ke depan, pemerintah harus tegas melihat fenomena penolakan rumah ibadah. Sikap yang diambil tidak boleh memihak kepada mayoritas. Akan tetapi, melakukan negosiasi agar memperoleh penerimaan dari masyarakat, menjadi utama untuk dilakukan dibandingkan dengan mengafirmasi keinginan masyarakat mayoritas. Sebab Indonesia rumah bersama, bukan satu golongan, atau miliki agama tertentu. Wallahu a’lam

By Redaksi Jalan Hijrah

Jalanhijrah.com adalah platform media edukasi dan informasi keislaman dan keindonesiaan yang berasaskan pada nilai-nilai moderasi dan kontranarasi.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *