Jalanhijrah.com– Ada teori dalam dunia propaganda, yang mungkin akan tampak sebagai intrik cerdik tapi kejam, yaitu bahwa sang propagandis bisa membunuh musuh melalui pedang musuh dan oleh musuh itu sendiri. Jurus ini sekilas mirip playing victim yang terkenal, tapi aslinya lebih buruk dari itu. Di dalam propaganda, ada propaganda. Di dalam kontra-propaganda, ada kontra-propaganda lainnya. Dan inilah yang terjadi pada radikalisme yang hari ini tengah polemis.
Radikalisme mencuat ke jagat media sosial pasca-sambutan Jokowi pada Rapim TNI-Polri, Selasa (1/3) kemarin. Presiden mengarahkan TNI-Polri untuk mendisiplinkan para istri mereka, agar tidak mengundang penceramah radikal. Hal itu, menurut Jokowi, untuk mengantisipasi konfrontasi di kalangan militer, dan bahwa loyalitas mereka atas NKRI bersifat paten, tidak bisa ditawar. Apa pun yang telah diputuskan pemerintah, TNI-Polri harus satu komando: siap!
Namun ruang publik terlalu liar untuk memahami instruksi Jokowi, hingga berujung tuduhan-tuduhan yang nyaris semuanya out of context. Antara yang Jokowi maksudkan dengan yang masyarakat tangkap alah menciptakan kesalahpahaman. Belum lagi kesalahpahaman tersebut dipoles oleh pihak yang merasa dirugikan oleh pidato Jokowi. Sampai Kamis (3/3) kemarin, kata ‘radikal’ trending utama di Twitter. Ujung radikalisme pun semakin ambyar.
Jokowi yang semula berniat melawan propaganda radikalisme, justru terseret propaganda radikalisme yang lain. Alhasil, alih-alih meminimalisir radikalis, para radikalis justru semakin banyak. Alih-alih iklim radikal hengkang dari negeri ini, mereka malah semakin masif, dan menutupi iklim moderat sama sekali. Media sosial, misalnya, semakin kering oleh moderasi dan toleransi. Term ‘radikal’ telah dipelintir, dan justru jadi bentuk radikalisasi oleh para radikalis untuk melestarikan radikalisme itu sendiri.
Propaganda Radikalis
Maksud tulisan ini ialah bahwa term ‘radikal’ sudah keluar dari konteks saat Jokowi menisbahkannya kepada penceramah yang provokatif. Para radikalis memelintir Jokowi—juga KSAD Dudung tentunya—sehingga presiden dicemooh masyarakat karena perkataannya sendiri. Ini yag dimaksud di awal paragraf tadi, bahwa sang propagandis bisa membunuh musuh melalui pedang musuh dan oleh musuh itu sendiri. Para radikalis sebagai propagandis, dan Jokowi adalah musuh mereka.
Jokowi, mulanya, bertujuan mengonter propaganda radikalis dengan mengarahkan TNI-Polri mendisiplinkan keluarga mereka, melarang para istri mereka mengundang penceramah radikal yang berpotensi menciptakan chaosdi kalangan abdi negara. Namun kontra-propaganda Jokowi malah dituduh memecah belah umat Islam, sehingga ceramah Jokowi jadi bahan baru propaganda para radikalis. Di media sosial, mereka memutar-balikkan fakta.
Dan lihat dampak buruknya: pemerintah tertuduh menebarkan propaganda. Yang semula propaganda malah dituduh propaganda, sementara para radikalis yang selama ini menyebarkan propaganda khilafah dan anti-NKRI malah pura-pura jadi korban. Mereka sangat cerdik, bukan? Bahkan jika tulisan ini dibaca oleh mereka, para radikalis, pasti juga dianggap propaganda memecah umat Islam. Terus berputar dalam siklus tersebut hingga si propagandis sejati tujuannya tergapai.
Namun demikian, masing-masing pihak jadi belajar melalui ini, bahwa propaganda radikalisme itu tidak mudah dilawan. Yang melawan boleh jadi akan dianggap propaganda, sedangkan sang propgandis dianggap pahlawan. Moderasi Islam pun bisa jadi tidak laku karena tertuduh propaganda di atas propaganda, yang lestari dari kontestasi adalah radikalisme itu sendiri.
Jokowi dan Isu Radikal
Isu radikal jelas tidak hanya ada di era Jokowi. Radikalisme bahkan setua NKRI itu sendiri, seperti gerakan radikal NII Kartosoewirjo, yang secara radikal ingin mengganti NKRI menjadi Darul Islam. Namun, mengapa Jokowi paling keras tertuduh macam-macam daripada presiden sebelumnya? Jawabannya, karena di era Jokowi para radikalis diganyang dari segala arah. Maka tidak heran, ia dan pemerintahannya juga diserang propaganda dari segala arah.
Semua itu tidak lain merupakan bagian dari upaya melestarikan radikalisme. Ia yang paling gencar memerangi, juga akan gencar diperangi. Ia yang konsekuen dengan kontra-radikalisasi, akan terkena konsekuensi yang setimpal dari kontra-radikalnya. Karenanya, jangan menganggap para radikalis sebagai orang bodoh yang mudah dilawan. Taruhan kontra-radikal adalah dicap buruk, dan cap tersebut merupakan efek buruk yang para radikalis sendiri ciptakan.
Jokowi mempertaruhkan nama baiknya dalam kontra-radikal, dan sekarang ia dianggap pemecah-belah umat Islam. Padahal siapa pemecah-umat Islam yang asli, bukankah pemecah-belah itu adalah mereka yang sangat bernafsu mendirikan khilafah dan merombak demokrasi? Isu radikal tidak aka nada, kecuali radikalisme telah meracuni publik. Melawannya adalah wajib, dan meresponsnya dengan mencemooh pelaku kontra-radikal adalah bagian dari kesuksesan propaganda para radikalis.
Lalu apa yang mesti dilakukan masyarakat sekarang? Hanya satu solusi: kesadaran bersama. Sadar bahwa di tengah mereka ada propaganda besar, yaitu propaganda radikal menggulingkan pemerintah dan mengganti sistem pemerintahan. Minimal jika tidak bisa terlibat upaya melawan radikalisme, alias terlibat kontra-radikalisasi, usahakan jangan memperkeruh keadaan dan menambah propaganda. Radikal tetaplah radikal, dan membelanya adalah bagian dari upaya melestarikannya. Naif.
Wallahu A’lam bi ash-Shawab…
Ahmad Khoiri https://www.harakatuna.com/pelintiran-radikal-oleh-para-radikalis-sebagai-bentuk-radikalisasi-untuk-melestarikan-radikalisme.html