Jalanhijrah.com– Kita semua mengetahui bahwa manusia itu memiliki suatu kekuatan yang terbatas. Kekuatan yang terbatas itu seringkali menjadikan manusia memiliki rasa lelah maka dari itu manusia memerlukan istirahat. Lelah dalam hal shalat cukup mengganggu kekhusyukan shalat seorang mushalli.
Ketika badan merasakan kelelahan yang hebat kita seringkali merasakan rasa kantuk yang hebat pula. Pada umumnya, lelah kerap kali disertai rasa kantuk. Rasa kantuk yang hebat kadangkala menyerang seketika dan membuat kita tertidur secara tidak sadar.
Perlu diketahui bahwa micro sleep itu bukanlah mengantuk, namun tidur selama sekejap. Durasi waktu dalam micro sleep beragam, umumnya kurang dari 1 menit, namun jika badan terlalu berat menahan kantuk maka durasi tidur akan bertambah lama dan memasuki kondisi tidur.
Walaupun dalam sekejap, micro sleep seringkali telah masuk pada tahap tidur. Sehingga dalam konteks fiqh dikategorikan sebagai tidur bukan mengantuk.
Terdapat di berbagai literatur fiqh Syafi`i, disebutkan bahwa posisi tidur yang tidak membatalkan wudhu ialah tidur yang mutamakkin (yang mengamankan dari keluarnya hadats). Dalam hukum fiqh, ada beberapa jenis tidur yang membatalkan shalat. Mengutip dari Imam As-Syirazi dalam karyanya Al-Muhaddzab dipaparkan bahwa:
وأما النوم فينظر فيه فإن وجد منه وهو مضطجع أو مكب أو متكئ انتقض وضوؤه، وإن وجد منه وهو قاعد ومحل الحدث متمكن من الأرض فالمنصوص في الكتب أنه لا ينتقض وضوؤه.
Artinya, “Adapun tidur (dalam keadaan memiliki wudhu), maka dijelaskan sebagai berikut. Jika seseorang tertidur dalam kondisi berbaring, telungkup, atau bersandar, maka wudhunya batal.
Namun, jika orang tersebut tertidur dalam kondisi duduk dan pantatnya tetap (tidak berubah-ubah) di lantai, maka yang tertulis dalam beberapa kitab (fikih Syafii) bahwa wudunya tidak batal.”
Maka, yang menjadi poin pentingya ialah mengamankan dari keluarnya hadats. Jika micro sleep dalam keadaan duduk (yang mutamakkin) maka wudhunya tidak batal. Berbeda jika micro sleep dalam keadaan sujud maka wudhunya batal dan otomatis shalatnya batal.
Oleh Satrio Dwi Haryono (Pegiat Komunitas Dianoia peminat kajian kefilsafatan, keislaman, dan kebudayaan.)