Mengedepankan Dialog untuk Hidup di Tengah Keberagaman

Jalanhijrah.com- Mamat Al-Katiri, seorang stand-up comedy, dalam sebuah videonya, menjelaskan tentang bagaimana masalah Papua yang tak kunjung selesai akibat ketiadaan dialog untuk masyarakat Papua. Dialog ini penting agar pemerintah bisa mendengarkan, keinginan masyarakat Papua.

Meskipun demikian, Gus Dur, salah satu presiden Indonesia yang memiliki waktu sedikit pada masa jabatannya, menerapkan dialog untuk menyelesaikan konflik tersebut. bagi Gus Dur, masyarakat Papua harus diberi ruang untuk mengemukakan pendapat. Hanya dengan cara seperti itulah, pemerintah bisa mengetahui keinginan masyarakat Papua. Peran Gus Dur dalam berpihak kepada konflik Papua, dibuktikan pada masa jabatan Gus Dur menjadi presiden. Ia berperan dalam mendamaikan konflik Papua dengan cara dialog tersebut.

Dialog yang dilakukan dalam penyelesaian konflik tersebut, membuktikan bahwa, Gus Dur, dalam menyelesaikan konflik melihat seseorang sebagai manusia. Sikap humanis dan kesetaraan menjadi dasar penerapan dialog tersebut. Hal ini pula yang perlu diperhatikan bahwa, dalam setiap konflik, khususnya konflik agama yang rentan menimbulkan masalah, dialog agama diperlukan sebagai upaya penyelesaian konflik.

Mengapa dialog agama diperlukan?

Keterlibatan Gus Dur yang dikenal dengan sebutan bapak humanis tidak berhenti pada penyelesaian konflik Papua. Pada tanggal 9 November 1994 diadakan konferensi sedunia tentang agama dan kemanusiaan (World Conference on Religion and Peace) yang bertempat di Rivadel Garda, Italia Utara. Gus Dur terpilih sebagai salah satu presiden di dalamnya. Pengakuan tersebut berarti, Gus Dur tidak hanya dikenal secara nasional, melainkan internasional.

Baca Juga  Meneladani Tradisi dan Semangat Menulis KH. Hasyim Asy’ari

Dialog dalam pelaksanaanya, merupakan jalan penguatan keagamaan dan tingkat keyakinan seseorang terhadap nilai-nilai ajaran keyakinan yang ia yakini. Ketika dialog telah menjadi suatu budaya, maka paling tidak kerukunan (perdamaian) antar umat manusia khususnya antar umat beragama dapat tercapai.

Hal ini juga sejalan dengan Musdah Mulia dalam sebuah catatan sederhananya, dilansir melalui jurnal perempuan bahwa, dialog agama sangat diperlukan untuk saling menghormati dan menghargai perbedaan. Dalam dialog agama, setidaknya ada beberapa hal yang harus diperhatikan:

  1. Semua pihak harus berani jujur dan terbuka untuk menemukan titik temu agar bisa saling mengharga dan menghormati keyakinan masing-masing.
  2. Dialog agama bukan hanya sekedar face to face conversation dalam bentuk seminar, pembicara atau sejenisnya. Melainkan komunikasi yang terus menerus yang melibatkan pemikiran, ajaran, tradisi, dan kebudayaan. Sehingga pemahaman yang didapatkan sangat untuk untuk menerima ajaran orang lain hidup bersama kita.
  3. Dialog agama akan efektif apabila masing-masing orang memiliki niat tulus untuk belajar saling memahami antara yang satu dengan yang lain melalui proses berkelanjutan.
  4. Dialog agama harus meningkatkan pemahaman bukan mematahkan lawan untuk memaksa orang lain ikut ajaran kita.
  5. Dialog agama merupakan proses transformasi dari yang awalnya fanatik, konservatif, close minded beralih pada pluralis.

Dialog menyingkirkan kita dari asumsi-asumsi buruk

Sejak kecil, ketika memiliki pengalaman hidup yang homogen, kita diberikan pemahaman bahwa, orang-orang yang tidak sama dengan kita adalah tidak benar. Klaim semacam itu tentu, pernah dialami oleh setiap orang. Di satu sisi, klaim kebenaran itu wajib dimiliki oleh setiap penganut agama. Di sisi lain, justru menjadi boomerang bagi diri sendiri yang dibenturkan dalam kehidupan keberagaman.

Baca Juga  Bolehkah Menggunakan Barang Yang Terbuat Dari Kulit Binatang?

Sebab dimulai dari pemahaman itu, kita fobia mendengar orang-orang yang berbeda. Padahal, tidak kenal dan tidak pernah berjumpa dengan penganut agama yang berbeda dengan kita. Tapi, kita sudah meletakkan kebencian yang mendalam kepada orang-orang yang berbeda.

Asumsi-asumsi buruk yang sudah tertanam dalam pikiran kita, membentuk kebencian mendalam terhadap agama lain. Padahal, kehidupan yang begitu kompleks ini tidak hanya urusan tentang agama saja. Kita membutuhkan orang lain (tidak seagama dengan kita) perihal ilmu, kemampuan, dan kecerdasan akademik yang dimilikinya.

Untuk menghindari prasangka buruk, perlunya dialog untuk bisa saling mengenal dan saling memahami satu sama lain. Perbedaan tidak bis akita hindari dalam kehidupan. Kita hanya mencari bagaimana pola yang tepat untuk hidup di tengah keberagaman, salah satunya dengan melakukan dialog. Wallahu a’lam

Sumber bacaan

https://www.jurnalperempuan.org/blog/musdah-mulia-pentingnya-dialog-agama-dalam-mewujudkan-persatuan-bangsa

Wira Hadi Kusuma, DIALOG SEBAGAI KRITISISME BERAGAMA (Analisis Terhadap Kekerasan Atas Nama Agama), Fakultas Ushuluddin, Dakwah dan Adab IAIN Bengkulu

Muhammad Aqil, Nilai-Nilai Humanisme Dalam Dialog Antar Agama Perspektif Gus Dur, “jurnal Al-Adyan: Journal of Religious StudiesVolume 1, Nomor 1, Juni (2020)

 Abdurrahman Wahid, Islamku, Islam Anda, Islam Kita, ( Jakarta: The Wahid Institute, 2006).

Penulis: Muallifah

Mahasiswi Magister Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta. Bisa disapa melalui instagram @muallifah_ifa

By Redaksi Jalan Hijrah

Jalanhijrah.com adalah platform media edukasi dan informasi keislaman dan keindonesiaan yang berasaskan pada nilai-nilai moderasi dan kontranarasi.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *