Jalanhijrah.com – Terpilihnya KH Yahya Cholil Staquf atau biasa Gus Yahya sebagai Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) menggantikan Prof. Said Aqil Siradj membuat publik bertanya-tanya. Mungkin, karena Gus Yahya tidak sefamiliar Kyai Aqil. Meski begitu, Gus Yahya bukanlah politikus kemarin sore. Ia banyak memiliki pengalaman dalam dunia perpolitikan, tak terkecuali sebagai Juru Bicara Presiden saat Gus Dur menjadi Presiden Keempat.
Beberapa hal yang penting dipertanyakan: Akankah Gus Yahya meneruskan spirit nasionalisme sebagai dilakukan oleh sesepuh NU Hadratussyaikh KH. Hasyim Asy’ari? Masihkah Gus Yahya mampu menghadirkan kembali nilai-nilai perdamaian di tengah perbedaan sebagaimana dilakukan mantan Ketua PBNU Gus Dur? Begitu pula, seberapa beranikah Gus Yahya mengkritik kelompok radikal semacam wahabi, teroris, dan lain-lain seperti yang digemakan Kyai Said Aqil?
Perjuangan sesepuh dan pendahulu NU tersebut merupakan terjemahan dari nilai-nilai wasathiyah atau moderasi. Moderasi yang diperjuangkan oleh NU dibuktikan dengan, salah satunya, keterbukaan berpikir. NU tidak gampang mengkafirkan orang lain yang berbeda, baik pemikiran maupun keimanannya. Karena itu, NU hadir sebagai organisasi yang sefrekuensi dengan negara. Meski, NU sendiri adalah organisasi keagamaan orang Islam. Buktinya, keterbukaan berpikir Gus Dur, orang NU tulen, yang tidak memandang sebelah mata orang non-muslim.
Gus Yahya pun begitu. Ia termasuk sosok yang terlahir dari rahim Pesantren Raudlatut Tholibin Rembang, Jawa Tengah dan Pondok Pesantren KH Ali Maksum di Krapyak, Yogyakarta. Di pesantren ini nilai-nilai moderasi diajarkan dan dipraktikkan. Kita tahu pesantren adalah benteng negara dari paham radikal yang bersikeras melawan negara. Apresiasi negara terhadap perjuangan pesantren dibuktikan dengan kegiatan Hari Santri Nasional yang dirayakan setiap tahun.
Pendidikan pesantren yang diterima Gus Yahya akan terus membekas hingga sekarang menjabat sebagai Ketua Umum PBNU. Tidak menutup kemungkinan Gus Yahya akan meneruskan perjuangan Mbah Hasyim dalam membela negara dari penjajahan. Kalau pada masa Mbah Hasyim, penjajahan dilakukan oleh orang luar seperti Jepang dan Belanda, sehingga Mbah Hasyim mewajibkan perang melawan mereka demi menyelamatkan negara. Sekarang, di masa Gus Yahya penjajahan datang dari pribumi sendiri yang terpapar paham radikal. Sehingga, kewajiban perang di masa sekarang adalah melawan kelompok radikal.
Perjuangan sesepuh NU tersebut sebenarnya telah dilakukan oleh Gus Dur dan Kyai Said Aqil. Gus Dur tampil dengan gagasan pluralismenya, sehingga kebenaran bagi Gus Dur bukan hanya datang dari satu arah, melainkan dari berbagai arah. Tidak heran jika Gus Dur tampil membela kelompok tertentu yang diperlakukan tidak adil oleh kelompok radikal pada waktu itu. Gus Dur membela bukan lantas dipahami dengan mengikuti jalan pikirannya, tetapi lebih membela nilai-nilai kemanusiaan yang dimiliki oleh semua orang.
Sementara, Kyai Said Aqil meneruskan perjuangan sesepuh NU dengan mengkritik keras kelompok radikal yang berpotensi mengantarkan seseorang menjadi teroris, seperti wahabi dan Hizbut Tahrir (HT). Kritik Kyai Said Aqil ini dilakukan dalam berbagai cara, baik lewat tulisan maupun lewat seminar. Maka dari itu, NU semakin terlihat atas penolakannya terhadap paham radikal. Gus Yahya harus meneruskan perjuangan ini, meski pahit.
Gus Yahya termasuk pemimpin yang optimis menghadirkan kembali perjuangan sesepuh-sesepuhnya. Karena, Gus Yahya telah memiliki banyak pengalaman dalam mengkonter radikalisme dan menyemai perdamaian. Hal ini dibuktikan dengan kegemarannya menjumpai tokoh-tokoh internasional untuk berbicara tentang konsep Islam yang disalahpahami bahwa Islam itu agama teror, Islam itu identik dengan kekerasan, Islam itu memusuhi agama-agama lain dan seterusnya. Kehadiran Gus Yahya menjawab bahwa Islam tidak begitu. Islam, baginya, adalah rahmatan lil’alamin. Selamat Gus Yahya![] Shallallah ala Muhammad.