Jalanhijrah.com Jakarta – Demokrasi mestinya tidak diganggu dengan ide yang mengarah pada tindakan destruktif seperti menyebarkan paham radikalisme. Penganut tindakan destruktif harus ditindak tegas melalui instrumen hukum yang ada.
“Poin penting sebenarnya hukum kita adalah memberikan tindakan tegas terhadap pelaku dan penyebar radikalisme dan memberikan sanksi terhadapnya,” kata Direktur Eksekutif Lingkar Madani Indonesia (LIMA) Ray Rangkuti dalam diskusi virtual ‘Tantangan Radikalisme di Alam Demokrasi, Jumat, 17 Juni 2022.
Ray menuturkan sebagai negara demokrasi, Indonesia sah-sah saja memperbolehkan kehadiran organisasi yang berbasis agama. Organisasi tersebut juga sebagai sebuah wadah penyaluran aspirasi.
“Sudut pandang kita dalam organisasi berbasis agama tersebut sebenarnya tidak salah,” ujar Ray.
Namun, kata Ray, beberapa organisasi berbasis agama kerap membuat tindakan yang membuat masyarakat resah dan tak sejalan dengan alam demokrasi. Dia mencontohkan tindakan organisasi yang kini telah dilarang yakni, Front Pembela Islam (FPI) dan Hizbut Tahrir Indonesia (HTI).
“Salah satu hal yang menyebabkan dilarang adalah penganut-penganut organisasi tersebut melakukan tindakan destruktif yang dapat mengganggu masyarakat yang lain. Misal dengan cara melakukan kekerasan dan lain-lain,” ujar Ray.
Peneliti Setara Institute Cucu Sutrisno mengatakan kelompok yang tak sejalan dengan Pancasila dan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 sepantasnya ditindak tegas. Namun, tindakan hukum tersebut perlu mengedepankan hak asasi manusia (HAM).
“Perlu adanya penegakan hukum yang adil dan tentu tidak melanggar HAM,” ucap Cucu.