Jalanhijrah.com-Sekitar tiga tahun yang lalu, ketika guru saya menerangkan bab Fiqh Mua’malah, saya pernah nyeletuk berkata kepada beliau, “Ustadz, agama itu menilai bahwa korupsi itu dosa. Tapi dosa itu kan tidak tampak?” lantas guru saya berkata, “Memang dosa itu tidak tampak. Tapi akibat dari dosa itu bisa dirasakan oleh lingkungan sekitar. Korupsi itu membawa keburukan, dan keburukannya adalah ekonomi negara bisa lumpuh, yang miskin semakin miskin, yang kaya semakin kaya.” Tutur beliau.
Sejak itu, cara pandang saya terhadap agama semakin terbuka. Agama tidak melarang sesuatu melainkan sesuatu itu memang membawa madharat (bahaya) yang nyata bagi keberlangsungan hidup umat manusia. Agama tidak memisahkan antara ketetapan syariat dengan kemashlahatan umat. Peran agama dalam menjaga kemashlahatan ini -salah satunya- bisa kita potret dalam surat al- Baqarah ayat 219 di mana Rasulillah SAW ketika itu ditanya bagaimana hukum khamr yang terlanjur menjadi tradisi masyarakat Arab Jahiliyah dan sulit dihilangkan. Dari situ, al-Qur’an kemudian turun dengan gaya bahasa yang menarik, bukan dalam bentuk justifikasi keharaman secara langsung melainkan dengan kata “qul fiihima itsmun kabiirun wa manaafi’u linnas, wa itsmuhuma akbaru min naf’ihima”. Khamr (yang telah menjadi tradisi Arab Jahiliyyah) adalah sesuatu yang haram dan (memang) memberi manfaat pada manusia. Tapi dosa daripada khamr itu jauh lebih besar daripada manfaatnya. Adapun yang dimaksud ‘manfaat’ dalam ayat tersebut adalah manfaat berupa “kenikmatan, kesenangan, dan harta tanpa bersusah payah di perjudian”. Sedangkan konotasi ‘dosa’ di situ yaitu “maa yansyau ‘anhuma minal mafaasid”, yaitu sesuatu yang dapat memicu timbulnya kerusakan. (Tafsir Jalalain: Al-Baqarah ayat 219).
Potret al-Qur’an terhadap fenomena khamr ini, bisa kita gunakan dalam memandang fenomena korupsi sebagai suatu tradisi yang sama-sama buruk (sayyi’ah) dan telah mendarang daging di tengah masyarakat kita. Karenanya, upaya-upaya dalam memberantas korupsi sehingga hilang dan tak tersisa jejaknya, tidak cukup jika hanya mengandalkan kekuatan dari satu pihak saja, yakni aparatur hukum. Meski, nyatanya ada pula aparatur hukum yang justru tertangkap kong-kalingkong dengan pelaku korupsi itu sendiri. Di sinilah, santri sebagai generasi khaira ummah yang disebut oleh al-Qur’an dengan tiga perannya yakni mengajak pada kebajikan (Islam), menyuruh berbuat kebaikan (ma’ruf) dan mencegah dari perbuatan mungkar, menjadi penting untuk menguatkan kontribusinya dalam memerangi korupsi yang sudah masuk dalam kategori extraordinary crime (kejahatan luar biasa) karena dampaknya yang dapat melumpuhkan ekonomi negara-rakyat secara sistemik.
Korupsi dalam Literatur Fiqih
Dalam ilmu fiqih, istilah korupsi masuk dalam kategori sariqah (pencurian), ghulul (penggelapan), risywah (suap), ghashab (mengambil hak milik orang lain tanpa izin), ikhtilas (pencopetan/pengutilan), dan qath’uth thariq (perampokan). Khiyanat al-amanah (pengkhianatan), maksu (pungutan liar), intihab (perampasan), dan hirabah (perampokan). Tiga di antara kesepuluh tindak pidana (jarimah) itu disebut dalam al-Qur’an secara tegas, yakni ghulul, risywah, dan ghasab. Sedangkan selainnya dijelaskan oleh Rasulillah SAW di dalam berbagai haditsnya.
Menariknya, sepuluh bentuk kejahatan dalam hukum Islam tersebut, semunya terakomodir di dalam “praktik korupsi”. Seseorang yang telah melakukan tindak pidana korupsi berarti telah melakukan pencurian terhadap hak rakyat, perampokan; pencopetan; peminjaman tanpa izin pemilik; suap; dan penggelapan. Karenanya, KH. Said Aqil Siradj memandang sudah sepantasnya seorang koruptor mendapat hukuman yang berat. Bahkan bisa juga diajukan hukuman mati sebagaimana hukuman bagi para pengedar narkoba dan terorisme karena (sekali lagi) kerugian yang mereka timbulkan tidak sedikit.
Dampak Destruktif Korupsi
Akibat daripada korupsi telah berdampak secara luas, massif, sistemik, dan terstruktur, terutama pada: 1) penurunan kualitas hidup dan kehidupan umat manusia, 2) perusakan nilai-nilai kemanusiaan, 3) kehancuran sendi-sendi ketatanegaraan dan kehidupan demokrasi, 4) penurunan kualitas pelayanan publik, 5) pengabaian hak-hak dasar warga negara, 6) perusakan sendi-sendi prinsipal dari sistem pengelolaan keuangan negara, 7) terjadinya pemerintahan boneka, 8) peningkatan kesenjangan sosial, 9) hilangnya kepercayaan investor, 10) lunturnya etos kerja, dan 11) terjadinya degradasi moral keagamaan. (Lakpesdam-PBNU : 2017)
Peran Santri dalam Menyebarkan Wawasan Antikorupsi pada Masyarakat
Peran santri dalam berjihad melawan korupsi merupaka peran yang esensial. Selain sebagai bentuk partisipasi terhadap pembangunan negara dan meneruskan perjuangan para Ulama’ dalam menciptakan baldatun thaayyibun wa rabbun ghafuurn, peran santri ini dapat menjadi antitesis atas pendapat sebagian kelompok bahwa upaya-upaya perlawanan terhadap korupsi tidak ada sangkut pautnya dengan agama, sebab agama hanya mengatur tentang ritus-ritus peribadatan kepada Tuhan semata. Justru, apabila kita potret agama dengan lebih jujur, ktia akan menemukan bahwa agama memiliki peran dan tanggung jawab sosial yang lebih besar, daripada sekadar misi ketauhidan. Sebab tujuan daripada adanya agama itu sendiri adalah dar’ul mafasid muqaddamun ‘ala jalbil mashalih. Bagaimana supaya dengan adanya pemahaman agama yang baik, umat manusia dapat mencegah diri dari perbuatan-perbuatan yang dapat merusak bumi dan mengenyampingkan kemashlahatan dirinya yang lebih condong pada kebutuhan hawa nafsu.
Nahdlatul Ulama’ sebagai ormas Islam paling besar dan berpengaruh di Indonesia memiliki social capital (modal sosial) yang tidak sedikit untuk kemudian dapat menggerakkan massanya dalam memberantas korupsi. Dalam surat Keputusan Muktamar ke-33 Nahdlatul Ulama yang diadakan di Jombang, hampir seluruh muktamirin pembahas draft rekomendasi terkait ‘kasus korupsi’, tidak berselisih pendapat terhadap status hukum korupsi dan pencucian uang. Sikap tegas dan komitmen teguh NU dalam mengawal pendayagunaan amanah dan harta rakyat itu disampaikan dalam 23 poin tertulis, salah satunya yaitu poin ke-17 yang berbunyi, “Apabila koruptor tidak jera dengan berbagai hukuman, maka boleh diterapkan hukuman mati.” Dalam poin ke-7 juga disebutkan bahwa, “Uang negara pada hakekatnya adalah uang Allah SWT yang diamanatkan kepada pemerintah/negara, bukan untuk penguasa melainkan untuk di-tasharruf-kan sebesar-besarnya untuk kemaslahatan seluruh rakyat, tanpa diskriminasi apapun. Setiap rupiah dari uang pajak (juga setiap titik kekuasaan yang dibiayai dengan uang pajak) harus dipertanggungjawabkan kepada Allah (di akhirat nanti) dan dipertanggungjawabkan kepada rakyat (di dunia).
Melalui keputusan ini, seorang santri menjadi mengerti bagaimana seharusnya uang negara itu dikelola dan apa dampak buruknya jika penyelewengan terhadap uang (amanah) rakyat terjadi secara merajalela. Terlebih, tidak ada satupun dalil agama maupun Undang-Undang Negara yang menghalalkan praktik kotor tersebut. Tentu, para pendiri negara juga tidak berharap bahwa buruknya ‘praktik korupsi’ sekadar menjadi pengetahuan, melainkan diinternalisasikan (ditanamkan) ke dalam diri sehingga melahirkan sebuah pilihan sikap yang selaras dengan nilai-nilai agama sekaligus kemanusiaan.
Peran santri dalam menyebarkan paham antikorupsi ke tengah masyarakat juga sama pentingnya dengan mengajarkan tata cara ibadah kepada mereka. Sebagaimana ucapan Gus Dur, “Membiarkan terjadinya korupsi secara besar-besaran dengan menyibukkan diri pada ritus-ritus hanya akan membiarkan berlangsungnya proses pemiskinan bangsa yang semakin melaju. (Tuhan Tidak Perlu Dibela, h. 87)
Wallahua’lam. []
Achmad Abdul Aziz https://pesantren.id/jihad-santri-melawan-korupsi-11030/