Jihad Jurnalisme Santri dan Gerilya Cyber Digital

Jalanhijrah.com- Indepedensi dan idealisme pers masih perlu direkontruksi hingga hari ini. Sebab, meskipun dunia pers adalah kepentingan dan bisnis, nilai-nilai jurnalisme yang diusung kini mulai pudar secara perlahan hingga tumbang dalam pragmatisme pers dan berujung pada materialisme pers yang tidak berkesudahan. Pers kini hanya berfungsi sebagai pisau yang disalahgunakan untuk kepentingan sesaat. Idealisme dan independensi jurnalis kini sudah digerayangi oleh eksploitasi pers yang terjadi di zaman digital dan industrialisasi baru-baru ini.

Kita ketahui, afiliasi pemerintah dengan para konglomerat telah membuktikan betapa ironi sekali negeri ini dimasuki virus-virus oligarki. Meskipun, hal ini bukan fakta baru dalam sejarah, akan tetapi, segala kemungkinan dan ketegangan media akan terjadi ke depan. Pada puncaknya, pers akan menjadi alat pengalihan isu, yang berujung pada afiliasinya terhadap pemerintah atau kekuasaan, terutama gerak media digital yang semakin gencar dalam kubangan yang menakutkan pembaca dengan hoak yang bergentayangan.

Lalu, coba kita amati dengan seksama, mana ada instansi pemerintah hari ini yang tidak mempunyai media untuk meningkatkan reputasinya dalam pandangan masyarakat, bahkan hingga kalangan militer dan kepolisian—yang dikenal independen dan berpihak pada kebenaran—sudah menggandeng media untuk kepentingan mereka.

Mereka menjadikan pers sebagai selir yang sah dibawa ke mana saja. Di sinilah, masyarakat akan dibentuk menjadi manusia yang ‘buta huruf’ dalam jurnalisme, apalagi masyarakat awam dan pinggiran hanya mudah percaya hingga pudarnya daya kritis demokrasi yang telah diusung oleh negeri ini. Bahkan, media-media cetak juga akan menjelma objek baru untuk “dicabuli” independensi dan idealisme persnya.

Sampai  di sini, benarkah pers hari ini mengusung kemanusiaan, jika pengalihan isu terus merajalela. Masalah semakin meruncing ketika pers hanya menjadi air keruh yang merasuki samudera pengetahuan. Inikah perasaan kemanusiaan pers hari ini? Sebuah kerangka berpikir yang dibangun untuk membuat paradigma baru pers yang tampak gagah tetapi ternyata menjelma ‘serigala berbulu domba’.

Apakah nilai-nilai pendidikan masih tersentuh, serta kejujuran dan objektifisme, masihkah dipertahankan? Tentu saja hal ini adalah problematika yang dilematis. Jurnalis memang objektif, akurat, berimbang, tetapi terkadang ia sebenarnya membohongi dirinya sendiri.

Nurani yang dibangun masih terperangkap dalam sesuatu yang dipaksakan, didesak untuk kepentingan, dan lain sebagainya. Maka, disinilah kebenaran akan terbunuh, meskipun pada akhirnya kebenaran akan bangun dan membuktikan eksistensinya.

Baca Juga  Menuju Idulfitri: Momentum Tingkatkan Rasa Cinta NKRI

Santri Sebagai Agen Gerilya Cyber Digital

Sejarah telah mencatat bahwa serangan Barat terhadap umat Islam berawal dari dunia persnya. Mereka sering kali mendistorsi agama Islam sebagai agama yang keras, radikal, konservatif, suka poligami, dan anggapan lainnya. Dulu, Barat barang kali hanya melakukan gerakan distorsi itu melalui media cetak seperti koran dan majalah. Namun, hari ini, tantangannya berbeda: generasi bangsa menghadapi tantangan yang menegangkan melalui dunia cyber dan digital.

Bangsa Barat selalu menyebarkan propaganda agar agama Islam dinilai jelek di mata masyarakat dunia. Hal tersebut tentu tidak boleh dibiarkan begitu saja seumpama air keruh yang mengalir ke muara. Tanpa disaring, mudah menyebar ke seluruh samudra pengetahuan manusia. Apalagi sampai menjadi “gelombang bencana” dan “kejahatan intelektual” bagi hak asasi manusia.

Kasus ini tentu harus direspons dan diantisipasi oleh santri dan pemangku literasi. Di era digital, santri dan pemangku literasi adalah mereka yang bergerak dalam dunia pers karena literasi di era digital pasti selalu ada hubungan yang sangat erat dengan pers sehingga manusia akan mudah menangkap informasi dari media dengan berbagai sumber informasi yang terkadang tidak memadai untuk dijadikan kebenaran mutlak suatu pernyataan.

Karenanya, santri dengan prinsip jurnalisme dan tabayunnya menjadi salah satu leading sektor dalam melanjutkan misi jurnalis sebagai mendidik masyarakat, memberikan informasi dengan berita yang berimbang,  mengandung verifikasi, akurat.

Budaya Cyber dalam praktik jurnalisme dan pers adalah hal yang harus dijaga kesuciannya dan kesakralannya agar tidak menimbulkan efek negatif kepada masyarakat yang setia membacanya. Hoaks adalah salah satu berita yang bisa mengancam terhadap psikologi seorang pembaca apalagi membuat stereotipe kepada tokoh atau bahkan organisasi tertentu semisal agama Islam atau bahkan kiai-kiai pesantren yang menjadi sasaran fitnah.

Karenanya, dunia literasi di era digital—apalagi berada dalam naungan pesantren—harus menjadi garda terdepan dalam membentengi gerakan sporadis dari para pengadu domba dan fitnah. Ini menjadi  penting  di tengah situasi media yang genting karena cara-cara yang digunakan oleh seorang jurnalis menjadi jurus ampuh dalam meneror pemikiran seorang pembaca jika digunakan dengan tidak sebagaimana mustinya.

Baca Juga  Memasifkan Batik sebagai Simbol Cinta Negara

Di era digital, setiap orang adalah pemimpin redaksi. Karena sejatinya manusia selalu mengabarkan dirinya di media. Oleh sebab itu, kegiatan-kegiatan sosial berbasis keislaman, perdamaian, kemasyarakatan, harus diposting di dunia cyber. Kegiatan-kegiatan yang berbau Islam rahmatal lil alamin hendaknya diviralkan melalui website, Facebook, Instagram, YouTube atau bahkan media lainnya agar Islam tidak diklaim sebagai agama yang tak berdaya.

Maka, sebelum terjadi generalisasi dan hipotesis yang salah dalam pandangan mereka, kita harus mengantisipasi tuduhan tersebut dengan menyajikan berita-berita dan informasi yang bisa diterima secara rasional berdasarkan kepada fakta dan realita serta data-data.

Gerilya cyber di era digital harus dimulai dari prinsip dan nilai-nilai jurnalisme. Sebab, jurnalisme adalah salah satu jalan dalam mencari kebenaran yang hilang, menegakkan keadilan dan cara yang paling jitu dalam memperjuangkan HAM meski dalam demokrasi Barat, profesi jurnalis biasanya dipahami sebagai pekerjaan sekuler.

Tetapi, jika kita mengamati kepada tujuan jurnalisme, profesi ini justru sangat mulia dan sesuatu yang sangat dekat dengan nilai-nilai Islam. Hubungan Islam dan jurnalisme bisa kita kutip dalam ayat Al-Qur’an Q.S al-Hujurat (49) : 6 yang berbunyi, ”Wahai orang-orang beriman, jika datang kepada kalian orang fasik yang membawa berita, telitilah berita itu agar kalian tidak memberikan keputusan kepada suatu kaum tanpa pengetahuan sehingga kalian akan menyesali apa yang telah kalian kerjakan”.

Pada ayat tersebut, terdapat nilai-nilai jurnalisme yang bersifat Islami semisal ketika wartawan melakukan klarifikasi (tabayun). Wartawan sering menggambarkan proses isnad, atau memeriksa rantai penyebaran. Jurnalisme tidak boleh menjadi jurna-listen. Seorang jurnalis yang hanya mendengar tanpa verifikasi.

Salah satu wartawan dari Malaysiakini menyatakan,”dalam hal etika, jurnalisme hampir 100 % sama dengan tujuan agama: mencari keadilan, membantu orang miskin, menyokong penyebaran adil kemakmuran, dan berjuang melawan korupsi”. Profesi ini tentu saja harus mendapat dukungan dari berbagai kalangan sebagai profesi yang lebih dari sekedar “menulis berita” tetai profesi jurnalis adalah untuk umat dan kemanusiaan.

Tradisi jurnalisme ini harus tetap dipertahankan untuk memajukan negara dan bangsa menuju martabat yang lebih bersahaja. Sebab itulah, jurnalisme adalah salah satu cara dalam mengontrol kekuasaan. Tidak heran, jika di negara Indonesia, jurnalisme mendapat perlawanan yang sangat sengit dan mempunyai sejarah kelam dengan pemerintahan orde baru.

Baca Juga  Gebyar Akhir Tahun dari Reuni 212, Benarkah ini Bukti Kemenangan Islam?

Kasusnya, jurnalis dibunuh, intimidasi, dan lain sebagainya. Apalagi jurnalis Islam akan berhadapan dengan dunia Barat yang serba materialisme, pragmatisme, hedonismu dan sikap-sikap lainnya.

Jika kita menilik lebih jauh lagi, secara esensi, profesi jurnalis begitu mulia karena pekerjaan ini sangat sinkron dengan salah satu sifat Nabi yaitu tabligh (menyampaikan) kebenaran. Proses verifikasi (isnad) itu ternyata memang sudah ada di pesantren sejak dahulu sehingga jalur keilmuan santri dari gurunya sharih, jelas. Sebagaimana nilai-nilai Islam dan nilai-nilai jurnalistik itu saling melengkapi, terutama dalam verifikasi dan pemberitaan yang berimbang

Keteguhan praktik kebebasan pers dan jurnalisme independen adalah dua hal yang musti dijaga oleh seorang jurnalis. Seperti perkataan salah satu wartawan Tempo, Toriq Haddad, “kebebasan pers itu adalah definisi Barat”. Perbedaan yang cukup signifikan antara kebebasan pers dan jurnalisme independen adalah terletak pada media yang “bebas” dan media yang “independen”.

Semua wartawan tentu boleh menulis bebas tetapi terkadang tidak independen. Inilah kesalahan yang dianggap kebiasaan oleh para jurnalis. Maka, jurnalis Islam yang berbasis santri harus merawat independensi dalam pemberitaannya.

Kebanyakan kasus yang terjadi, para jurnalis terkadang hanya memotret sisi positif saja dari sesuatu yang ingin disampaikan kepada khalayak tanpa menghadirkan berita yang berimbang. Karenanya, jurnalis muslim mungkin tak tergerak oleh cita-cita kebebasan.

Namun, mereka memahami pentingnya berbicara tentang kebenaran kepada kekuasaan dan menghentikan apa yang salah dengan kata-kata merekaHal tersebut tentu saja mempunyai korelasi dengan sabda Nabi Muhammad SAW yang berbunyi:”bentuk terbaik jihad adalah mengatakan kebenaran kepada penguasa yang dzalim”.

Generasi milenial harus peka bermedia sehingga bisa mereduksi segala bentuk adu domba dan fitnah. Bisa dengan membentuk buletin, majalah, website, YouTubeInstagram, dan media online yang bisa digerakkan untuk meminimalisir stereotip negatif terhadap Islam. Tidak perlu ke mana-mana, dengan mengendalikan media yang baik kita sudah melakukan gerilya melawan hegemoni Barat.

Penulis

Abdul Warits

By Redaksi Jalan Hijrah

Jalanhijrah.com adalah platform media edukasi dan informasi keislaman dan keindonesiaan yang berasaskan pada nilai-nilai moderasi dan kontranarasi.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *