Jalanhijrah.com– Pondok pesantren salaf memang tak pernah kehilangan eksistensi dalam membangun peradaban dengan menyediakan bibit-bit sumber daya manusia “santri” yang dilengkapi dengan wawasan keilmuan keislaman, kebangsaan dan semangat cita-cita memperjuangkan cita-cita bangsa.
Perubahan zaman yang berangsur-angsur memaksa segenap santri/alumni pesantren pada era digital dan milenial ini, untuk terus mengupdate diri menjadi sebuah lembaga pendidikan yang tak hanya mengisi hal ruhaniah para santri, namun aspek jasmaniah santri juga ikut dibina dengan kaidah ilmu modern dalam bingkai syariat Islam.
Islam Rahmatan lil ‘alamin adalah sebuah gagasan yang menjadi prinsip Nabi Muhammad dalam upaya syiar Islam kepada umat Islam itu sendiri maupun kaum yang beragama non-Islam tanpa ada unsur paksaan sekalipun. Maka, tak heran bila ada orang yang mengaku ulama namun melarang untuk berteman dengan golongan yang berbeda, maka semestinya dia telah mengingkari apa yang diajarkan oleh Nabi Shallallahu ‘alaih wasalam.
Islam Rahmatan lil ‘alamin seperti itulah yang terus diimplementasikan dalam kehidupan oleh pondok pesantren hingga saat ini, agar terciptanya manusia yang memiliki rasa empati, simpati dan toleransi dari golongan yang berbeda. Lebih daripada itu, pesantren kini telah membuktikan bahwasanya kaum sarungan juga dapat menjadi kader militan dan nasional dalam membangun peradaban bangsa.
Nasionalis dan Agamis
Belakangan ini aksi intoleransi yang bermula dari sikap ekstremis hingga menjadi ekstremis kian marak terjadi, dan telah masuk dalam institusi pendidikan tanah air. Menurut PPIM UIN Jakarta, pada tahun 2018, menemukan bahwa paham intoleransi dan ekstremisme kekerasan sudah masuk institusi pendidikan.
Belum lagi dengan aksi radikalisme maupun terorisme yang baru kemarin diringkus oleh Densus 88. Sebenarnya masih banyak isu-isu seputar ekstremisme, radikalisme, intoleran, dan terorisme yang bisa kita telusuri di berbagai media.
Sebagai manusia yang peduli akan nasib bangsa. Kita harus menyadari bahwasanya santri atau pun bukan dari kalangan santri tidak melulu mengedepankan aspek agamis yang menjadi ciri khas mendasar. Lebih daripada itu, jiwa atau rasa nasionalis pun haruslah dipupuk oleh warga negara agar tak serta-merta memfanatikkan agama secara salah kaprah, dan terkesan malah melakukan hal-hal terlarang dengan dalih ajaran agama.
Kita amati saja! Sebagian yang diakui sebagai uztadz dadakan, yang hanya karena bermodalkan bacaan tanpa guru, bersurban besar, berjenggot lebat, bercelana cingkrang, seorang mualaf. Justru malah hanya mengobarkan rasa kebencian dan apatis akan keberagaman yang ada.
Saya bukan menghembuskan provokasi semata, tetapi memang itulah realita yang ada. Monggo panjenengan cermati orang-orang seperti Felix Shiauw, Yahya Waloni, uztad dari unsur Wahabi-Salafi. Yang dalam hemat penulis dalam diri mereka, penulis meragukan rasa nasionalisme dalam diri mereka.
Bukan saya merasa paling nasionalis tapi, paling tidak saya tidak pernah tuh menghina agama lain, memprovokasi agama yang satu dengan yang lain, membid’ahkan amalan orang lain, dan bahkan melarang berteman dekat dengan penganut agama lain.
Mereka kebanyakan berujar kata bid’ah, kafir, membanding-bandingkan agama, dan kata-kata lain yang sebenarnya telah diselesaikan oleh para ulama’ yang ‘alim selama berabad-abad silam. Maka, tak perlu untuk dipermasalahkan kembali.
Namun, untungnya negara kita terus mendapatkan angin segar, dengan hadirnya santri, lulusan atau alumni pondok pesantren dan ulama’ yang memang moderat berhaluan akidah Ahlussunnah wal jama’ah annahdliyah, yang menitikberatkan pada konsep beragama yang moderat (bersikap tengah), memiliki rasa nasionalis dan merajut rasa simpati, empati dan toleransi dalam bingkai keberagaman.
Banyak alumni pesantren yang bukan hanya mencintai agama, lebih daripada itu, banyak tokoh pesantren mencintakan agama seperti Gus Dur, Gus Mus atau pun seperti Gus Baha’ yang dikenal para milenial. Gus Dur dikenal dengan Bapak Pluralisme, Gus Mus yang mendakwahkan dengan karya sastra dan budaya, hingga yang terbaru Gus Baha’ yang mengajarkan agama tanpa ribet dan mudah untuk dipahami dan dijalani dalam kehidupan sehari-hari.
Kiai atau ustaz semacam inilah yang dibutuhkan untuk mencetak santri yang agamis dalam memperjuangkan dakwah islam dan nasionalis dalam menjaga persatuan dan kesatuan seluruh penduduk bumi Indonesia.
Kiai dan Santri
Para kiai pengasuh pesantren memang rasionalnya menjadi suri tauladan yang senantiasa mendidik terhadap para santri. Tentunya wajib untuk mengamati setiap gerak dan perkataan dari sosok yang dikenal sebagai bapak, syaikh, abah dan masih banyak sebutan untuk pengasuh pesantren tersebut.
Salah satu yang menjadi gambaran besar akan tauladan para kiai negeri ini, adalah tak memaksakan nama hari kiai nasional sebagai hari yang harus diperingati. Para pengasuh pesantren serentak mengusulkan adanya hari santri nasional. Bukan malah memakai pangkat yang disandang mereka “kiai”. Sungguh paradigma untuk sebagian seseorang yang menyadari hal tersebut, akan kagum akan sifat para ahli agama tersebut.
Hal ini bukan tanpa alasan, kita tentunya mengetahui bersama bahwasanya kiai bermula dari santri dan santri tidak harus bermula dari kiai. Semua orang dapat menjadi santri dan sebaliknya semua orang belum tentu menjadi seorang kiai.
Selain daripada itu alasan dari keluarnya Kepres no.15 Tahun 2015. Dilatarbelakangi oleh Revolusi Jihad NU, yang diprakarsai oleh sang muasis Nahdhatul Ulama’ Hadratussyaikh KH. Hasyim Asy’ari.
Lewat prakarsa beliau mengungkapkan bahwasanya membela tanah air adalah sebagian daripada iman.Atas Revolusi Jihad NU tersebut pula, mengobarkan semangat perlawanan para santri dalam upaya mengusir imperialis penjajah dari tanah ibu pertiwi.
Tentunya cinta tanah air tak hanya sebatas mencintai satu golongan. Melainkan itu, pastinya cinta keseluruhan apa yang ada di tanah air terutama keragaman suku, ras, agama atau pun budaya.
Melalui lembaga pendidikan pesantren , NU terus mencetak kader-kader insani, islami dan juga toleran terhadap pemeluk agama yang berkeyakinan lain. Hal ini pernah diungkapkan oleh Gus Yaqut selaku Menteri Agama.
Dan itu sifat NU itu di mana-mana ingin melindungi yang kecil. Jadi jika beberapa waktu lalu Kementerian Agama menjadi viral karena mengaku kementerian semua agama, itu bukan berarti ia menghilangkan ke-NU-an, tapi justru menegaskan ke-NU-annya. Jadi, setelah semua ini, benarkah NU adalah aktor moderasi beragama dan pemberantas kaum radikal? Simpulkan sendiri!