Zawawi Imron lama kepikiran nasib buku berjudul Bulan Tertusuk Lalang (1982). Buku tipis tapi menentukan gairah dan tabah dalam bersastra. Buku terbitan Balai Pustaka, hadir di hadapan sidang pembaca dalam babak awal kemonceran Zawawi Imron. Buku “terlalu” mendapat kasih meski nasib tak lekas terang.
Zawawi Imron (2003) mengenang: “Kembali ke soal hadiah, saya kadang bingung, meskipun gembira menerima hadiah. Misalnya, ketika buku kumpulan sajak saya Nenekmoyangku Airmata mendapat hadiah dari Yayasan Buku Utama. Saya berpikir tujuh keliling karena yang lebih pantas menerima hadiah menurut hati kecil saya ialah kumpulan Bulan Tertusuk Lalang. Hati saya menjadi kurang enak.” Penggubah puisi memiliki derajat kasih berbeda untuk buku-buku telah terbit dan menerima penghargaan.
Situasi belum berubah pada masa 1990-an. Sosok asal Madura itu kembali mengingat: “… saya menerima hadiah penulisan puisi terbaik untuk buku Nenekmoyangku Airmata dan Celurit Emas dari Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. Saya gembira dan bersyukur kepada Allah. tetapi, hati tetap kurang enak karena yang mendapat hadiah bukan Bulan Tertusuk Lalang.” Kita membuktikan kasih terhadap buku itu memberi bimbang dan pengharapan.
Kita mendingan melihat lagi buku lama. Gambar di sampul Bulan Tertusuk Lalang dibuat oleh Hanung S. Ilustrasi patuh judul. Kita melihat bulan purnama. Kita diajak melihat lalang seperti sedang menusuk bulan. Pihak penerbit memberi pengantar pendek: “Kehadiran D Zawawi Imron dengan kumpulan Bulan Tertusuk Lalang ini ikut memeriahkan dunia puisi Indonesia mutakhir. Kesan utama dalam membaca sajak-sajak dalam kumpulan ini, tampak adanya upaya penyair mengungkapkan diri dan masalah-masalah kemanusiaannya secara orisinil. Penyair berusaha mengangkat hal-hal yang tampaknya sederhana dengan bahasanya sendiri.” Kita diminta bermufakat bila Zawawi Imron menulis puisi merujuk keluguan, ketulusan, dan kepasrahan.
Sekian paragraf dalam pengantar mungkin dibuat oleh Subagio Sastrowardoyo. Sejak masa 1950-an, ia dikenal sebagai penggubah puisi bercorak filsafat. Pada masa 1980-an, ia bekerja di Balai Pustaka: menentukan terbitan buku-buku (sastra) bermutu. Dugaan mengacu pengisahan Zawawi Imron (2003): “Pada tahun 1981, Subagio Sastrowardoyo pulang ke Indonesia dan menjabat sebagai direktur penerbiatan Balai Pustaka. Sajak-sajak saya yang terkumpul dalam Bulan Tertusuk Lalang, yang sebelumnya ditolak salah satu penerbit di Surabaya, saya kirimkan ke Balai Pustaka. Tak lama kemudian, saya mendapat balasan yang menggembirakan. Alhamdulillah, naskah saya diterima dan akan diterbitkan Balai Pustaka. Kumpulan berikutnya, Nenekmoyangku Airmata juga diterbitkan Balai Pustaka.”
Kita mengerti nasib naskah. Semula, naskah terduga bernasib buruk akibat penolakan penerbit. Nasib mudah berubah. Pada 1979, Zawawi Imron sempat bertemu Subagio Sastrowardoyo dalam acara sastra di Jakarta. Zawawi Imron memperlihatkan sekian puisi. Pertemuan itu menentukan nasib naskah setelah tahun-tahun berlalu. Zawawi Imron sangat memberi kasih untuk Bulan Tertusuk Lalang itu lumrah.
Di buku terkasih, kita membaca larik-larik dalam puisi berjudul “Rahim” memberi penguatan kasih kepada ibu: tiba-tiba kaumasukkan daku ke rahim bunda/ sebuah ruang berdinding sejarah/ lidahku kaku/ azan terpaksa kuteriakkan/ dengan sisa arus darahku/ tidak terdengar/ dan aku memang tidak ingin didengar orang. Kita membaca dengan kecamuk perasaan. Ia tak sedang berkhotbah sekadar rahim. Larik-larik itu nasib manusia. Kita pun diingatkan bunda atau ibu.
Pada masa berbeda, Zawawi Imron sering teringat dengan puisi mengenai ibu. Puisi berjudul Ibu terpilih untuk terbaca ribuan murid di seantero Indonesia dalam agenda besar Sastrawan Bicara, Siswa Bertanya (2008) diadakan Horison dan pemerintah. Dua puisi Zawawi Imron disuguhkan kepada murid dan guru untuk menikmati kelincahan imajinasi dan kefasihan berbahasa. Dua puisi itu berjudul “Zikir” dan “Ibu”.
Kita mengutip: ibu adalah gua pertapaanku/ dan ibulah yang meletakkan aku di sini/ saat bunga kembang menyemerbak bau sayang/ ibu menunjuk ke langit, kemudian ke bumi/ aku mengangguk meskipun kurang mengerti. Baik membikin merinding bagi pembaca terharu dan berbakti kepada ibu.
Puisi memang selaras terbaca murid-murid masih remaja sedang menentukan peran dan makna bersama ibu. Puisi memerlukan waktu lama dalam mengekalkan peristiwa, bahasa, dan masa. Ibu menjadi kiblat. Puisi tak dimaksudkan dibuat dalam peringatan Hari Ibu tapi bakal cocok bila terbaca bersinggungan sejarah Kongres Perempuan Indonesia I (1928) dan pemaknaan ibu di Indonesia, dari masa ke masa.
Puisi itu sulit dalam penulisan. Zawawi Imron (2003) mengaku selalu teringat ibu saat ia merantau ke Banyuwangi (1964) demi seni. “Di rantau, saya banyak teringat akan ibu, saya lalu menulis puisi untuk ibu,” kenang Zawawi Imron. Kita masuk dalam biografi Zawawi Imron saat masih muda. Ia sudah mahir menulis puisi tapi tetap mengalami masa-masa sulit: “Tapi, puisi itu tidak selesai-selesai saya tulis. Ada beberapa hal yang ingin saya ungkapkan, tetapi tidak menemukan bahasa. Buntu.” Penggubah puisi merasakan derita, kecewa, dan lelah tapi memastikan puisi harus selesai. Pada 1966, tahun sulit akibat malapetaka 1965, Zawawi Imron melanjutkan misi menulis ibu. Ia mengaku: “Pengorbanan dan ketulusan hati ibu kembali menjadi denyut darah.
Puisi untuk ibu yang tidak selesai saya tulis dua tahun yang lalu, kemudian saya lanjutkan dan beberapa kalimatnya saya ubah di sana-sini.” Ketekunan dan ketabahan mewujudkan puisi berjudul “Ibu”. Para pembaca pun terpikat dalam mengekalkan puisi dan ibu. Di sastra Indonesia, Zawawi Imron tak sendirian dalam penulisan puisi bertema ibu. Ratusan orang pun menggubah puisi untuk memuliakan ibu meski persembahan Zawawi Imron memberi kesan mendalam dan berkepanjangan. Kematangan Zawawi Imron dalam mengisahkan ibu berlanjut dalam esai, melanjutkan puisi-puisi.
Zawawi Imron (1999) membuat pengantar untuk buku Emha Ainun Nadjib berjudul Ibu, Tamparlah Muka Anakmu. Pilihan tepat bagi orang tekun menulis ibu berganti peran menjadi penulis kata pengantar. Zawawi Imron menjelaskan peran ibu: “… pelanjut dari kasih sayang Allah kepada seluruh umat manusia.” Ia memberi tafsir atas sifat “rahman” dan “rahim”. Ibu dianggap penentu: “Segalanya berjalan lancar seperti aliran sungai di tengah alam.”
Pada 22 Desember 2024, kita menghormati Zawawi Imron dengan buku-buku. Gairah menggubah puisi dan penerbitan buku-buku menghasilkan Anugerah Sastrawan Adiluhung di TIM, Jakarta, 20 Desember 2024. Zawawi Imron bergembira tapi berharap tak menjadi sombong. Ia mungkin teringat berlimpah kasih untuk buku lama berjudul Bulan Tertusuk Lalang.
Ia pun menginsafi perjalanan dan pengabdian sastra sampai anugerah itu ditentukan rahim dan kasih ibu sepanjang masa. Pada peringatan dinamakan Hari Ibu, kita mendapat undangan Zawawi Imron masuk dalam buku dan memuliakan ibu. Begitu.
Bandung Mawardi
Esais. Pegiat literasi di Kuncen Bilik Literasi, Karanganyar, Jawa Tengah
*Artikel ini telah tayang di Arina.Id. Jika ingin baca aslinya, klik tautan ini: https://arina.id/mozaik/ar-Su1q7/zawawi-imron–buku-dan-ibu