Harmonisasi yang diperoleh dari toleransi atau tasamuh antar umat beragama sangat diharapkan bagi setiap bangsa di dunia termasuk Indonesia. Toleransi bukannya membebaskan seseorang melakukan sesuatu sekehendak hati, dan untuk menghindari ini, sangat diperlukan aturan dan batasan dalam menjalankan perintah Nya dan menjauhi larangan Nya. Implementasi dari toleransi terdapat hal yang sangat penting tidak bisa di toleransikan, yaitu menyangkut ibadah dan akidah. Kenyataan di masyarakat sikap toleransi seringkali ditemui tidak sesuai dengan syariat Islam. Padahal dalam ajaran Islam mengakui adanya berbagai macam perbedaan warna kulit, suku bangsa, budaya, bahasa, adat-istiadat dan agama. Dalam hadis Ibnu Abbas dalil mengenai tasamuh ini dijelaskan “Ibnu Abbas menuturkan bahwa Rasulullah saw. ditanya, “Agama mana yang paling dicintai Allah?” Nabi menjawab, “Semangat kebenaran yang toleran (al-hanfiyyat al-samhah).” (HR. Imam Ahmad). Meski di dalam Al Qur’an secara eksplisit mengenai sikap toleransi tidak dijelaskan, namun beberapa ayat seperti surat Al-Hujurat ayat 13 menjelaskan perbedaan yang diciptakan oleh Allah SWT, yang artinya: “Wahai manusia! Sungguh, Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, kemudian Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa. Sungguh, Allah Maha Mengetahui, Maha Teliti.” Adanya perbedaan dalam kehidupan manusia, tidak menjadi penghambat hubungan antara manusia dengan manusia, kecuali hubungan manusia dengan Sang Khalik Nya. Ajaran Islam mengakui perbedaan agama masing-masing dengan karateristik dan keberagamannya, kecuali menyangkut ibadah dan akidah yang telah digariskan melalui surat Al Kafirun ayat 6 yaitu Lakum Diinukum Wa Liya Diin, artinya “Untukmu agamamu, dan untukkulah agamaku.” Sikap toleransi mengacu pada sikap terbuka, lapang dada, suka rela dan kelembutan. Secara etimologi, toleransi berasal dari bahasa latin, ‘tolerare’ yang artinya sabar dan menahan diri. Sementara secara terminologi, toleransi berarti sikap saling menghargai, menghormati, menyampaikan pendapat, pandangan, kepercayaan kepada antar sesama manusia yang bertentangan dengan diri sendiri. Ajaran Islam memperbolehkan adanya toleransi antar umat beragama tetapi toleransi terkait ibadah dan akidah terdapat hal-hal penting yang harus diperhatikan, anatara lain : Hendaknya setiap umat Islam selalu berbuat baik kepada sesama sepanjang tidak terkait dengan hal ibadah dan aqidah. Prinsipnya, kebaikan dan keadilan itu bersifat universal termasuk kepada orang-orang kafir yang tidak memerangi kaum muslim karena agama dengan menekankan kebebasan dan toleransi beragama dan tidak mengusir kaum muslim dari kampung halaman, karena kaum muslim termasuk yang beriman kepada Allah SWT yang sangat mencintai umat Nya berlaku adil tidak hanya pada dirinya sendiri tetapi juga terhadap orang lain. Hal ini sesuai dengan (QS. Al Mumtahanah: 8-9), yang artinya bahwa “Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil. Sesungguhnya Allah hanya melarang kamu menjadikan sebagai kawanmu orang-orang yang memerangimu karena agama dan mengusir kamu dari negerimu, dan membantu (orang lain) untuk mengusirmu. Dan barangsiapa menjadikan mereka sebagai kawan, maka mereka itulah orang-orang yang zalim.” Berbuat baik dan adil kepada setiap agama Ibnu Katsir rahimahullah berkata tentang hukum meremehkan akhlak orang lain, “Allah tidak melarang kalian berbuat baik kepada non muslim yang tidak memerangi kalian seperti berbuat baik kepada wanita dan orang yang lemah di antara mereka. Hendaklah berbuat baik dan adil karena Allah menyukai orang yang berbuat adil.” (Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, 7: 247). Saling menolong siapa pun, baik orang miskin maupun orang yang sakit. Dari Abu Hurairah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Menolong orang sakit yang masih hidup akan mendapatkan ganjaran pahala.” (HR. Bukhari No. 2363 dan Muslim No. 2244). Tetap menjalin hubungan kerabat pada orang tua atau saudara non muslim. Allah Ta’ala berfirman, “Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan dengan Aku sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, maka janganlah kamu mengikuti keduanya, dan pergaulilah keduanya di dunia dengan baik.” (QS. Luqman: 15). Dipaksa syirik, namun tetap kita disuruh berbuat baik pada orang tua. Tetap berbuat baik kepada orang tua dan saudara Asma’ binti Abi Bakr radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata, “Ibuku pernah mendatangiku di masa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam keadaan membenci Islam. Aku pun bertanya pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk tetap jalin hubungan baik dengannya. Beliau menjawab, “Iya, boleh.” Ibnu ‘Uyainah mengatakan bahwa tatkala itu turunlah ayat bahwa “Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu ….” (QS. Al Mumtahanah: 8) (HR. Bukhari No. 5978). Boleh memberi hadiah pada non muslim Dari Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma, beliau berkata “Umar pernah melihat pakaian yang dibeli seseorang lalu ia pun berkata pada Nabi Muhammad SAW “Belilah pakaian seperti ini, kenakanlah ia pada hari Jum’at dan ketika ada tamu yang mendatangimu.” Nabi Muhammad SAW pun berkata, “Sesungguhnya yang mengenakan pakaian semacam ini tidak akan mendapatkan bagian sedikit pun di akhirat.” Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam didatangkan beberapa pakaian dan beliau pun memberikan sebagiannya pada ‘Umar. ‘Umar pun berkata, “Mengapa aku diperbolehkan memakainya sedangkan engkau tadi mengatakan bahwa mengenakan pakaian seperti ini tidak akan dapat bagian di akhirat?” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Aku tidak mau mengenakan pakaian ini agar engkau bisa mengenakannya. Jika engkau tidak mau, maka engkau jual saja atau tetap mengenakannya.” Kemudian ‘Umar menyerahkan pakaian tersebut kepada saudaranya di Makkah sebelum saudaranya tersebut masuk Islam. (HR. Bukhari No. 2619). 7. Jangan mengorbankan agama Ibnu Jarir Ath Thobari menjelaskan mengenai ‘lakum diinukum wa liya diin’, “Bagi kalian agama kalian, jangan kalian tinggalkan selamanya karena itulah akhir hidup yang kalian pilih dan kalian sulit melepaskannya, begitu pula kalian akan mati dalam di atas agama tersebut. Sedangkan untukku yang kuanut. Aku pun tidak meninggalkan agamaku selamanya. Karena sejak dahulu sudah diketahui bahwa aku tidak akan berpindah ke agama selain itu.” (Tafsir Ath Thobari, 14: 425). 8. Prinsip Lakum Diinukum Wa Liya Diin Islam mengajarkan kita toleransi dengan membiarkan ibadah dan perayaan non muslim, bukan turut memeriahkan atau mengucapkan selamat. Karena Islam mengajarkan prinsip “Untukmu agamamu, dan untukkulah, agamaku”. (QS. Al Kafirun: 6). 9.Tidak berhubungan dengan acara maksiat Sifat ‘ibadurrahman, yaitu hamba Allah yang beriman juga tidak menghadiri acara yang di dalamnya mengandung maksiat. Perayaan natal bukanlah maksiat biasa, karena perayaan tersebut berarti merayakan kelahiran Isa yang dianggap sebagai anak Tuhan. Sedangkan kita diperintahkan Allah Ta’ala berfirman menjauhi acara maksiat lebih-lebih acara kekufuran, “Dan orang-orang yang tidak memberikan menghadiri az zuur, dan apabila mereka bertemu dengan (orang-orang) yang mengerjakan perbuatan-perbuatan yang tidak berfaedah, mereka lalui (saja) dengan menjaga kehormatan dirinya.” (QS. Al Furqon: 72). Yang dimaksud menghadiri acara az zuur adalah acara yang mengandung maksiat. Jadi, jika sampai ada kyai atau keturunan kyai yang menghadiri misa natal, itu suatu musibah dan bencana. 10.. Toleransi sebatas wilayah mu’amalah Toleransi atau juga dikenal dengan istilah tasamuh adalah hal yang menjadi prinsip dalam agama islam. Dengan kata lain, islam itu menyadari dan menerima perbedaan. Namun demikian, dalam praktik toleransi islam juga memiliki kerankan atau batasan toleran itu. Toleran dalam islam dibatasi pada wilayah mu’amalah dan bukan pada wilayah ubudiah. Toleransi tidak berkenaan dengan aqidah dan ibadah Islam adalah agama yang menyadari pentingnya interaksi, maka dalam Islam hubungan dengan mereka yang non-muslim bukan hanya diperbolehkan namun juga didorong. Seperti sabda Nabi Muhammad SAW, “tuntutlah ilmu walau ke negeri Cina”. Ilmu adalah bagian dari mu’amalah. Maka aspek-aspek muamalah misalnya perdagangan, kehidupan sosial, industri, kesehatan, pendidikan dan lain lain, diperbolehkan dalam Islam. Dan yang dilarang adalah berkenaan dengan aqidah serta ibadah. Seyogyanya sikap toleransi saling menghargai keyakinan agama lain dengan tidak bersikap sinkretis yaitu dengan menyamakan keyakinan agama lain dengan keyakinan Islam itu sendiri, menjalankan keyakinan dan ibadah masing-masing. Sikap toleransi tidak dapat dipahami secara terpisah dari bingkai syariat, sebab jika terjadi, maka akan menimbulkan kesalah pahaman makna yang berakibat tercampurnya antara yang hak dan yang batil. Ajaran toleransi merupakan suatu yang melekat dalam prinsip-prinsip ajaran Islam sebagaimana terdapat pada Iman, Islam, dam Ihsan.

Jalanhijrah.com- Zainab binti Khuzaimah dilahirkan di Makkah, tepatnya sekitar 13 tahun sebelum Rasulullah saw. diutus menjadi Nabi. Sejak tinggal di Makkah, ia dikenal sangat menyayangi orang-orang fakir dan miskin.

Ketika cahaya Islam menerangi bumi Jazirah Arab dan Nabi saw. mulai menyampaikan agama yang agung ini, Zainab binti Khuzaimah termasuk orang-orang yang pertama masuk Islam. Ia juga termasuk orang-orang yang disebut sifat-sifatnya oleh Allah Swt.

Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) diantara orang-orang Muhajirin dan Anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah rida kepada mereka dan mereka pun rida kepada Allah dan Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya. Mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Itulah kemenangan yang besar.” (QS At-Taubah: 100)

Zainab hidup bersama Islam sejak masih dalam tahap buaian. Ia menyaksikan langsung bagaimana kaum muslimin mengorbankan segala sesuatu demi mempertahankan nikmat tauhid. Pemandangan tersebut makin membuatnya bertambah kokoh dan teguh dalam memegang keyakinan agamanya.

Sejak awal, ia sangat giat berpuasa, salat dan beribadah kepada Allah ‘Azza wa Jalla. Ia tidak pernah lelah sesaat pun untuk terus berzikir kepada Allah dan menyantuni orang-orang fakir dan miskin sehingga ia dijuluki Ummul Masaakin (ibunda kaum fakir miskin).

Ibunda kita, Zainab binti Khuzaimah ra., sangat menyayangi kaum fakir dan miskin sejak masih hidup di masa jahiliah. Setelah masuk Islam, kasih sayang dan kepeduliannya kepada kaum papa itu makin bertambah kuat. Apalagi setelah dipersunting oleh Nabi saw., sifat ini makin bertambah kuat lagi. Ini karena setiap saat, ia menyaksikan langsung kasih sayang yang memancar deras dari hati Rasulullah saw.

Baca Juga  Aksi Bela Islam dan Politisasi Masjid

Beliau selalu menekankan kepada segenap kaum muslim agar bersedekah kepada orang-orang fakir dan miskin, dan terus menganjurkannya hingga mencapai tahap itsar (mendahulukan kebutuhan orang lain daripada kebutuhan sendiri).

Abu Hurairah ra., meriwayatkan bahwa Nabi saw. bersabda, “Ketika manusia menyongsong waktu pagi pada setiap hari, dua malaikat turun. Salah seorang malaikat berkata, ‘Ya Allah, berilah ganti kepada orang yang berinfak. Sedangkan malaikat yang lain berkata, ‘Ya Allah, berilah kebinasaan kepada orang yang enggan berinfak (bakhil).’(Muttafaq ‘alaih)

Dalam rentang waktu yang sangat singkat bersama Nabi saw., Zainab menyibukkan dirinya dengan banyak beribadah, puasa, dan salat malam. Memang, ia mendampingi beliau dalam waktu yang sangat singkat karena hanya beberapa bulan setelah pernikahannya, ajal telah menjemput ibunda kita, Zainab ra., sehingga merupakan istri Nabi saw. yang pertama kali meninggal dunia di Madinah.

Ketika Zainab mengembuskan napasnya yang terakhir, kesedihan kembali menyelimuti hati Nabi saw. Kematiannya telah mengingatkan beliau kepada kematian Khadijah ra., wanita paling agung sejagat raya.

Zainab binti Khuzaimah ra. masuk ke lingkungan keluarga Nabi saw. dengan keteduhan orang-orang yang saleh dan ketenangan ahli-ahli ibadah. Kemudian ia keluar darinya dengan ketenangan orang-orang yang khusyuk. Jasadnya dikubur di pemakaman Baqi’ dan mendapat keberkahan salat dan doa Nabi saw.

Ibunda orang-orang miskin itu telah meninggal dunia tanpa meriwayatkan hadis dari Nabi saw. Imam Adz-Dzahabi rahimahullah berkata, “Ia sama sekali tidak meriwayatkan hadis.” Ibnu Jauzi rahimahullah berkata, “Setahu kami, dia tidak meriwayatkan hadis sedikit pun.”

Baca Juga  IKADI Minta Dai dan Ustadz Aktif Sebagai Juru Dakwah, Bukan Menghakimi

Barangkali, ini disebabkan karena Zainab sangat sibuk mengurus orang-orang miskin dan terlalu singkat masa kebersamaannya dengan Rasulullah saw. Imam Thabrani rahimahullah mengatakan, “Ummul Masaakiin meninggal dunia saat Rasulullah saw. masih hidup. la tinggal bersama Rasulullah saw. dalam waktu yang sangat singkat.”

Demikianlah kepergian Ummul Masaakiin yang tidak pernah menyisakan hartanya jika bertemu dengan mereka. Ia selalu memberi segala yang dimilikinya untuk mendapatkan gantinya di sisi Allah Swt., karena apa pun yang diberikan kepada-Nya tidak mungkin sia-sia. la memindahkan apa yang dimilikinya di dunia ke akhirat agar dapat meraih kenikmatan surga yang tidak akan pernah terputus dan sirna.

Allah Swt. berfirman, “Hai hamba-hamba-Ku, tiada kekhawatiran terhadapmu pada hari ini dan tidak pula kamu bersedih hati. Yaitu orang-orang yang beriman kepada ayat-ayat Kami dan adalah mereka dahulu orang-orang yang berserah diri, masuklah kamu ke dalam surga, kamu dan istri-istri kamu digembirakan. Diedarkan kepada mereka piring-piring dari emas, dan piala-piala dan di dalam surga itu terdapat segala apa yang diingini oleh hati dan sedap dipandang mata dan kamu kekal di dalamnya. Dan itulah surga yang diwariskan kepada kamu disebabkan amal-amal yang dahulu kamu kerjakan. Di dalam surga itu ada buah-buahan yang banyak untukmu yang sebagiannya kamu makan.(QS Az-Zukhruf: 68-73)

Untuk mengantar kepergian ibunda kita yang agung ini, tidak ada kata-kata yang dapat kita ucapkan selain firman Allah Swt., “Sesungguhnya orang-orang yang bertakwa itu di dalam taman-taman (surga) dan sungai. Di tempat yang disenangi di sisi Tuhan yang berkuasa.” (QS Al-Qamar: 54-55).

Baca Juga  Masih Wajibkah Sholat Bagi Penderita Pikun atau Demensia?

Semoga Allah meridainya dan membuatnya rida, serta menjadikan surga Firdaus sebagai persinggahan abadinya. Wallahualam

Penulis

 

By Redaksi Jalan Hijrah

Jalanhijrah.com adalah platform media edukasi dan informasi keislaman dan keindonesiaan yang berasaskan pada nilai-nilai moderasi dan kontranarasi.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *