Jalanhijrah.com – Nama Gus Yahya menjadi sosok yang paling sering dibicarakan pasca Muktamar NU yang digelar pada beberapa waktu lalu di Lampung. Sosok pemimpin baru dalam tubuh NU, tentu menjadi kegembiraan bagi masyarakat NU untuk Indonesia di masa yang akan datang.
Gus Yahya merupakan sosok yang memiliki darah keulamaan sangat luar biasa. lahir di Rembang pada 16 Februari 1966 dengan lingkungan pesantren yang cukup kental merupakan putra pertama dari KH. Muhammad Cholil Bisri. Kiai Cholil sendiri sebagai sosok ayah, dikenal luas keulamaannya, terutama dalam kalangan nahdliyyin.
Pendidikan agamanya ditempuh melalui kedekatan dengan Krapyak terjalin begitu kuat yakni Kiai Ali Ma’shum. Keluarganya sudah memilih pesantren tersebut sebagai lembaga pendidikan Islam, termasuk ayahnya serta ketiga pamannya salah satunya KH. Mustofa Bisri atau yang biasa dipanggil Gus Mus dan 2 paman lainnya.
Meskipun demikian, ada yang menarik dari sosok Gus Yahya sebelum terpilih menjadi ketua PBNU pada periode 2021-2026 bahwa diantara orang-orang yang menolah Gus Yahya menjadi ketua, yakni terlalu ambisius dan takut beliau akan membawa NU kerjasama dengan Israel.
Kiprah internasional yang gemilang
Hubungan Gus Yahya dengan berbagai negara terjalin sejak 2011 yang mulai intensif pada tahun 2013. Kedekatan Gus Mus dengan Gus Dur membuat Gus Yahya diserahkan berbagai pertemuan dan forum internasional. Gus Mus selaku orang terdekat dengan Gus Yahya menyerahkan forum-forum internasional Gus Dur kepadanya.
Setidaknya dalam momentum tersebut keberadaan Charles Holland Taylor biasanya dipanggil Pak Holland menjadi sosok penting dalam memfasilitasi berbagai kegiatan internasional yang dilakukan. Gus Yahya dalam setiap pertemuan internasional tidak hanya ingin ceramah atau dikenal saja. Lebih dari itu, ia ingin terlibat politik internasional untuk mengetahui berbagai problem yang terjadi di dalamnya.
Perjalanan panjang tersebut kemudian bersama Gus Mus, Pak Holland mendirikan organisasi Bayt Ar-Rahmah bertujuan untuk Dakwah Islamiyah Rahmatan Lil ‘Alamin. Pada 2020, Gus Yahya Bersama Gus Mus, Pak Holland, dan Yaqut Cholil Qoumas atau lebih akrab disapa Gus Yaqut menginisiasi sebuah organisasi yang terbuka untuk semua komunitas agama: Center for Shared Civilizational Values (CSCV) yang diarahkan sebagai pusat nilai-nilai keberadaban bersama. Hubungan internasional terus dilakukan dengan berbagai agenda-agenda penting di dalamnya.
Bagaimana pandangannya tentang NU?
Setidaknya dalam pandangan Gus Yahya, kita bisa memahami bahwa ada beberapa hal yang yang perlu dipahami tentang NU sebagai organisasi masyarakat muslim di Indonesia dalam merespon pelbagai fenomena dan tantangan ke depan, diantaranya:
Pertama, isu-isu sosial seperti kemiskinan, kesejahteraan masyarakat perlu menjadi perhatian penuh masyarakat NU. Hal ini karena melihat antusiasme yang tinggi para masyarakat NU ketika melihat isu doktrinal agama.
Kedua, menurut Gus Yahya organisasi NU tersebut ada sebelum berdirinya. Artinya, para ulama sudah berkumpul sejak lama untuk membicarakan masyarakat dan bagaimana Indonesia di masa akan datang. Istilah yang dipakai oleh Gus Yahya yakni perlu adanya khidmah inklusif. Melalui kesadaran ini, NU tidak lagi terkungkung dalam egoisme identitas sempitnya. Sehingga kegiatan organisasi diarahkan pada permasalahan lingkungan.
Ketiga, slogan “men-jam’iyyah-kan jama’ah” seringkali terdengar dalam tradisi NU. Kepemimpinan NU harus terlibat dalam menyelesaikan dan memberi solusi permasalahan masyarakat. Masyarakat NU yang ada di dalamnya harus menjadi bagian dari organisasi NU yang mampu melihat problematika yang ada di hadapan masyarakat. Sehingga semakin intens berada di NU, maka akan semakin mengetahui bagaimana permasalahan yang terjadi di masyarakat.
Keempat, NU harus meningkatkan kapasitas dalam khidmah (pengabdian) dengan mengembangkan wawasan tentang haluan organisasi yang mencakup partisipasinya dalam masalah-masalah kemasyarakatan yang luas seperti sosial[1]ekonomi, politik, lingkungan hidup, dll. Sehingga keterlibatan NU menjadi lebih substansial baik secara domestik maupun internasional. Kerangka hubungan dengan pihak lain pun harus berada pada landasan yang lebih bermartabat. Kerjasama
Kelima, kegiatan NU selama ini berorientasi terhadap program. Banyak sekali proposal yang tersebar untuk melakukan berbagai kegiatan. Namun belum menemukan arah dan tujuan yang cukup jelas. Sehingga perlu adanya perubahan pola pikir (mindset) dalam NU yang melihat kegiatan dengan beberapa hal, yaitu: ruang lingkup dan sasarannya, pemaknaan terhadap program, dan hubungan antar tingkatan kepengurusan dalam pelaksanaan program.
Keenam, kebesaran NU tidak lepas dari kesalehan para ulama, kiai terdahulu. Ada beberapa aspek yang dimiliki oleh para ulama, diantaranya: Ilmu, keluasan dan kedalaman ilmu yang disertai dengan riyadlah (tirakat). Ri’aayah, mengasuh dan membimbing umat dalam segala keadaan. Ikhlas, kekuasaan para pendahulu NU tercermin dalam penampilan, tutur kata, tindak-tanduk, dan cara mereka bergaul.
Melihat pola pikir yang demikian, kiranya hal ini bisa menjadi catatan para nahdliyin bahwa di bawah Gus Yahya memiliki visi yang jelas untuk mengembangkan NU dan melihat tantangan NU di masa yang akan datang. Wallahu a’lam