Tidak Setuju
Ketika Saleh Partaonan Daulay, anggota Baleg DPR-RI dari Fraksi PAN, bertanya apakah kebijakan pemerintah terkait pemberian konsesi tambang kepada ormas dapat disebut sebagai “sogokan,” KH Ulil Abshar Abdalla (yang saya panggil Mas Ulil) memberikan jawaban yang tegas: “Bukan!” Dari segi balaghah, jawaban ini telah memenuhi ekspektasi pertanyaan secara esensial, tanpa menambah atau mengurangi informasi yang diminta (jawabun ‘ala qadri al-su’al). Penjelasannya mengenai ketidaktepatan penggunaan istilah “sogokan” dalam konteks kebijakan tersebut sebenarnya sudah jelas dan sangat cukup.
Namun, situasi berubah ketika ia menambahkan seloroh, “Kalaupun itu sogokan, ya, sogokan hasanah, ha-ha-ha.” Frasa ‘sogokan hasanah’ memberikan kesan adanya justifikasi terhadap praktik suap dalam kondisi tertentu, sebagaimana ditandai dengan kata ‘kalaupun’. Pernyataan lanjutannya, “Tapi ini nggak boleh dipakai, ya,” menunjukkan bahwa ia menyadari problematika istilah tersebut, meskipun ia sendiri tertawa setelah mengatakannya. Lebih jauh, frasa “Dalam fikih ada (dalil tentang) itu, Mas” mengisyaratkan bahwa konsep tersebut memiliki dasar dalam norma hukum Islam.
Konsekuensinya, pemotongan redaksi oleh kreator konten dan media mainstream membuka ruang tafsir yang lebih luas dari yang diperlukan. Kekeliruan pertama Mas Ulil dalam hal ini adalah ithnab, yakni penambahan frasa yang tidak diperlukan secara esensial dalam jawaban. Kendati ia sadar bahwa kelebihan informasi ini dapat memicu interpretasi yang tidak perlu, namun ia tetap melanjutkannya, yang akhirnya menimbulkan polemik yang masih diperbincangkan (bahkan di WAG keluarga saya).
Kekeliruan kedua Mas Ulil adalah mengemukakan gagasan legitimasi fikih soal sogokan hasanah di hadapan sebuah lembaga yang, menurut survei persepsi publik (Kompas, 2020), dinilai sebagai lembaga paling korup dengan tingkat kepercayaan publik hanya 51%. Selain itu, data KPK menunjukkan bahwa dari 1.666 kasus tindak pidana korupsi yang ditangani sejak 2004 hingga 2024, sebanyak 344 kasus (20,65%) melibatkan DPR dan DPRD (KPK, Desember 2024).
Persentase 20,65% ini mungkin tampak kecil, tetapi jika dibandingkan dengan alokasi anggaran yang diterima DPR dan DPRD—hanya sekitar 0,18% hingga 0,26% dari total APBN—angka tersebut menunjukkan bahwa lembaga ini memiliki potensi korupsi hingga 114 kali lebih tinggi dibandingkan proporsi anggaran yang mereka kelola. Dengan kata lain, setiap rupiah yang masuk ke DPR dan DPRD berpotensi dikorupsi hingga 11% lebih besar dibandingkan lembaga lain yang mengelola anggaran APBN dalam jumlah yang jauh lebih besar.
Kekeliruannya yang terakhir adalah takhallush, yaitu teknik menyelamatkan diri setelah sebelumnya mengemukakan gagasan yang kontroversial. Hal ini terlihat dalam unggahan Facebook berjudul “Menyogok untuk Meraih Hak, Dibolehkan: Sebuah Penjelasan,” yang seolah menjadi justifikasi akademik atas pernyataannya sebelumnya. Bagaimana tidak? Dari 18 paragraf yang ia tulis, hanya dua paragraf pendek yang secara eksplisit menyatakan bahwa sogokan adalah tindakan keliru dan salah.
Selebihnya, lima paragraf tampak lebih sebagai pembelaan diri yang ambigu, empat paragraf berisi pembenaran konsep sogok dalam fikih, sementara tujuh paragraf lainnya hanya menguraikan secara deskriptif situasi yang terjadi di Baleg DPR serta dampaknya terhadap pemberitaan media.
Ketiga kekeliruan inilah yang luput ditangkap oleh Muhammad Ibnu Sahroji dalam artikelnya “Menyoal ‘Sogokan Hasanah’, Memahami Duduk Perkara dan Penjelasan dalam Kajian Fikih.” Sahroji gagal memahami inti kritik publik terhadap Mas Ulil—bukan sekadar pada gagasan bahwa dalam fikih ada kondisi tertentu di mana sogokan diperbolehkan. Publik, yang secara tidak langsung dianggap oleh Sahroji kurang memahami duduk perkara ini dengan baik, justru sangat mengerti bahwa konsep fikih yang disampaikan oleh Mas Ulil bukanlah sesuatu yang baru.
Dalil tentang sogok hasanah dalam kondisi darurat—di mana seseorang menyogok untuk mendapatkan kembali haknya yang dirampas—merupakan prinsip moral yang secara intuitif sudah dipahami oleh manusia bodoh sekalipun. Dalam kondisi terjepit, bukankah seseorang akan terdorong untuk melakukan tindakan ekstraordiner guna mempertahankan haknya?
Bahkan, tanpa perlu adanya dalil fikih eksplisit yang mengatur soal al-risywah lithalab al-haqqi ghairu muharramah (suap dalam rangka merebut hak tidaklah diharamkan), yang merupakan turunan dari kaidah al-dlarurat tubih al-mahdzurat (kedaruratan membolehkan hal terlarang), manusia secara alami memahami bahwa keadaan darurat dapat mendorong tindakan yang dilarang namun perlu dan harus ia lakukan.
Persepsi publik, yang akhirnya mengkritik, tidaklah terbentuk dari resistensi akademik ‘sogok hasanah’. Ketika Mas Ulil menjelaskan bahwa dalam fikih ada kondisi di mana sogokan diperbolehkan, atau Sahroji menulis detail bagaimana konsep fikih tersebut dibangun, publik melihatnya sebagai intelektual yang membicarakan “sogok yang bisa dibenarkan” di hadapan lembaga yang justru memiliki reputasi yang buruk dalam hal korupsi.
Hal ini seperti akademisi yang menjelaskan konsep “pencurian yang bisa dibenarkan” di depan sindikat maling kelas kakap. Inilah yang membuat konteks pernyataan Mas Ulil menjadi problematis. Karena persepsi publik tidak hanya dibentuk oleh kebenaran akademis, tetapi juga oleh konteks bagaimana dialog itu terjadi.
Setuju
Saya tidak merasa perlu mengulas kembali bagaimana fikih bekerja dalam memberikan solusi bagi manusia yang terjepit dan terpaksa melakukan tindakan terlarang ketika tidak ada pilihan lain. Mas Ulil dan Sahroji sudah cukup lengkap dalam membahasnya dalam konteks sogok hasanah. Saya tertarik merekonstruksi sebuah latar belakang: mengapa ada dalil eksplisit yang berbunyi “darurat membolehkan hal terlarang,” padahal manusia secara naluriah sudah memiliki insting untuk menempuh tindakan ekstraordiner dalam kondisi kepepet? Jika ini sudah menjadi sifat alamiah manusia, mengapa harus didalilkan?
Pertanyaan ini mengingatkan saya pada sebuah pengalaman ketika pergi ke Semarang untuk menonton film Marvel (atau mungkin DC, saya agak lupa). Di samping pintu masuk bioskop, terdapat tulisan besar: “Dilarang meludah”. Keluar dari sana, di sebuah taman yang dipenuhi rumput hijau dan bunga-bunga, ada papan informasi yang berbunyi: “Dilarang kencing di sini”. Setelah itu, saat mulai lapar, saya masuk ke sebuah restoran yang di pintunya tertempel peringatan: “Dilarang membawa makanan dari luar”.
Secara naluriah, manusia normal pasti memahami bahwa meludah di ruang bioskop yang bersih, buang air kecil di taman yang rapi, atau membawa makanan dari luar ke restoran adalah tindakan yang tidak pantas dan tidak etis. Namun, meskipun semua itu sudah bersifat intuitif, aturan eksplisit tetap diperlukan untuk benar-benar memastikan kepatuhan.
Dalil eksplisit seperti ini bukan dibuat untuk mengajarkan sesuatu yang sama sekali tidak diketahui oleh manusia, melainkan untuk memastikan bahwa prinsip yang sudah intuitif tersebut tidak disalahgunakan. Dengan adanya aturan tertulis, siapa pun yang melanggarnya tidak akan bisa berkelit dari konsekuensi hukum. Kelak, jika ada yang tetap meludah di bioskop, kencing di taman, atau membawa makanan dari luar ke restoran, mereka tidak akan bisa mengelak dengan mengatakan: “Apa saya salah melakukan ini semua? Apa buktinya tindakan saya ini dilarang?”
Demikian pula dalam fikih. Dalil al-dlarurat tubih al-mahdzurat bukan sekadar penyataan normatif, tetapi lebih kepada penegasan bahwa kondisi darurat memang dapat membolehkan sesuatu yang terlarang—tetapi hanya dalam situasi yang benar-benar memenuhi syarat darurat (ta’kid).
Tanpa dalil eksplisit, bisa saja seseorang menyalahgunakan dalih kedaruratan untuk melakukan sesuatu yang sebenarnya tidak mendesak. Dengan demikian, dalil eksplisit ini bukan hanya hadir untuk mengakomodasi keadaan tertentu, tetapi juga sebagai batasan agar prinsip kedaruratan tidak diselewengkan untuk kepentingan yang tidak semestinya.
Ilustrasi lain yang relevan dapat ditemukan dalam disclaimer yang selalu ditayangkan di awal film. Secara sadar, penonton memahami bahwa semua cerita dan peran dalam film bertujuan untuk menghibur, meskipun terdapat kemiripan nama, tokoh, kisah, atau kejadian dengan dunia nyata seseorang.
Namun, disclaimer tetap ditampilkan secara eksplisit untuk melindungi pembuat film dari salah tafsir, celah hukum, atau penilaian negatif. Dengan adanya pernyataan ini, jika suatu saat ada politisi yang tersinggung karena merasa bahwa nama dan kepribadiannya digambarkan terlalu mirip dalam film tersebut, maka pembuat film tidak bisa dijerat dengan UU ITE atau tuduhan pencemaran nama baik. Disclaimer ini memastikan bahwa tidak ada celah hukum yang dapat ditembus.
Dalam konteks sogok hasanah, dalil eksplisit berfungsi sebagai ‘disclaimer moral’ yang menegaskan bahwa tindakan tersebut merupakan pengecualian, bukan norma umum dalam Islam. Dengan adanya batasan ini, dalih kedaruratan tidak dapat dengan mudah disalahgunakan oleh pihak-pihak yang sebenarnya tidak memenuhi kriteria syariat.
Lebih jauh lagi, dalil eksplisit dalam fikih juga bertujuan untuk menjaga konsistensi dan keseragaman dalam penerapan hukum. Prinsip kedaruratan hanya boleh diterapkan pada kondisi yang benar-benar memenuhi syarat (darurat yang benar-benar darurat). Tanpa adanya batasan yang jelas, interpretasi atas konsep darurat akan menjadi sangat subjektif dan berpotensi memunculkan banyak celah hukum.
Tanpa kejelasan ini, korupsi, suap, dan pelanggaran etika lainnya akan semakin sulit diberantas, karena seseorang dapat dengan mudah menjustifikasi tindakan mereka dengan alasan yang dibuat-buat. Jika tidak dikontrol secara eksplisit, konsep ini bisa menjadi tameng bagi para pelaku penyalahgunaan yang berdalih bahwa tindakan mereka dilakukan dalam keadaan darurat, padahal sejatinya bukan.
Dengan adanya dalil yang jelas, Islam menyediakan pedoman universal agar tindakan seperti sogokan hanya dilakukan dalam keadaan yang benar-benar memenuhi syarat darurat—bukan sekadar berdasarkan tafsir dan persepsi seseorang. Dalil eksplisit memberikan standar yang tidak hanya berlaku bagi seseorang yang terjebak dalam situasi sulit, tetapi juga bagi institusi yang bertugas menjaga ketertiban dan keadilan (kepolisian, kejaksaan, dan pengadilan).
Pada akhirnya, tujuan utama dalil eksplisit ini adalah untuk melindungi nilai-nilai keadilan dan moralitas yang menjadi inti ajaran Islam. Sama seperti larangan meludah, kencing di taman, membawa makanan ke restoran, atau disclaimer dalam film yang ditulis secara eksplisit, dalil dalam fikih tidak sekadar menjadi aturan teknis sesuatu yang sudah diketahui secara naluriah. Keberadaannya adalah jaminan normatif agar prinsip-prinsip yang sudah intuitif tidak disalahgunakan dan tetap berada dalam koridor hukum yang jelas.
Dan untuk alasan yang sama, saya mencantumkan catatan eksplisit pada tulisan ini: “Disclaimer: semua contoh, perumpamaan, dan analogi yang disampaikan dalam tulisan ini (khususnya terkait DPR dan DPRD) hanya fiktif semata, dibuat untuk alasan komedi, serta tidak ditujukan untuk menyinggung lembaga atau siapa pun.”
Rumail Abbas Nahdliyin
GusDurian, Historian