Prabowo

Retret kabinet tiga hari yang diinisiasi Presiden Prabowo Subianto di Akademi Militer Gunung Tidar membawa nuansa baru dalam pemerintahan. Prabowo menyatakan kegiatan ini bertujuan membangun kebersamaan dan sinergi kabinet melalui disiplin ketat dan latihan fisik, mencerminkan gaya kepemimpinan hierarkis dan disipliner. Namun, konsep “sinergi” ini lebih menyerupai kepatuhan dibanding kolaborasi demokratis yang inklusif, berisiko membatasi ruang kebebasan berpendapat dan pemikiran kritis.

Dengan pendekatan “Jalan Militer,” Prabowo berupaya menciptakan kesatuan seperti dalam tim olahraga. Namun, negara yang beragam seperti Indonesia memerlukan keluwesan dan debat terbuka. Disiplin ketat yang berfokus pada kepatuhan berisiko menekan suara para menteri, mengurangi keragaman perspektif, dan menciptakan keselarasan yang dipaksakan, bukan sinergi sejati.

Pendekatan ini mengingatkan pada era Orde Baru di bawah Soeharto yang mengutamakan stabilitas melalui ketaatan, dengan sentralisasi kekuasaan yang menekan dialog publik dan kebebasan sipil. Kini, dengan kemasan yang lebih modern, Prabowo membawa pendekatan serupa, bahkan bisa disebut “Orde Baru 4.0,” dengan kontrol sentral yang dikemas ulang. Pendekatan militer ini memang efektif dalam mencetak pengikut. Namun, seperti diingatkan Perdana Menteri pertama Indonesia, Sutan Sjahrir, pendekatan semacam ini tidak selalu mampu melahirkan pemimpin dengan daya pikir kritis.

Kritisnya pemikiran ini penting untuk menangani isu-isu demokrasi yang kompleks. Pemerintah bukan hanya butuh disiplin, tetapi juga pemimpin yang berani berpikir inovatif dan kritis. Retret ke Akmil dengan aktivitas fisik bergaya militer mungkin memberi kesan kesatuan, tapi pemerintahan yang hanya patuh tak akan memenuhi tuntutan masyarakat dinamis. Sinergi yang efektif adalah sinergi yang menghargai keberagaman dan memperkaya perspektif, bukan keseragaman yang dibentuk dari perintah atas.

Baca Juga  Geliat Spiritual Diaspora Indonesia di Jepang: Catatan Pertemuan Nahdliyin Jepang

Elemen loyalitas menjadi dasar dalam hierarki Prabowo, yang sering kali menyamakan pengabdian kepada pemimpin dengan nasionalisme. Meski Prabowo menekankan bahwa loyalitas harus diarahkan pada negara, loyalitas ini berpotensi menggeser fokus dari kepentingan publik. Menteri dalam sistem demokratis idealnya mengutamakan kebijakan yang bermanfaat bagi rakyat, bukan sekadar mematuhi instruksi. Struktur yang menekankan loyalitas melalui kepatuhan ini memang dapat meningkatkan efisiensi jangka pendek, tetapi berisiko merusak keseimbangan demokrasi.

Pendekatan militeristik ini juga mempengaruhi pola pemerintahan dan masyarakat. Jika pejabat hanya berfokus pada satu visi tunggal, mereka mungkin merasa sulit menyuarakan kebutuhan lokal. Hal ini bisa memperlebar jarak antara program pemerintah pusat dan realitas di lapangan, membuat pemerintahan terkesan jauh dari masyarakat.

Model berbasis komando dapat mengurangi ruang partisipasi publik dan diskursus sipil. Pemerintah yang menempatkan loyalitas sebagai kepatuhan menghambat kritik dari masyarakat dan membatasi keterlibatan warga. Bila publik merasa pemerintah lebih fokus pada kendali daripada kebutuhan mereka, kepercayaan terhadap institusi bisa menurun. Demokrasi membutuhkan partisipasi aktif, dan pembatasan ini justru bisa memicu apatisme atau bahkan penolakan masyarakat.

Pendekatan yang menekankan keseragaman dapat menciptakan budaya di mana mempertanyakan otoritas dianggap mengganggu. Sekolah, tempat kerja, dan komunitas pun bisa mengadopsi pandangan ini, mengurangi ruang dialog terbuka. Padahal, kemajuan Indonesia bergantung pada inovasi, ketahanan, dan pemikiran kritis—hal-hal yang justru terhambat oleh pola seragam ini.

Baca Juga  K.H Maruf Amin Paripurna, Gibran Ditunggu Gebrakannya

Generasi muda mungkin menjadi kelompok yang paling terdampak. Mereka akan kekurangan panutan kepemimpinan yang memberdayakan dan kreatif, yang penting bagi perkembangan mereka. Pendekatan militeristik ini dapat mematikan pemikiran mandiri, sehingga mengurangi kemampuan generasi muda dalam berpikir kritis, berinovasi, dan beradaptasi—sebuah kekhawatiran yang pernah disampaikan oleh Sutan Sjahrir.

Pendekatan Prabowo ini juga bisa membatasi kemampuan kabinet untuk mengatasi tantangan besar. Kebijakan yang efektif dalam menangani korupsi, kemiskinan, dan krisis iklim haruslah fleksibel dan mengakomodasi keberagaman lokal. Struktur yang terlalu ketat justru membuat kabinet ragu mengusulkan alternatif kebijakan yang lebih tepat, menghasilkan solusi seragam tetapi tidak relevan bagi kebutuhan daerah.

Pola pemerintahan yang diusung Prabowo berpotensi mengancam demokrasi Indonesia. Sejak reformasi, demokrasi kita dibangun di atas desentralisasi, transparansi, dan dialog terbuka. Menghidupkan kembali gaya pemerintahan ala Orde Baru, di mana loyalitas lebih diutamakan daripada keragaman, akan menghambat partisipasi rakyat dan merusak fondasi demokrasi yang sudah ditegakkan sejak era reformasi.

“Jalan Militer” Prabowo mungkin bisa menyatukan kabinet, tetapi risikonya adalah menciptakan struktur komando yang kaku dan tidak fleksibel. Padahal, demokrasi yang sehat membutuhkan dialog terbuka, keberagaman, dan kemampuan adaptasi. Pemerintahan berbasis sinergi seharusnya mendorong para menteri untuk bersikap mandiri, berdebat terbuka, dan merespons masalah secara cepat dan efektif.

Dalam menghadapi tantangan yang semakin kompleks, Indonesia membutuhkan pemerintahan yang inovatif dan adaptif serta dekat dengan rakyat. Retret militer di Akmil memang menunjukkan kedisiplinan, namun pendekatan ini juga berisiko melahirkan pemerintahan yang sentralistik dan kaku, jauh dari aspirasi rakyat. Pola “membentuk pengikut” mungkin menyatukan visi kabinet, tetapi bisa mengorbankan nilai-nilai demokrasi seperti keterbukaan, partisipasi publik, dan responsivitas pemimpin.

Baca Juga  Kisah Pilu Warga Gaza: Jangan Anggap Kematian Sebatas Angka!

Dan Slater dan Joseph Wong (2022) menunjukkan bahwa negara demokratis lebih berpotensi mencapai kemajuan karena terbuka terhadap kritik dan saran yang memperkaya kebijakan. Retret militer ini memang menekankan kesatuan, tetapi pemerintahan yang kaku dan sentralistik akan menjauhkan pemimpin dari kebutuhan rakyat.

 

Virdika Rizky Utama

Peneliti PARA Syndicate, Alumni Master Ilmu Politik dari Shanghai Jiao Tong University.

By Redaksi Jalan Hijrah

Jalanhijrah.com adalah platform media edukasi dan informasi keislaman dan keindonesiaan yang berasaskan pada nilai-nilai moderasi dan kontranarasi.