Ramadan; Momentum Sucikan Diri dari Hasrat Brutal Khilafahisme

Jalanhijrah.com-Ramadan 1444 H akhirnya tiba. Hari ini, puasa pertama, dilalui dengan aktivitas-aktivitas islami seperti kultum, tadarus, hingga kajian bakda Subuh. Bulan Ramadan memang dijadikan momentum menyucikan hati, hingga tergolong sebagai orang yang betakwa. Di berbagai daerah di Indonesia, boleh jadi caranya tidak sama, namun semua ibadah pada bulan ini diorientasika untuk mengais keberkahan Ramadan. Akhirnya, semangat tazkiyah al-nafs menggebu-gebu.

Tentu, ghirah penyucian diri merupakan sinyal penting yang harus dirawat selamanya, melampaui momen Ramadan. Namun demikian, yang sangat penting juga diperhatikan adalah dengan apa hal itu ditempuh. Adalah tidak baik jika ghirah sucikan diri ternyata ditempuh dengan cara yang salah, misalnya dengan kegiatan-kegiatan yang mengundang hasrat brutal di negara sendiri; bughat. Alih-alih menjadi suci, yang ada adalah merasa suci sendiri dan merasa penting mengubah keadaan.

Mengubah keadaan yang dimaksud ialah spirit untuk merombak tatanan yang ada, secara politik, ekonomi, bahkan keagamaan. Dianggapnya sistem politik yang berlaku saat ini keliru dan perlu direkonstuksi. Begitu pula sistem ekonomi dan iklim keberagamaan yang ada, dianggap menyimpang dari nilai-nilai Islam. Semangat tersebut dibarengi dengan persepsi bahwa menyucikan diri harus dilakukan dengan merombak total sistem. Benar-benar naif.

Akhirnya, setelah Ramadan usai, banyak yang terjerumus organisasi terlarang dengan hasrat menegakkan khilafah. Mereka termakan oleh propaganda selama Ramadan tentang kiat-kiat menjadi Muslim paripurna dengan jiwa yang suci, yaitu mendirikan negara Islam. Sinyal-sinyal akan hal ini sudah bisa terdeteksi sejak hari pertama Ramadan. Banyak kelompok yang menggelar kajian yang kalau dilakukan filtrasi, di dalamnya menyimpan agenda-agenda terselubung.

Baca Juga  Larangan Menghina dan Membully Dalam Islam

Propaganda Khilafahisme di Bulan Ramadan

Sebagai contoh, kanal YouTube Khilafah Channel Reborn yang subscribernya hampir tiga puluh ribu. Baru saja digelar seminar berjudul “Menjawab Pemahaman Syubhat tentang Fardhu Kifayah” yang diisi oleh Mohammad Ali Syafi’udin, simpatisan Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) yang berprofesi sebagai dai. Pada seminar yang berlangsung satu jam itu, Syafi’udin di antaranya mengatakan bahwa fardu kifayah bisa berubah menjadi fardu ain bila sebuah kewajiban belum sempurna dilakukan.

Dalam konteks apa Syafi’udin berbicara dan kewajiban apa yang dipandangnya belum tegak di negara ini menarik ditelusuri. Dan ternyata semua itu terungkap ketika pada menit-menit terakhir, dia mengatakan ihwal pentingnya menciptakan kesadaran kolektif dan diseminasi narasi pentingnya khilafah. Menurut Syafi’udin, kesucian diri tercipta bila sistem sudah islami. Karena negara ini dia anggap tidak islami, dia dengan tegas mengatakan bahwa ghirah mendirikan khilafah adalah fardu ain—kewajiban individual.

Sayangnya, bahasa yang Syafi’udin sangat politis, yaitu ‘syariat Islam’. Akhirnya para pendengar terkecoh bahwa di negara ini syariat Islam belum sempurna. Kalau ditanya lanjut, syariat apa yang belum tegak atau adakah pemerintah melarang ibadah tertentu, jawabannya jelas tidak ada. Syariat yang dimaksud adalah penipuan belaka, karena Syafi’udin sebagai simpatisan HTI menganggap khilafah sebagai bagian dari syariat—klaim yang salah fatal. Dan lebih fatal lagi ketika itu dianggap penyucian diri.

Baca Juga  Mengucapkan Selamat Natal, Bagaimana Hukumnya?

Dalam konteks itu, semangat “menyucikan diri” jadi sama dengan “upaya makar”—sebuah hasrat brutal para penganut khilafahisme. Selama bulan Ramadan, seluruh narasi diarah ke situ, yakni bagaimana menciptakan mindset masyarakat bahwa khilafah itu wajib agar keislaman di negara ini paripurna. Propaganda khilafahisme tersebut memelintir Fikih tentang syariat Islam dan memelintir Tasawuf tentang penyucian diri. Tanpa khilafah, seluruh keadaan dianggap kebatilan.

Sucikan Diri dari Kebatilan

Semangat mendirikan khilafah selalu diikuti oleh hasrat pemberontakan. Mengapa demikian, karena khilafah yang ingin ditegakkan hari ini adalah khilafah versi kelompok tertentu—sama sekali kontras dengan prinsip al-khilafah yang Islam ajarkan. Khilafah yang digelorakan hari ini bertolak dari depresi akut atas kemunduran Islam, sehingga melegalisasi kebrutalan atas dasar memerangi kebatilan. Padahal, kebatilan yang sesungguhnya adalah khilafahisme itu sendiri.

Karenanya, pada Ramadan ini, jihad yang sebenarnya adalah menyucikan diri dari kebatilan propaganda khilafah. Kajian-kajian di YouTube harus bisa disaring, antara yang benar-benar mengantarkan jiwa pada kesucian dan yang mengantarkan jiwa pada kesoksucian. Yang pertama dilakukan dengan banyak mengaji di pesantren atau di YouTube kepada ulama yang jelas kredibilitasnya—bukan ulama-ulamaan seperti dalam Khilafah Channel Reborn.

Ramadan harus diproyeksikan sebagai bulan menuju kemenangan dan ketenangan. Jika suatu kajian justru bergerak sebaliknya, memantik hasrat brutal pemberontakan, maka di situ ada propaganda khilafahisme yang harus diwaspadai. Faktanya tidak semua kajian Ramadhan digelar untuk menyucikan diri. Bagi HTI, bulan suci ini justru ladang indoktrinasi. Penyucian diri yang mereka tawarkan hanya trik belaka, padahal sejatinya hendak menyeret umat ke kubangan khilafahisme.

Baca Juga  Cak Nur Menyerukan Kehadiran Agama Di Ruang Publik, Bukan Khilafah!

Marilah tingkatkan kewaspadaan selama bulan Ramadan. Ghirah untuk menjadikan bulan ini sebagai momentum sucikan diri harus dikontrol melalui filtrasi kajian-kajian yang hendak diikuti. Baiknya mengaji pada ulama yang jelas keilmuannya, seperti Quraish Shihab, Gus Baha, Adi Hidayat, dan lainnya yang sudah otoritatif. Bersamaan, harus menjauhi para ustaz gadungan yang diproduksi HTI dan beraksi dalam media-media mereka untuk tebarkan khilafahisme. Sebab, itu berbahaya bagi NKRI.

Wallahu A’lam bi ash-Shawab…

Ahmad Khoiri

By Redaksi Jalan Hijrah

Jalanhijrah.com adalah platform media edukasi dan informasi keislaman dan keindonesiaan yang berasaskan pada nilai-nilai moderasi dan kontranarasi.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *